.

k

Kisruh Lahan Tidur Dalam Bisnis Properti

⊆ 13.34 by makalah hukum | .

"Lingkaran Tidak Berujung"

Saat Indonesia sedang menikmati laju pembangunan yang pesat, bisnis properti merupakan lahan yang menggiurkan. Dalam kurun waktu hanya sekitar dua puluh tahun saja, pening-katan jumlah perumahan di Jakarta khususnya dan Indonesia umumnya mengalami ledakan yang cukup mengagumkan.

Siapa sangka kawasan Kebayoran yang dulu sudah dianggap luar Jakarta, kini justru menjadi daerah ramai dan malah dianggap sebagai pusat kota. Siapa pula menyangka jika kawasan Pondok Indah yang tadinya cuma sekumpulan rawa, kini telah berkembang begitu pesat menjadi kawasan elit, belum lagi daerah-daerah di kawasan Jakarta lainnya.

Bagaimana dengan di luar Jakarta? Nyaris sama, tengok saja kota Bandung yang dua puluh tahun yang lalu masih sangat dingin, sejuk, nyaman dan jauh dari kata macet, kini berkem-bang begitu jauh menjadi kota yang mulai panas dan juga macet.

Pucuk Dicinta Ulam Tiba
Bisnis properti merupakan lahan garapan bisnis yang relatif baru bagi masyarakat Indonesia, dan aparat pemerintah terkesan kurang siap menyiapkan perangkat hukum dan perundang-undangan menyikapi pertumbuhan bisnis ini, misalnya lambannya pemerintah menyusun Rancangan Undang-Undang Tata Ruang (RUTR). Selain itu, sumber daya manusia yang di-miliki oleh pemerintah bisa dibilang masih belum seluruhnya profesional dalam bidangnya.

Celah inilah yang kemudian dengan sigap dimanfaatkan oleh pihak swasta. Mereka datang dengan setumpuk rancangan pengembangan wilayah (masterplan) ke berbagai instansi pe-merintahan terkait. Bagai pucuk dicinta ulam tiba, rencana pemerintah untuk mengembang-kang taat ruang yang terkendala oleh dana, disambut dengan uluran tangan oleh para pen-gusaha.

Sebagai contoh, ketika pada tahun 1978, wilayah Kebayoran, Jakarta Selatan, diputuskan untuk menjadi daerah pemukiman baru, saat itu pemerintah menyatakan bahwa mereka ti-dak punya biaya untuk membuka daerah tersebut, sehingga pengembangannya diserahkan pada dua konsorsium swasta.

Dengan pola yang sama, hingga kurun waktu sepuluh tahun setelah itu pemerintah berturut-turut mengeluarkan ijin bagi swasta untuk menggunakan puluhan ribu hektar tanah lainnya. Berdasarkan catatan Badan Pertanahan Nasional, di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi, telah dikeluarkan sekurangnya izin pembebasan tanah seluas lebih dari 121 ribu hektar, namun baru sekitar 10%nya yang dimanfaatkan.

Kenapa ini terjadi? "Pengurusan ijin lokasi itu sulit, jadi kalau bisa banyak sekalian, ya pengembang tentu memilih untuk meminta ijin banyak saja sekaligus," ujar Mohammad Hi-dayat, mantan ketua Real Estate Indonesia (REI) "Padahal kemampuan sebuah pengembang belum tentu sebesar itu dalam kapasitasnya."

Refleksi
Kasus lahan tidur sebenarnya merupakan refleksi terhadap ketidakefisienan pemerintah da-lam memberikan ijin pada pengembang. "Pemerintah sebenarnya telah memiliki gambaran tentang pengembangan wilayah, namun seringkali belum pada bentuk yang telah dibakukan, karena pengembangan perumahan itu cenderung bersifat elastis," tukas Menteri Negara Agraria/ Ketua Badan Pertanahan Nasional Hasan Basri Durin. "Di jaman reformasi ini pemerintah telah mulai mengetatkan jajaran aparat kami, sehingga tidak akan ada lagi perijinan tanah yang diberikan secara berlebihan pada pihak swasta," janji Menteri. "BPN akan menjadi lembaga yang mapu memenuhi segala tuntutan masyara-kat sesuai dengan proporsinya." Durin menambahkan, "Swasta seharusnya bisa merealisasi-kan ijin yang mereka ajukan."

Namun, kalangan swasta menyangkal bahwa semua kesalahan ini adalah ulah mereka. "Aturan ketat yang bisa bikin khan cuma pemerintah, pihak swasta tentu akan nurut saja jika aturannya memang jelas dan memadai," tukas Mohammad Hidayat, "Akar permasalahan khan ada di pemerintah, jadi pelempar bola seharusnya pihak pemerintah, pengusaha tentu akan berusaha menangkapnya," tambahnya lagi.

"Bisnis properti sih sehat-sehat saja, tapi perundang-undangan yang begitu mudah dilanggar oleh pembuatnya sendiri membuat pengusaha selalu memanfaatkan celah-celah yang ter-sedia tersebut," tegas mantan ketua REI tersebut.

Ijin yang berlebihan terhadap pengembang berakibat fatal. Berhektar-hektar lahan yang be-lum terpakai akhirnya menjadi menganggur dan tidak terpakai. "Krisis ekonomi yang tiba-tiba ini membuat pembangunan properti menjadi stagnan, hal ini mengakibatkan pengem-bang kekurangan uang untuk menruskan pengembangan. Hasilnya ya itu tadi, lahan tidur jadi banyak dimana-mana, sekarang aja baru kelihatan, karena pengambil alihan tanah akibat krisis cukup merebak belakangan. Padahal lahan tidur sudah ada dari dulu," tandas pen-gusaha PT Benua Biru USA tersebut.

