.

k

Hukum Lemah, Korupsi Merajalela

⊆ 16.34 by makalah hukum | .

Meski berfungsi sebagai pengawas keuangan negara, Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan ternyata tidak selalu efektif untuk mengatasi kebocoran uang negara, yang menurut Prof. Soemitro Djojohadikusumo bisa mencapai 30 persen dari APBN.

Pada salah satu seminar, mantan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan Drs. Gandhi menuturkan bahwa berdasar pengalamannya ternyata sulit mengajukan koruptor ke pengadilan melalui Kejaksaan Agung. Suatu kasus yang menurut ahli hukum BPKP sudah dapat diajukan ke pengadilan, setelah lama menunggu cukup lama, dapat saja tiba-tiba ditutup dengan dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari kejaksaan.

Selain itu, kerap kali pemeriksaan BPKP mengungkapkan adanya penyimpangan-penyimpangan yang masih bersifat administratif, akan tetapi mengandung potensi untuk menjadi korupsi, jika tidak segera diatasi. Namun, ternyata penyimpangan itu tidak ditindaklanjuti oleh pejabat yang bertanggung jawab, bahkan dalam tahun berikutnya penyimpangan itu berulang kembali.

Pelanggaran oleh Negara

Dalam suasana seperti ini, tidak heran jika korupsi masih terus merajalela meski Indonesia memiliki Undang-undang Anti Korupsi no. 3 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sejak tahun 1971. Bahkan kerap kali sumber penyimpangan ini justru berasal dari pemerintah.

Pada bulan November 1998, Masyarakat Transparansi Indonesia mengumumkan temuannya tentang 79 Keputusan Presiden yang mengandung indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme. Bahkan pada akhir Desember lalu, Fraksi Karya Pembangunan DPR RI meminta pemerintah mencabut 177 Keputusan Presiden yang dianggap bermasalah.

Bagi ahli hukum Baharuddin Lopa, salah satu yang mendorong terjadinya pelanggaran hukum oleh pejabat negara ini adalah tabiat mereka yang serakah. "Mungkin juga sikap itu dilandasi rasa takut bercampur malu yang pada oknum pejabat tinggi dan pengusaha kuat yang berkolusi sudah jarang ditemukan. Rasa berkuasa itulah yang sering membuat seseorang memandang remeh orang lain dan berani bertindak apa saja," tulis Lopa dalam harian Bisnis Indonesia edisi 21 November 1998. Dalam artikel yang sama, Lopa menegaskan keserakahan ini tumbuh subur karena lemahnya penegakan hukum, serta manajemen yang tidak rapi, sehingga kebocoran tidak bisa segera diketahui dan dikendalikan.

Kecenderungan penguasa, terutama di negara-negara berkembang, untuk melanggar hukum yang dibuatnya sendiri dapat dilacak pada sejarah pembentukan negara-negara tersebut. Berbeda dengan negara-negara industri yang berkesempatan menumbuhkan birokrasi yang berbasis pada prestasi (merit system), kelembagaan politik yang kompetitif, proses pemerintahan yang mapan dan transparan, serta masyarakat sipil yang berpengetahuan cukup (well informed) dan didukung oleh perkembangan media massa, negara-negara sedang berkembang tidak memiliki pengalaman yang sama.

Akibat warisan penjajahan, lembaga-lembaga pemerintah di negara sedang berkembang cenderung lebih lemah, masyarakat sipilnya kurang berperan serta dalam pengambilan keputusan publik, dan proses-proses birokrasi serta politik berlangsung kurang terbuka dan kurang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kondisi demikian, aparat negara yang efektif, serta kemampuan menegakkan hukum nyaris tidak ada.

