.

k

MEMBANGUNKAN LAHAN TIDUR

⊆ 13.31 by makalah hukum | .

Angin reformasi membawa banyak perubahan. Salah satunya adalah bangkit-nya keberanian para penduduk desa untuk menggarap lahan-lahan tidur, yang ada di dekat lokasi mereka. Secara hukum, lahan-lahan ini merupakan hak para pengembang bermodal kuat yang telah memperoleh izin pembebasan tanah, namun kini tersungkur oleh badai krisis moneter.

"Daripada tanahnya nganggur, lebih baik digarap saja," cetus salah seorang masyarakat ketika menggarap tanah di lapangan golf Cimacan, Jawa Barat. Se-masa Orde Baru, hal ini tidak terbayangkan sama sekali, karena lahan-lahan luas itu selalu dijaga petugas keamanan. Namun, kini, perut yang keroncongan membuat mereka nekat melakukannya. Kasus-kasus serupa yang muncul hampir berbarengan di berbagai tempat, dengan segera menarik perhatian publik. Dari data BPN, total luas SK izin lokasi skala besar yang dikeluarkan mencapai 3,026 juta ha, terdiri atas perumahan (74.735 ha), industri (29.999 ha), jasa/pariwisata (18.582 ha), dan perkebunan (2,902 juta ha). Dari luas itu, yang dibebaskan baru 1,879 juta ha. Dengan kata lain, lahan yang dimanfaatkan untuk perumahan baru mencapai 9% (6.722 ha), industri 9,6% (2.875 ha), jasa/ pariwisata 8,2% (1.528 ha), dan perkebunan 16,2% (470.433 ha). Bahkan untuk kawasan Bogor, Tangerang, dan Bekasi saja telah dikeluarkan SK izin lokasi untuk perumahan seluas 121.629 ha.

"Kami baru mulai mendata belakangan ini, setelah ada laporan tidak adanya kesanggupan untuk mengerjakan pengembangan oleh para pengembang," tutur Ir Sukesi, Humas Badan Pertanahan Nasional (BPN) "Untuk masa-masa sebelum krisis kami tidak punya datanya karena memang tidak ada keluhan," Kasus lahan tidur sebenarnya adalah kasus yang "baru tapi lama". Disebut baru karena menjadi populer belakangan ini, disebut lama karena memang per-maaslahan ini sudah terjadi sejak jaman Orde Baru lalu. "Pengembang dapat mendapatkan ijin lebih banyak dari yang seharusnya ia dapatkan," ungkap Muhammad Hidayat, mantan ketua Real Estate Indonesia (REI) "Seharusnya aparat bertindak lebih efisien lagi dalam pemberian ijin guna bangunan," tuturnya lagi.

Pembangunan dan perkembangan Indonesia yang relatif cukup pesat dalam kurun dua puluh lima tahun ini, menjadikan bisnis properti sebagai bisnis yang sangat menggiurkan. Sayangnya hal ini tidak diimbangi dengan kemampuan dari aparat yang bessangkutan. Kesempatan inilah yang kemudian dilihat oleh pihak swasta yang dengan masterplan pengembangannya datang dengan segu-dang ide pengembangan daerah. Inilah sebabnya mengapa masyarakat pen-duduk tidak pernah mengetahui akan menjadi apa daerah pemukimannya kelak, karena jangankan penduduk aparatpun tidak punya informasi yang lengkap tentang hal tersebut. Kehidupan di jaman Orde Baru yang sarat KKNlah yang kemudian membuat banyak pengembang dapat memperoleh lebih banyak ijin pemilikan tanah ka-timbang yang sebenarnya mereka butuhkan. Tercatat pada kurun 80-an jumlah tanah yang dibebaskan dapat mencapai angka 40.000 hektar, namun jumlah yang kemudian efektif terpakai hanya sekitar 10% dari angka tersebut.

Berbagai kelemahan yang dimiliki oleh jajaran aparat pemerintah merupakan salah satu faktor berlanjutnya permasalahan ini. Pendistribusian tanah pada pi-hak pengembang yang tidak transparan, aturan tata ruang yang kurang me-madai hingga faktor KKN yang memang telah menjadi penyakit nasional sangat lekat di dalam lingkungan pemerintahan. Kasus lahan tidur semakin menarik dicermati di jaman krisis ekonomi saat ini, ribuan hektar yang masih belum termanfaatkan menimbulkan permasalahan yang potensial menimbulkan permasalahan yang lebih besar lagi. Menyikapi hal tersebut, pihak BPN memberikan kebijaksanaan pada masyarakat luas untuk dapat memanfaatkan lahan tidur yang memang berjumlah banyak.

Kebijakan yang mulai dirintis dari Kabupaten Bogor ini memang masih perlu diuji lagi ketahanannya, apalagi tidak ada keterangan yang jelas dari pihak BPN (Badan Pertanahan Nasional) tentang tanah-tanah tidur seperti apa, atau milik siapa yang dapat dipakai bercocok tanam oleh masyarakat tersebut. Apalagi pi-hak BPN juga menolak untuk memberikan data pemilik lahan terbesar di negeri ini dengan alasan tidak etis, padahal siapapun tentunya bertanya-tanya, tanah milik Suharto dan kroninyakah yang dimanfaatkan oleh masyarakat, atau cuma tanah sepetak bang Nain yang memang tidak punya biaya untuk memanfaat-kannya karena oplet-opletnya berhenti beroperasi.