Solusi
Krisis ekonomi yang kini mendera Indonesia, membuat lahan-lahan tidur yang semula dia-baikan keberadaannya, menjadi pusat perhatian. Pada bulan Agustus lalu, Menteri Ko-pe-rasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Adi Sasono, misalnya, mengusulkan pada Menteri Negara Agraria, Ketua Badan Pertanahan Nasional Hasan Basri Durin untuk membatalkan izin penggunaan lahan yang kini tidur, dan menggunakan lahan-lahan tidak tergunakan itu untuk perumahan rakyat. Pro kontra yang menimpali usulan Adi Sasono ini mencerminkan besarnya perhatian ma-syarakat terhadap penggunaan lahan tidur. Saat Menteri Negara Agraria/Ketua Badan Pertanahan Nasional masih dijabat Soni Harsono, berdasarkan hasil evaluasi izin lokasi perumahan di Bogor, Tangerang dan Bekasi pada tri-wulan II (Agustus 1997) saja terdapat 1.649 surat keputusan izin lokasi dengan luas lahan 121.629 ha. "Dari total luas lahan izin lokasi itu, baru 57.864 ha [48%] yang dibebaskan dan 11.572 ha [10%] yang dibangun, " kata Harsono.

Untuk mengatasi lahan tidur yang begitu luas, muncul beberapa usulan, misalnya relokasi ke daerah baru. Pada prakteknya hal ini hampir sama dengan pengertian transmigrasi yang selama ini dikenal. Masalah yang kemudian timbul biasanya adalah lahan yang baru ka-dangkala tidak memiliki nilai produktivitas yang sama dengan lahan yang lama. Cara lain adalah konsolidasi tanah. Dengan cara ini, jika 1000 hektar tanah dibebaskan, maka pihak swasta berkompromi dengan hanya membangun 70% dari total tanah yang terbebas. Semantara sisanya diserahkan pada masyarakat untuk dapat mendiaminya, tentunya dengan perjanjian-perjanjian tertulis yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Usulan ini memperoleh sambutan dari para pengembang. "Bagaimana jika pihak pengem-bang memberikan keleluasaan pada rakyat untuk dapat mengolah secara maksimal lahan-la-han tidur tersebut, tentunya dengan perjanjian," tutur Moh. Hidayat. "Misalnya saja pihak pengembang mendapatkan 20% dari penghasilan sementara pengolah dapat memiliki sisa 80% lainnya," urainya.

Lingkaran Tidak Berujung
Jika dirunut kembali akar dari segala permasalahan ini, bisa jadi kita akan menemui ling-karan tidak berujung. Di satu pihak, pemerintah dengan tegas menyatakan bahwa UU yang dibuat telah mengatur ssecara seksama segala peraturan bagi pemilikan tanah. Disamping itu pemerintah juga memiliki keyakinan bahwa setiap aturan yang mereka buat selalu dicari celah-celahnya oleh pihak swasta, "Pemerintah tentu sedang menyiapkan rancangan tata ru-ang bagi penataan wilayah, kami selalu mementingkan kepentingan masyarakat banyak ketimbang segelintir masyarakat," tandas Menteri Hasan Basri Durin. Di lain sisi "Ibaratnya yang pegang bola itu pemerintah, kita tidak tahu kemana bola itu akan dioperkan, masalahnya apakah pemerintah akan melepaskan bola itu atau justru menahan-nya lebih lama," tukas Mohammad Hidayat. "Rancangan Tata Ruang (RUTR) ataupun Ran-cangan Tata Ruang Daerah (RUTRD) saja pemerintah belum siapkan, sementara waktu tidak bisa dihentikan dan swasta selalu memanfaatkan waktu seefisien mungkin," "Ketidak sigapan pemerintah dalam menyikapi permasalahan ini lebih terletak pada kekurangan SDM yang memadai," tukas Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, ahli hukum dari UGM, Yogyakarta, "Di jajaran BPN, kadang sulit ditemui orang-orang yang begitu me-mahami tata hukum agraria," lanjutnya lagi.

"Barangkali gaji atau pendapatan dari orang-orang pemerintahan perlu ditambah, untuk me-nekan angka penyelewengan," tambah Hidayat. " Toh, sudah jadi rahasia umum jika dalam sebuah instansi pemerintahan pendapatan bulanan pegawainya tidaklah tinggi, sehingga keinginan untuk berbuat macam-macam menjadi sangat tinggi," lanjutnya. Penegasan senada juga bisa didapatkan dari Koesnadi, "SDM di pemerintahan perlu untuk lebih diperbaiki, banyak hal dari mereka yang perlu diperbaiki. Parahnya mereka bukan cuma tidak mengerti tapi kadang, pura-pura tidak mengerti terhadap perundangan yang berlaku." Pemberdayaan aparat secara lebih efisien dan terlatih lagi pada akhirnya adalah sebuah jawaban dasar pada semua akar permasalahan ini. Jika SDM pemerintahan memiliki kualifi-kasi tinggi, bergaji cukup dan rasionil, kesadaran hukum serta memahami pelaksanaan UU sesuai dengan aturan mainnya, tentu mismanagement tidak akan memiliki tempat. Juga pemikiran untuk melakukan penyelewengan akan terhenti dengan sendirinya dan tidak akan ada pihak yang dapat "mengeruk air keruh" terhadap aturan pengembangan lahan pembangunan karena sudah ada hukum yang mengatur dan komponen penjaga hukum yang berintelektual tersebut. ('suff/wis)