.

k

Mencari Teori Kesetaraan: (Analisis Jender Vs Teori Hukum Islam)

⊆ 13.45 by makalah hukum | .

Oleh: Acep Sugiri

"PEREMPUAN selalu menjadi sahabat agama, tetapi umumnya agama bukan sahabat bagi perempuan." (Moriz Winternitz)

PERNYATAAN indologis Jerman di atas sebagai ungkapan kekecewaan terhadap reputasi agama yang kurang menggembirakan dalam menciptakan kehidupan sosial yang adil, khususnya menyangkut relasi laki-laki dan perempuan. Sebagai salah satu norma yang hidup dalam masyarakat, ajaran agama memang sudah sejak lama dituduh memiliki peran signifikan dalam melanggengkan ketimpangan posisi kaum perempuan vis-a-vis kaum laki-laki. Mengapa tuduhan ini muncul, adakah alasan teoretis untuk menjelaskannya?

Tulisan singkat ini mencoba menjawab persoalan tersebut dengan menganalisis sebuah teori sosial, yaitu analisis jender yang menaruh perhatian atas ketimpangan itu dan menghadapkannya dengan kasus dalam ajaran Islam.

Agama Islam memiliki aturan hukum untuk kehidupan sosial yang lebih rinci dibandingkan dengan agama-agama lain. Di antara karakter hukumnya yang paling nyata adalah pembedaannya yang sangat jelas terhadap peran jender laki-laki dan perempuan. Apakah karakter ini sesuatu yang absolut sehingga melahirkan gesekan yang permanen dengan teori sosial, seperti analisis jender, ataukah sebaliknya?

Asumsi analisis jender

Analisis jender adalah serangkaian kriteria yang digunakan gerakan feminisme untuk mempertanyakan ketidakadilan sosial dari aspek hubungan antarjenis kelamin. Dalam melakukan identifikasi terhadap ketidakadilan ini analisis jender mula-mula membuat pembedaan antara apa yang disebut "seks" dan "jender". Seks, demikian didefinisikan, adalah pembedaan laki-laki dan perempuan yang didasarkan atas ciri-ciri biologis. Sedangkan jender adalah pembedaan laki-laki dan perempuan secara sosial.

Pada prinsipnya analisis jender tidak mempermasalahkan pembedaan-pembedaan itu selama tidak melahirkan ketidakadilan. Akan tetapi, analisis ini melihat pembedaan secara jender (gender differences) sangat potensial melahirkan ketidakadilan jender (gender inequalities). Oleh karena itu, langkah selanjutnya yang dilakukan analisis jender adalah menggugat pembedaan jender, khususnya yang melahirkan ketidakadilan.

Menurut analisis jender, ketidakadilan jender bisa diidentifikasi melalui berbagai manifestasi ketidakadilan, yakni: marjinalisasi (proses pemiskinan ekonomi), subordinasi (anggapan tidak penting), pelabelan negatif (stereotype), kekerasan (violence), dan beban kerja ganda (double burden). Inilah kriteria yang menjadi acuan kaum feminis dalam melihat secara kritis setiap aturan sosial tentang relasi laki-laki dengan perempuan, termasuk yang lahir dari doktrin agama.

Dengan demikian, analisis jender mengasumsikan, paling tidak secara implisit, adanya "persamaan atau kesetaraan jender" antara laki-laki dan perempuan. Asumsi seperti ini, disadari atau tidak, telah banyak memengaruhi cara pandang agamawan dalam melihat ajaran agamanya. Hal ini antara lain tampak dengan munculnya penolakan terhadap praktik poligami atau terhadap fatwa yang melarang perempuan menjadi pemimpin.

Sulit dibantah bahwa di balik aksi penolakan tersebut ada asumsi analisis jender yang menggerakkannya. Bagi mereka, praktik atau fatwa semacam itu adalah bentuk konkret ketidakadilan dalam relasi laki-laki dan perempuan. Perempuan menjadi korban prasangka stereotyping, yakni perempuan secara "alamiah" lemah dan memerlukan perlindungan dari laki-laki dan kebutuhan seksual laki-laki melebihi kebutuhan seksual perempuan.

Teori hukum Islam

Hingga saat ini otoritas hukum Islam di sejumlah negara muslim tampak belum tergoyahkan oleh gagasan berhaluan analisis jender. Resistensi ini tidak lain disebabkan oleh perbedaan asumsi yang mendasari keduanya. Tidak seperti analisis jender, hukum Islam justru lebih menekankan pada "pembedaan jender" dalam menetapkan posisi ideal laki-laki dan perempuan. Pembedaan ini bahkan boleh dikatakan telah menjadi karakter sosial hukum Islam, di mana peran dan status jender laki-laki menempati posisi relatif lebih "tinggi" dibandingkan dengan peran dan status yang ditempati perempuan.

Menurut hemat penulis, karakter hukum Islam yang demikian terkait erat dengan teori hukum Islam klasik (ushul al-Fikih) yang selama ini menjadi landasan perumusan aturan hukum Islam. Secara teori hukum Islam, atau disebut juga fikih, bersumber, langsung atau tidak langsung, dari dalil-dalil, baik yang berupa Al Quran atau Hadis Nabi SAW. Itulah sebabnya, fikih sering didefinisikan dengan "kumpulan hukum tentang amal praktis manusia (maksudnya di luar teologi dan etika) yang diambil dari dalil-dalil yang spesifik".

