.

k

Ketua MA: Pidana Mati Masih Hukum Positif di Indonesia

⊆ 15.14 by makalah hukum | .

Jakarta, Kompas - Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan mengatakan, MA tidak memiliki sikap terhadap pidana mati, karena hakim lah yang melaksanakan undang-undang. Artinya, selama masih ada UU yang mengancam hukuman mati, selama itu pula hakim bisa menjatuhkan hukuman mati.

"Hukum positif kita masih begitu. Semua bergantung pada pembuat UU," ujar Bagir di kantornya, Rabu (19/2).

Dalam kapasitas pribadi pun Bagir menolak menyatakan sikap soal hukuman mati. Dia khawatir ucapannya dijadikan acuan semua orang.

Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra juga mengimbau agar semua pihak tidak menafsirkan sepotong-sepotong UUD 1945, dan menghubungkan dengan hukuman mati.

Menurut Yusril pasal 28 I UUD 1945 yang menyatakan, soal hak hidup orang, harus dikaitkan dengan pasal 28 J yang menyebutkan, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan UU.

Pembatasan itu justru bermaksud menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, ketertiban umum.

Bagir Manan juga mengatakan, pengertian hak hidup dalam UUD 1945 adalah hak di mana orang tidak boleh dibunuh semena-mena seperti genosida. Hak hidup berarti orang mendapat perlindungan atas perbuatan sewenang-wenang, yang dapat mengakibatkan kematian.

Memang banyak negara yang meniadakan hukuman mati, seperti Belanda atau Israel. Namun, beberapa negara bagian Amerika menerapkan hukuman mati, karena melihat ada orang yang begitu antisosial, atau antikemanusiaan.

Yusril mengakui, banyak UU baru yang mencantumkan hukuman mati. Hukum harus merefleksikan kesadaran hukum masyarakatnya.

"Jadi tidak mungkin pemerintah membuat hukum sendiri semaunya. Di sini hukum adat begitu kuat pengaruhnya, dan hukum adat mengenal hukuman mati. Di sini 90 persen masyarakatnya beragama Islam dan Alquran sendiri mengenal hukuman mati," ujarnya.

Jadi, kata Yusril, "Arief Budiman boleh aja ngomong seperti itu atau Munir mau ngomong boleh aja. Tetapi mereka bertanggung jawab sama siapa? Kami ini decision maker yang harus mereflesikan aspirasi masyarakat," ujarnya.

Tentang permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan beberapa terpidana mati, setelah grasinya ditolak presiden, Bagir mempersilakan saja dan malah akan memberi prioritas penanganan.

Menurut Bagir, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebenarnya PK tidak menunda pelaksanaan eksekusi. Namun, karena menyangkut nyawa seseorang, maka ada pertimbangan lain yang bersifat nonyuridis.

"Logikanya, grasi dilakukan setelah PK. Kalau sudah mengajukan grasi, artinya seluruh upaya hukum sudah berakhir. Namun, kalau grasi dulu baru diajukan PK, itu haknya.

Bahkan, ada yang sudah ditolak PK-nya maupun grasinya, sekarang mengajukan PK lagi. "Itu haknya, terserah dia," ucap Bagir.

Bagir juga mempersilakan masyarakat mengajukan judicial review bila menganggap hukuman mati bertentangan dengan UUD 1945. Namun, bagaimana keputusan akhirnya, tergantung majelisnya nanti.

Namun, Yusril menegaskan, keppres penolakan grasi presiden tidak bisa digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) seperti diusulkan ahli hukum Albert Hasibuan. Yusril malah menantang gugatan itu.

"Coba saja kalau mau ke PTUN. Silakan saja. Cuma saya tertawa aja, kalau belajar hukum yang benar aja," ujarnya.

Ia mencontohkan, jika pegawai Depkeh dan HAM dia pecat, lalu kemudian Surat Keputusan (SK) pemecatan tersebut dibawa ke PTUN. "Tetapi yang namanya grasi, itu kan hak dari presiden sebagai head of state, bukan pejabat administrasi."

Tak akan tunda eksekusi

Dari Medan dilaporkan, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Chairuman Harahap menyatakan, upaya terpidana mati Ayodhya Prasad Chaubey mengajukan PK untuk kedua kalinya bertentangan dengan hukum acara pidana.

"Karena itu, tidak ada alasan bagi kejaksaan untuk menunda eksekusi," kata Harahap, menanggapi permohonan penundaan eksekusi Ayodhya dari LBH Medan.

Sebagai upaya hukum luar biasa dari pihak terdakwa, PK hanya bisa diajukan satu kali. Dalam kasus Ayodhya, semua upaya hukum-baik upaya biasa dan luar biasa berupa PK maupun grasi sudah dilakukan. (SAH/DOT/son)