.

k

Tentang Definisi Agama Dalam Hukum Positif

⊆ 20.32 by makalah hukum | .

Dalam perdebatan tentang definisi agama saat diskusi Tindak Pidana terhadap Agama di PB NU kemarin, ada banyak hal yang muncul dan menarik untuk didiskusikan, terutama mengenai definisi agama.

Secara formal negara Indonesia hanya mengakui 6 agama yaitu: Islam, Kristen, Katholik, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Pengakuan ini diberikan melalui UU No 1/PNPS Tahun 1965. Yang menjadi pertanyaan besar dimanakah tempat dari agama-agama “adat” atau agama-agama yang berdasarkan kepercayaan asli masyarakat adat ataupun agama-agama yang baru muncul.

Selama ini memang terjadi diskriminasi terhadap para pemeluk agama-agama adat, hal ini dikarenakan tidak ada definisi yang pasti mengenai agama. UU yang ada juga tidak memberikan definisi tentang agama. Dalam Pasal 29 UUD 1945 hanya bahwa “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ini tentunya memberikan implikasi hukum, karena negara sebenarnya tidak diperbolehkan membatasi agama-agama atau dengan kata lain memberikan pengakuan hanya terbatas pada beberapa agama. Secara argumentum a contrario Negara harus memberikan pengakuan dan perlindungan yang sama terhadap setiap agama.

Nah, dalam konteks ini bagaimana mendefinisikan agama, selama kita sekolah, sepanjang yang saya ingat agama diberikan batasan antara lain: ada Tuhan, Nabi/Rasul/Kitab, upacara keagamaan. Batasan ini tentunya sama dan sebangun dengan batasan dalam agama-agama yang resma diakui oleh Negara.

Kembali ke pertanyaan, bagaimana mendefinisikan agama, saya memandang persoalan definisi agama atau memberikan batasan apa yang dimaksud dengan agama harus diserahkan ke Pengadilan. Salah satu rekan saya dari LBH Jakarta (asf) memandang bahwa pandangan saya berbahaya, karena orang harus dituntut secara pidana lebih dulu sebelum didapatkan definisi agama. Dengan segala rasa hormat, menurut saya pandangan seperti itu sangat naif, karena bila diletakkan dalam UU, malah akan menimbulkan ketidakpastian hukum baru dan menimbulkan tindak pidana baru yang muncul karena UU. Alasan yang lain, pemberian batasan mengenai agama tidak hanya bisa melalui proses pidana tetapi juga bisa melalui proses perdata, atau lebih jauh lagi bisa melalui mekanisme constitutional review di Mahkamah Konstitusi. Putusan pengadilan justru akan lebih dinamis dan dapat disesuaikan dengan perkembangan jaman selain itu juga mendorong pengadilan untuk dapat menafsirkan ketentuan undang-undang. Pada umumnya, pengadilan di Indonesia, sangat jarang memberikan penafsiran terhadap undang-undang, dan lebih banyak bertindak sebagai corong undang-undang.

Praktek hukum di negara-negara Eropa juga memberikan keluwesan terhadap penafsiran terhadap agama dan ritus keagamaan. Dalam kasus pelarangan jilbab dan pemotongan hewan kurban, pengadilan di Eropa telah memutuskan tentang praktek ritus keagamaan dengan sangat baik. Lalu kenapa contoh yang baik ini tidak ditiru di Indonesia?

sumber: anggara.org