Dalam proses pengambilan hukum dari dalil itu dibutuhkan kaidah tertentu yang diatur di dalam disiplin ushul al-fikih. Di antara kaidah tersebut yang terpenting adalah pengategorian nas (teks) Al Quran atau hadis, dari segi penunjukan maknanya, menjadi qath'i-zhanni. Nas yang qath'i adalah ayat atau hadis yang menunjukkan pada makna yang jelas dan tegas sehingga tidak dapat dipahami dengan makna lain.

Sedangkan nas yang zhanni adalah ayat atau hadis yang penunjukan maknanya masih dapat dipahami dengan makna lain (ambigu). Pertanyaannya, bagaimana korelasi kategori tersebut dengan karakter hukum seperti disebutkan di atas. Jawabnya adalah karena nas yang mengatur relasi laki-laki dengan perempuan dari segi penunjukan makna hukumnya tergolong kategori qath'i, sehingga harus diterima apa adanya. Misalnya nas tentang persaksian dua orang perempuan yang dihargai dengan persaksian satu orang laki-laki (2:282), poligami (4:3), porsi bagian waris (4:11), superioritas laki-laki atas perempuan (4:34), atau hadis tentang larangan perempuan menjadi pemimpin yang isunya kembali mencuat menjelang pemilu presiden dan wakil presiden pada bulan Juli lalu.

Hingga saat ini, otoritas ushul al-fikih itu masih populer dan dominan dalam tradisi pemikiran hukum umat Islam.

Neo-hukum Islam

Pendekatan yang digunakan ushul al-fikih klasik dalam memahami nas Al Quran maupun hadis seperti dijelaskan di atas adalah pendekatan yang berorientasi pada pengertian yang dimunculkan bahasa (tekstual). Pendekatan ini umumnya hanya mengantarkan kita pada pemahaman dimensi eksoteris (zhahir) dari suatu teks, tetapi gagal mencapai pesan moral yang dibawakannya.

Dalam konteks keyakinan universalitas Islam, pendekatan ini cenderung akan, dan semakin terbukti, melahirkan aturan hukum yang paradoks. Alih-alih dibutuhkan masyarakat dalam mengawal perubahan yang tak kenal henti malah ramai-ramai ditolak karena tidak sejalan dengan tingkat kecerdasan dan perkembangan sosial masyarakat.

Teks bersifat statis, sedangkan masyarakat bersifat dinamis. Pemahaman yang terpancang pada makna lahir teks, dalam jangka panjang jelas tidak akan mampu mengakomodasi dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Untuk itu, dibutuhkan alternatif pendekatan yang diharapkan mampu menelurkan aturan hukum Islam yang baru. Hal ini, misalnya, bisa ditempuh dengan mengaplikasikan pendekatan yang disebut "hierarkisasi nilai Al Quran."

Jika dicermati signifikasi ayat Al Quran tentang relasi laki-laki dengan perempuan sesungguhnya memperlihatkan dua "wajah". Sejumlah ayat tampak mendukung kesetaraan laki-laki dan perempuan, sedangkan ayat lain menunjukkan superioritas laki-laki. Dengan mengacu pada pendekatan hierarki nilai, dilema antara kedua kelompok ayat ini dapat diselesaikan sebagai berikut.

Kelompok ayat pertama umumnya berkenaan dengan kewajiban manusia terhadap Tuhan atau tugas-tugas untuk berbuat kebajikan (misalnya: 2:187, 3:195, 9:71). Tugas-tugas ini berlaku, baik untuk laki-laki maupun perempuan, dan bersifat permanen karena tidak tunduk pada perubahan konteks waktu dan tempat di mana manusia berada. Sementara itu, ayat-ayat yang memosisikan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan seperti dicontohkan di atas, umumnya berada pada ranah sosio-ekonomi yang bersifat relatif. Secara hierarkis, kualitas nilai yang tidak berubah dari kedua kelompok ayat tersebut menempati derajat prioritas lebih tinggi daripada nilai yang tunduk pada perubahan konteks sosial.

Konsekuensinya adalah superioritas laki-laki terhadap perempuan yang tersurat dalam sejumlah ayat Al Quran dan hadis jangan dilihat sebagaimana adanya tanpa mengorelasikannya dengan situasi sosial yang ada pada saat ayat dan hadis itu turun, yakni masyarakat masa Nabi SAW.

Seperti dapat disimpulkan dari berbagai literatur tentang situasi sosial masyarakat Arab awal Islam, diketahui bahwa besarnya privilese yang dimiliki kaum laki-laki terkait erat dengan besarnya tanggung jawab yang mereka pikul dalam kehidupan sosial saat itu. Pada saat ini, ketika peran dalam kehidupan sosial tidak lagi hanya didominasi kaum laki-laki, pemahaman yang masih terpancang pada "bunyi" teks dengan sendirinya menjadi tidak relevan dan kehilangan konteks.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan, karakter hukum Islam yang tampak "anti" terhadap teori sosial bukanlah sesuatu yang bersifat absolut. Pendekatan yang baru terhadap ayat-ayat Al Quran maupun hadis bukan mustahil dapat mengubah karakter tersebut menjadi selaras dan kompatibel dengan teori-teori pengetahuan modern semisal analisis jender.

*Acep Sugiri Mahasiswa Program Studi Hukum, Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

sumber: Harian Kompas, Senin, 23 Agustus 2004