.

k

BERPOLITIK DENGAN CARA YANG LEBIH BERADAB

⊆ 13.40 by makalah hukum | .

Oleh Budhi Haryatno S.

Sidang Istimewa MPR RI sudah berlalu. Agenda nasional yang menelan biaya 20 milyar rupiah ini menghasilkan sejumlah keputusan penting, antara lain penetapan jadwal pemilihan umum tahun 1999. Ini merupakan kemajuan yang signifikan bagi bangsa Indonesia, yang selama enam kali pe-milihan umum dalam kurun waktu 32 tahun pemerintahan Orde Baru, hanya bisa menyuarakan aspirasi mereka pada tiga organisasi sosial politik ---- dengan dua diantaranya tidak lebih hanyalah sebagai dekorasi politik belaka.

Namun, bayang-bayang kerusuhan yang terjadi selama pemilihan umum tahun 1997 masih membekas dalam benak banyak orang.

Pamer Otot
Ketakutan ini memperoleh pembenaran, saat partai-partai politik baru mengerahkan massa besar-besaran, setiap kali mereka mengadakan acara. Partai Demokrasi Indonesia pimpinan Megawati Soekarnoputri memerahkan kawasan Sanur, Bali, saat menyelenggarakan kongres yang ketiga. Di Jakarta, deklarasi Partai Amanat Na-sional, di Senayan, Jakarta yang dipimpin oleh mantan Ketua Pengurus Pusat Muhammadi-yah, Dr. Amien Rais, menyedot lebih dari 25 ribu pendukungnya, demikian juga dengan deklarasi Partai Kebangkitan Bangsa yang dibidani oleh Pengurus Besar Nahdhatul Ulama, di kediaman Ketua PB NU, K.H. Abdurahman Wahid, di Ciganjur, Jakarta Selatan. Bahkan ra-pat Pimpinan Golongan Karya pada bulan Oktober lalu di Jakarta, mengamanatkan agar De-wan Pimpinan Daerah di setiap propinsi melakukan apel akbar, untuk menunjukkan bah-wa Golkar masih punya massa.

Kecenderungan untuk 'pamer otot' ini diikuti oleh partai-partai yang lebih kecil. Partai Keadilan, misalnya, mengerahkan massa sekitar 30 ribu orang hanya untuk memeriahkan peresmian Dewan Pimpinan Wilayah DKI Jakarta, di Senayan.

Fakta-fakta ini dengan jelas menunjukkan bahwa partai-partai politik di Indonesia masih akan berlaga dengan mengandalkan faktor-faktor keterikatan emosional seperti ideologi, keterikatan tokoh, kebersamaan kelompok atau faktor-faktor lainnya.

Hal inilah yang menyebabkan suhu politik nasional memanas menjelang, dan pada saat kampanye serta pemilihan umum. Sementara dari sisi ekonomi, para pelaku pasar cenderung menahan diri untuk menanamkan modal atau mengembangkan usaha mereka. Apalagi seba-gian dari mereka masih trauma dengan kerusuhan massal yang terjadi pertengahan Mei lalu, di Jakarta, Solo, Surabaya, dan Medan.

Pemilu yang Rasional
Dalam pemilihan umum yang rasional, seharusnya para pemilih menjatuhkan pilihan berda-sarkan kesesuaian platform, serta program yang ditawarkan, sehingga mereka menjadi massa mengambang (floating mass) yang setiap saat bisa berpindah, tergantung pada keyakinan mereka terhadap program-program yang ditawarkan partai-partai politik yang menjadi pili-han mereka.

Namun, untuk ini, prasyarat yang dibutuhkan adalah tingkat pemahaman, yang terkait de-ngan tingkat pendidikan politik para pemilih. Mampukah para pemilih berlaku lebih rasional setelah selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru 'dididik' untuk mengembangkan pe-ri-laku yang emosional? Hanya dalam waktu kurang dari enam bulan menjelang kampanye dan pemilihan umum, sulit untuk mengharapkan agar para pemilih, yang jumlahnya me-lam-paui 200 juta orang, yang tersebar di seluruh Indonesia, mampu mengubah pola peng-am-bilan keputusan politik mereka dari emosional menjadi rasional.

Lalu, apakah kita harus menyerah pada keadaan ini, dan kemudian membiarkan kembali kampanye menjadi ajang menyulut amuk massa yang meluluhlantakkan kota serta desa un-tuk kesekian kalinya?

Dari Lapangan ke Rumah-rumah
Dalam rentang waktu yang amat terbatas, hendaknya para tokoh politik, termasuk para pen-gurus partai politik membantu mendongkrak kualitas pemahaman politik masyarakat Indo-nesia, dengan secara konsisten menonjolkan 'otak' mereka, dalam bentuk platform serta pro-gram kerja, dan tidak lagi mengandalkan 'pameran otot', berupa pengerahan massa besar-besaran, untuk meraih suara masyarakat. Upaya ini dapat sangat dibantu dengan memanfaatkan media massa, baik cetak maupun elektronik, dan sekaligus mendayagunakan para ahli komunikasi massa, termasuk praktisi periklanan. Mereka dapat mendesain dan melancarkan kampanye-kampanye politik yang ber-daya jangkau luas, efektif, namun tanpa perlu mendorong massa pendukung mereka un-tuk unjuk kekuatan di jalan-jalan, yang berpotensi menimbulkan kerawanan keamanan.

Dengan kata lain, partai-partai politik dapat berupaya untuk memindahkan pusat perhatian saat kampanye, dari lapangan atau jalan-jalan umum, kepada televisi, radio, surat kabar serta majalah di rumah. Ini memang bukan perkara yang mudah. Apalagi banyak di antara politisi yang kelak akan bertarung, masih memiliki kerangka pemikiran yang 'old-fashioned', yang meyakini bahwa kemenangan politik hanya dapat dicapai dengan mengerahkan massa sebesar-besarnya. Jika ada resiko keamanan yang muncul, maka hal itu akan menjadi obyek politisasi yang baru, untuk meningkatkan popularitasnya.

Namun, hal yang sulit ini bukan berarti mustahil. Siaran langsung SCTV tentang Kongres ketiga PDI pimpinan Megawati Soekarnoputri di Bali, dan Rapim Golkar di Jakarta; wawan-cara TVRI dan RCTI secara langsung dengan Presiden B.J. Habibie yang disertai dengan jajak pendapat; acara 'Partai-partai' di TPI, serta acara-acara serupa di stasiun televisi lainnya, menunjukkan bahwa ada peluang besar untuk melakukan kampanye politik yang intensif melalui media elektronik dan cetak yang kini bertebaran. Tentu saja, karena ini merupakan pengalaman baru bagi para jurnalis, dan praktisi perik-lanan, akan terjadi kekurangan di sana sini. Namun, bagaimanapun juga ini akan menjadi pengalaman berharga bagi bangsa Indonesia, untuk meningkatkan kualitas berpolitik mereka, dari cara-cara primitif, menuju cara-cara yang lebih beradab.