.

k

Bertahan Jadi Hakim di Tengah Keterbatasan

⊆ 20.30 by makalah hukum | .

MEMASUKI halaman parkir kantor Pengadilan Negeri Kelas C Nabire, tidak ada tanda-tanda kegiatan di kantor itu. Suasana bangunan itu sangat sepi. Gedung pengadilan retak-retak. Bagian timur telah roboh dan ditopang dengan beberapa tiang kayu. Sebagian ditempel dengan seng bekas. Usaha ini untuk melindungi sebagian besar arsip yang ada di kantor itu.

Pengamatan Kompas di Nabire, pekan lalu, di keliling gedung itu dipasang police line, tanda bahaya. Tidak ada warga masyarakat atau tamu yang datang ke tempat itu. Hanya desingan kendaraan yang melintas di jalan sekitar 50 meter dari gedung pengadilan.

Rumput-rumput di keliling gedung pun merangkak naik sampai 30 cm. Di belakang gedung itu terdapat sebuah kantin terbuka dari tripleks tanpa dinding.

Tiga pria berpakaian preman, yang mengaku sebagai hakim di kantor itu, sedang duduk di sebuah bangku panjang sambil mengunyah jagung muda dan meminum teh manis. Sementara beberapa staf sedang duduk di kursi tanpa satu kegiatan berarti.

Salah satu dari ketiga pria itu mengaku bernama Purnomo, putra Boyolali, Jawa Tengah, yang telah dua tahun bekerja di kantor itu sebagai hakim. Kehidupan santai di kantor itu sudah terbiasa bagi mereka. Kondisi seperti itu tidak dapat diubah karena sangat bergantung pada perkara yang masuk ke pengadilan.

Perkara (perdata/pidana) yang masuk sangat kecil. Dalam satu pekan, terkadang hanya ada dua perkara yang disidangkan di Pengadilan Negeri Nabire, bahkan kadang-kadang kosong. Lebih banyak waktu bagi hakim dan staf pengadilan untuk duduk-duduk atau melaksanakan pekerjaan lain.

Purnomo mengelak bahwa keseringan memimpin sidang dan memutuskan perkara merupakan salah satu kriteria kenaikan jenjang karier sebagai hakim. Menangani perkara bukan satu-satunya kriteria kenaikan pangkat dan jabatan hakim. Masih banyak kriteria sebagai tolok ukur, seperti pengabdian dan pengorbanan di daerah terpencil, lamanya bertugas/masa jabatan.

Ia mengakui, dengan sering memimpin sidang pengadilan membuat seorang hakim semakin terampil, bijak, kritis, dan tingkat pemahaman hukum makin tinggi. Akan tetapi, sikap seperti ini sangat bergantung pada motivasi dan semangat pengabdian dari hakim bersangkutan.

Di kantor Pengadilan Negeri Nabire ada tujuh hakim yang terdiri atas empat calon hakim program cepat, putra asli Papua, dan tiga hakim tetap, warga pendatang. Hakim crass programm diadakan demi mengatasi kekurangan hakim di pengadilan itu. Hakim tetap tidak betah di tempat dan selalu berniat meninggalkan Nabire.

Ketujuh hakim ini pun jarang masuk kantor karena tidak ada perkara yang disidangkan di kantor itu, apalagi kantor pun sedang dalam kondisi berisiko roboh.

Sikap santai seperti itu memang dialami semua pegawai negeri sipil (PNS) di Papua. Untuk mengisi kekosongan, pegawai lain mencari penghasilan sampingan, seperti mengojek. Akan tetapi, bagi para hakim, pekerjaan sampingan seperti itu dilarang sesuai dengan Undang-Undang Kehakiman.

Gaji para hakim di Nabire sama seperti gaji PNS vertikal lain. Hanya saja, mereka mendapat tunjangan Irian Jaya sesuai dengan golongan. Purnomo mengakui, setiap bulan mendapat gaji dan tunjangan Irian Jaya sebesar Rp 2,5 juta. Namun, gaji sebesar ini tidak cukup untuk biaya hidup satu bulan di Nabire karena sebagian gaji dikirim untuk seorang istri dan tiga putra di Boyolali.

"Saya juga kredit sepeda motor satu unit dari BRI Cabang Nabire sehingga terima bersih Rp 800.000 per bulan. Ini untuk biaya hidup saya selama satu bulan. Tetapi, saya tidak bisa cari sampingan lain seperti para pegawai yang ngojek setiap sore dan malam hari. Kami, hakim, dilarang oleh peraturan untuk mencari sampingan lain di luar gaji yang ada," kata Purnomo.

Di Nabire khususnya dan Papua umumnya, hakim dan jaksa tidak dapat mencari sampingan melalui klien atau perkara seperti terjadi di kabupaten atau provinsi di luar Papua. Untuk membayar pengacara saja, masyarakat yang bersidang tidak mampu, apalagi memahami jerih payah seorang hakim.

Jika putusan hakim telah memenangkan satu pihak yang beperkara, mereka yang merasa diuntungkan hanya memberi janji. Akan tetapi, pihak hakim tidak banyak mengharapkan karena kondisi masyarakat untuk makan dan minum saja sangat memprihatinkan.

"Kadang-kadang mereka janji ayam satu ekor, tetapi itu pun tidak terealisasi. Kadang-kadang pula mereka janji akan memberi bonus berupa uang sampai ratusan juta rupiah, tetapi tidak terealisasi juga. Karena itu, ketika mereka memberi janji kepada hakim, kami selalu mengatakan tidak perlu. Itu untuk bapak saja, yang penting bapak merasa puas di pengadilan ini. Kami bekerja untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, bukan mencari keuntungan," kata Purnomo.

Purnomo yang hampir dua tahun bertugas di Nabire pun telah mengusulkan surat pindah ke Jawa. Akan tetapi, dia belum mendapatkan jawaban.

Benyamin Nuboba, putra asli Papua, hakim crass programm, menambahkan, gajinya bila dibandingkan dengan gaji anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nabire seperti langit dan bumi. Gaji anggota DPRD Nabire Rp 15 juta per bulan, sedangkan hakim crass programm hanya Rp 1,2 juta. (kor)
kompas