.

k

Korupsi: Anak Kandung Sistem Politik Otoriter

⊆ 16.32 by makalah hukum | .

Penyelesaian masalah korupsi bukan cuma memberantas dari atas, memberangus koruptor-koruptor dari tingkat paling tinggi sampai tingkat terendah. Masalahnya tidak sesederhana itu. Sebab korupsi di negeri ini—terutama dalam kurun 32 tahun terakhir—telah menjadi kebiasaan atau budaya yang menyenangkan bagi banyak orang. Jika mau cepat adakan saja pengadilan kilat seperti waktu revolusi Iran dulu. Kalau perlu dihukum mati seperti saat itu yang sampai memakan korban 5000 penjahat politik, baru kemudian membangun. Lihat saja jadinya Iran sekarang sudah cukup bersih.

Jangan kaget jika orang yang mengeluarkan pernyataan sekeras ini ternyata adalah Prof. Dr. Muhammad Budyatna, Guru Besar FISIP Universitas Indonesia yang sehari-harinya dikenal kalem, dan tidak berpotongan vokalis, seperti laiknya mantan dosen Fakultas Teknik UI Dr. Sri Bintang Pamungkas, atau staf pengajar FISIP UI Drs. Arbi Sanit.

Tanpa bermaksud menganjurkan pertumpahan darah, Prof. Budyatna mengajukan analogi pemberantasan korupsi di Iran sebagai ilustrasi betapa sulitnya membersihkan pemerintahan Indonesia dari penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme yang sudah menggurita terutama dalam sekitar 20 tahun belakangan ini.

Kekuasaan yang Terpusat

Mantan Menteri Dalam Negeri Rudini juga mengakui betapa berat tugas ini. Serumit apapun aturan yang dibuat kalau pelaksananya tidak punya etika tetap saja akan dilanggar, tandas jenderal purnawirawan berbintang empat ini, "Hukum juga akan sulit berjalan, lha wong yang menjalankannya tidak punya disiplin dan tidak jujur, yang saya bilang tadi pengadilan saja bisa dibeli. Dibutuhkan tangan besi untuk membersihkan praktek-praktek KKN ini. Mesti orang yang bersih. Kalau dia sendiri tidak bersih tidak akan bisa!"

Ahli politik dari Institut Ilmu Pemerintahan, Jakarta, Dr. Andi A. Mallarangeng menunjuk mantan presiden Soeharto sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas mengguritanya praktek-praktek korupsi di Indonesia.

Selama ini yang terjadi di Indonesia adalah kekuasaan begitu terpusat di tangan (mantan presiden) Suharto sehingga ia mampu menentukan segalanya, kata Andi pada M. Yusuf A.S dari MedTrans, "Mau apa dia tinggal tunjuk sini tunjuk sana dengan sedikit kata dan orang-orang sekitarnya bilang oke, tanpa punya posisi tawar."

Lebih lanjut Andi menjelaskan disamping tidak memiliki daya dalam segala aspek politik, rakyat bisa dibilang tidak punya suara dalam berbagai kepentingan politik. Lembaga-lembaga perwakilan yang katanya merupakan wakil rakyat sebenranya hanya sekedar lembaga-lembaga kepentingan yang pada akhirnya memonopoli kepentingan dan menjadi broker-broker politik. Misalnya untuk pers dibentuk PWI, untuk buruh dibentuk SPSI, untuk guru dibentuk PGRI.

Semuanya hanya perpanjangan tangan pemerintah belaka demi melanggengkan kekuasaan, tandas Andi dengan logat Bugisnya yang kental, "Kalau sudah begini mana ada yang namanya kontrol sosial dari masyarakat. Pemerintah itu mau korupsi kek, mau nungging kek tidak ada yang bisa mengontrol!"

Kurangnya Transparansi

Meski korupsi seringkali dipandang sebagai masalah ekonomi, namun akar masalahnya juga terletak pada persoalan politik. Lembaga non pemerintah yang bergerak dalam kegiatan anti korupsi di seluruh dunia, Transparency International berpendapat korupsi terjadi dimanapun, tidak peduli negara kaya atau miskin, karena, "kurangnya transparansi dan pertanggungjawaban pada sistem integritas publik. Di banyak negara terdapat masyarakat umum merasa layanan publik telah kehilangan arah ---karena banyak bagian dalam berbagai sektor publik yang korup dan demikian juga dengan banyak perusahaan swasta yang melakukan transaksi usaha dengan mereka. Masyarakat memandang para pegawai negeri, dan para pegawai memandang diri mereka bukan sebagai pelayan masyarakat, tetapi sebagai lembaga yang tidak bertanggung jawab pada masyarakat yang seharusnya mereka layani."

Sementara Kelompok Kerja Rencana Aksi Korupsi yang dibentuk Bank Dunia untuk merumuskan langkah-langkah memberantas korupsi menemukan bahwa korupsi berkaitan dengan legitimasi pemerintahan yang berkuasa, pola penyebaran kekuatan-kekuatan politik serta keberadaan masyarakat madani. Dengan kata lain, korupsi merupakan perwujudan bagaimana kekuatan politik dipergunakan untuk saling bersaing satu sama lain.

Alat Manajemen Politik

Rezim penguasa menggunakan sumber-sumber daya ekonomi yang dimilikinya untuk tujuan-tujuan politis seperti membiayai para pendukungnya, membeli para penentangnya, memastikan dukungan dari kelompok-kelompok penting dalam masyarakat, mengelola keragaman etnis atau menumpuk dana untuk bertarung dalam pemilihan umum. Bagaimana sumber-sumber daya ekonomi ini diperoleh? Rezim penguasa bisa memperolehnya melalui aliansi dengan kelompok-kelompok usaha, atau memanfaatkan jaringan birokrasinya.

Akibat praktek-praktek seperti ini, modal akan mengalir mengikuti arah persekutuan politik dan bukannya mengikuti sinyal-sinyal pasar sebagaimana yang seharusnya terjadi dalam perekonomian yang bebas. Para politisi yang melakukan hal ini boleh jadi sadar akan akibat buruk dari politik uang seperti ini, namun secara sadar mereka menggunakannya sebagai alat manajemen politik yang penting. "Jika hal seperti ini yang terjadi, maka pola korupsi hanya bisa berubah dengan mengubah struktur kekuasaan, yang bisa jadi merupakan wujud dari penentangan masyarakat terhadap korupsi," tulis Kelompok Kerja ini dalam HELPING COUNTRIES COMBAT CORRUPTION, THE ROLE OF THE WORLD BANK, yang diterbitkan oleh Poverty Reduction and Economic Management of The World Bank pada bulan September 1997.

Inikah yang terjadi di Indonesia selama ini? "Yang selama ini kita lihat adalah negara birokratis otoritarian yang selanjutnya berkembang menjadi negara yang menjalankan korupsi birokratis," tegas ahli politik dari Universitas Indonesia Eep Saefulloh Fatah.

Prof. Budyatna menambahkan, "Bagaimana Orde Baru tidak menjadi kuat? Kekuasaan yang absolut itu didukung penuh oleh ABRI, kemudian ABRI pun diberi jabatan-jabatan birokratis, dibiarkan mengeruk uang semaunya, dibolehkan berbisnis. Lalu bagaimana tatanan Orde Baru ini bisa runtuh? Dukungan militer yang notabene memegang senjata ini sangat total terhadap keberadaan Orde Baru."