.

k

MENGELOLA ZAMRUD KHATULISTIWA

⊆ 13.32 by makalah hukum | .

Selama berabad-abad, Nusantara dikenal sebagai zamrud khatulistiwa. Bahkan para stronot yang terbang melintasi orbit ekuator mengakui keindahan warna hijau hutan-hutan Indonesia. Sayangnya, keindahan ini terancam pudar, menyusul terbakarnya hutan di berbagai kawasan, terutama di Kalimantan Timur.

Menyakitkan Hati
Diperkirakan, luas kebakaran hutan secara nasional mencapai 223.986,184 Ha, dengan total kerugian mencapai Rp. 74.176.270.859,-. Di Kalimantan Timur, yang menderita kebakaran hutan paling luas, luas lahan yang terbakar mencapai 27,490 Ha, dengan jumlah kerugian hingga Rp 67,4 milyar. Studi yang dilakukan dua lembaga internasional, yaitu Economy and Environment Program for Southeast Asia (EEPSEA) dari Singapura and the World Wide Fund for Nature (WWF) Pro-gram Indonesia memperkirakan kerugian yang diderita Indonesia akibat kebakaran dan dampak dampaknya mencapai lebih dari U$ 1 milyar. Jika ditambah dengan kerugian yang diderita Ma-laysia yang mencapai sekitar U$ 300 juta dan Singapura yang menderita rugi U$ 90 juta, maka ketiga negara ini secara bersama-sama merugi sebesar US$1.384 milyar.

Menurut Direktur EEPSEA David Glover, "Indonesia semestinya bisa menggunakan dana se-besar itu untuk menyediakan sarana kesehatan dan air bersih bagi 40 juta penduduknya, atau sekitar sepertiga dari penduduk desa." Sementara kerugian material yang diderita Malaysia se-tara dengan seluruh pengeluaran pemerintah federal untuk program-program sosial selama tiga tahun terakhir, sedangkan kerugian yang dialami Singapura dari sektor pariwisata saja setara dengan dana sosial bagi 50 yayasan yang dapat menolong 180 ribu orang selama dua tahun.

Fakta-fakta ini semakin menyakitkan hati karena terjadi pada akhir tahun 1997, saat badai kri-sis moneter menghajar Indonesia, dan meruntuhkan mitos-mitos pembangunan ekonomi.

Raja-raja Hutan
Kenyataan ini sekaligus menguakkan praktek penguasaan lahan hutan secara besar-besaran yang dikenal luas sebagai Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Berdasarkan Statistik Kehutanan Indonesia yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Kehu-tanan, Departemen Kehutanan, sampai pada bulan Maret 1996, terdapat 692 unit hak pengusa-haan hutan yang tersebar di 19 propinsi, dengan penguasaan lahan mencapai lebih dari 70,6 juta hektar. Dari jumlah ini, 329 HPH (47,54%) diantaranya terdapat di pulau Kalimantan.

Pada tahun 1998, berdasarkan data dari Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), 437 unit HPH yang mengusahakan lahan hutan seluas 53 juta hektare di seluruh Indonesia, ternyata di-kuasai hanya oleh 50 grup perusahaan besar. Menurut Ketua Harian APHI, Hendro Prastowo grupgrup besar yang menguasai HPH tersebut antara lain PT Alas Kesuma, Barito Pacific Tim-ber, Benua Indah, Bumi Indah Raya, Bumi Raya Utama, Djajanti Djaja Timber, dan Dwima Jaya Utama, Hanurata Coy. Ltd., Indo Plywood/Kalamur, Kalimanis, PT Kayu Lapis Indonesia, Mu-jur Timber, Panca Eka Bina Plywood, Raja Garuda Mas, Sumalindo Lestari Jaya [sekarang masuk Grup Astra], Daya Sakti Timber Corp., Erna Djuliawati, Hutrindo Wanabangun, Surya Dumai, dan PT Tanjung Raya Timber Corp.

Untuk Kepentingan Orang Banyak
Adakah yang salah dengan hak pengusahaan hutan ini? Semula dikeluarkannya izin bagi swasta untuk mengusahakan hutan merupakan upaya pe-merintah untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam, karena pemerintah terhadang masalah dana, sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Pemanfaatan hutan berdasarkan asas pengelolaan untuk kepentingan orang banyak ini ke-mudian dijabarkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5/1967 tentang Pokok-Pokok Kehuta-nan. Sebagai petunjuk pelaksanaan undang-undang ini, pemerintah menerbitkan Peraturan Pe-merintah No. 18/1975 tentang pemberian HPH. Pasal tiga, ayat dua dari peraturan ini mewa-jibkan pemegang HPH untuk mengelola areal hutan yang dikuasakan kepadanya berdasarkan prinsip kelestarian dan mentaati segala ketentuan di bidang kehutanan.

Namun, apa yang terjadi? Pada tahun 1996, Dirjen Pengusaha Hutan Dephut, T. Sarijanto mensinyalir sekitar 90% perusahaan pemegang HPH belum melaksanakan usaha perlindungan dan pengamanan hutan yang memadai, sehingga mengakibatkan banyak perambahan hutan, pencurian kayu dan penebangan liar. Kebakaran hutan besar-besaran sepanjang tahun 1997 diduga kuat disebabkan oleh kelema-han manajemen pengelolaan hutan ini, yang tercermin dalam bentuk praktek-praktek pemba-karan tunggul kayu guna membersihkan lahan yang baru ditebang.

Mencari Keseimbangan Baru
Tidak heran, jika protes keras dari masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat kemudian ditindak lanjuti pemerintah dengan menutup izin hak pengusahaan hutan pada tahun 1997, kecuali untuk propinsi Timor-timur dan Irian Jaya. Hingga Februari 1997, Departemen Kehuta-nan mencabut dan tidak memperpanjang izin 175 perusahaan pemegang HPH, dan mencabut izin 66 perusahaan lainnya.

Namun, sebagian kalangan masyarakat tidak puas. Beberapa praktisi hukum melihat pembe-rian areal pengusahaan hutan yang demikian luas sesungguhnya mencerminkan praktek latifun-dia, yaitu penguasaan tanah yang luas oleh beberapa gelintir orang. Mereka menyarankan agar pemerintah membatasi dan sekaligus memperketat izin hak pen-gusahaan hutan ini, agar kekayaan alam Indonesia tidak mengalami eksploitasi yang tidak terkendali.

Ini merupakan pilihan yang berat bagi pemerintah, karena di sisi lain, pengusahaan hutan merupakan salah satu sumber devisa, yang dalam masa krisis ini terasa makin dibutuhkan. Den-gan demikian, dibutuhkan kecermatan dan ketegasan pemerintah untuk menetapkan keseim-bangan antara tuntutan pelestarian alam dengan pengusahaan hutan secara komersial, agar ter-capai keuntungan optimal bagi masyarakat Indonesia. Seiring dengan semangat reformasi ini, maka para wakil rakyat serta lembaga swadaya masyarakat dapat berfungsi sebagai pengawas (watchdog) agar salah urus di bidang kehutanan yang berlangsung selama pemerintahan Orde Baru tidak terulang kembali.

Sumber: Statistik Kehutanan Indonesia
(Situs Internet: http:// www2.bonet.co.id/dephut/statis.htm)