Dalam World Development Report 1997, Bank Dunia memperingatkan bahwa pemerintahan negara yang efektif merupakan hal yang penting bagi penyediaan barang dan jasa ---serta peraturan dan kelembagaan--- yang memungkinkan pasar untuk berkembang dan membuat hidup masyarakat lebih sehat serta sejahtera. "Salah satu faktor penting yang menghasilkan dan menjadi hasil dari pemerintahan yang lemah adalah korupsi, yaitu penyalahgunaan lembaga pemerintahan bagi keuntungan pribadi," demikian Bank Dunia dalam Corruption and Good Governance, 1997 Annual Meetings World Bank Group Issue Brief.

Tidak Transparan

Transparency of Asia's

Business Environment

Country

Grade


1997

1998

UK

4.00

1.81

Australia

3.00

2.12

USA

3.80

2.26

HongKong

5.00

2.82

Singapore

4.40

3.61

Taiwan

6.10

3.94

Japan

5.85

5.78

Philippines

6.70

6.14

Malaysia

6.30

6.46

SouthKorea

7.00

6.58

China

8.20

6.94

Thailand

6.50

7.20

Indonesia

7.40

8.41

Vietnam

9.50

8.50

Kecenderungan negara-negara sedang berkembang untuk menutupi informasi-informasi yang berkaitan dengan keuangan negara, menambah subur peluang untuk melakukan korupsi karena tidak ada sorotan publik dan tidak ada pengawasan dari pers yang bebas.

Berkaitan dengan soal transparansi informasi, lembaga penelitian Politic and Economic Risk Consultancy, Ltd yang berbasis di Hongkong meminta pendapat 834 responden dari kalangan pengusaha serta pejabat pemerintahan di sejumlah negara Asia dan Eropa tentang hal ini.

Hasilnya cukup menggembirakan, karena sebagian besar negara yang disurvei menunjukkan kemajuan besar dalam transparansi informasi. Khusus bagi negara-negara Asia, peningkatan kualitas transparansi ini didorong oleh hadirnya sejumlah lembaga keuangan internasional yang menekankan pada transparansi informasi dan pengambilan keputusan sebagai prasyarat bantuan mengatasi krisis ekonomi.

Sayangnya, Indonesia termasuk negara yang dianggap tingkat transparansinya memburuk, tercermin pada indeks yang menurun dari 7,40 pada tahun 1997 menjadi 8,41 pada tahun 1998.

Bersama dengan Vietnam, "situasi di kedua negara ini begitu buruk, sehingga perusahaan-perusahaan menghadapi situasi yang nyaris gelap, " tulis PERC dalam Transparency Problems In Asia, Excerpted from Asian Intelligence Issue #523, terbitan 25 November, 1998.

Menangkap Kakap

Meski mengakui bahwa celah-celah hukum merupakan salah satu faktor berkembangnya korupsi, Transparency International memperingatkan bahwa pemantauan terhadap korupsi tidak dapat diserahkan semata-mata pada aparat penegak hukum.

Langkah penindakan juga tidak hanya bergantung pada penyidikan dan penuntutan pidana, namun harus mencakup kombinasi dari berbagai pengaturan yang saling berkait satu sama lain. "Meski tidak pernah dapat dipantau sepenuhnya, korupsi dapat dikendalikan melalui kombinasi kode etik, tuntutan hukum yang tegas terhadap pelanggar, perubahan organisasi, serta reformasi kelembagaan," demikian tertulis dalam Chapter 3: Reinventing Government? Removing Corrupt Incentives, Part A: Analytical Framework, The TI Source Book.

Karena kuatnya kebutuhan terhadap langkah bersama yang terkoordinasi, Ketua Masyarakat Transparansi Indonesia Mar’ie Muhammad menyarankan agar pemerintah membentuk komisi independen untuk memberantas korupsi. Dengan beranggotakan orang-orang yang punya track record bersih serta dukungan dunia internasional, Mar’ie yakin komisi ini dapat bekerja efektif memberantas penyakit korupsi ini. Di depan peserta Indonesia Forum (20 Nov. 1998), mantan menteri keuangan ini menandaskan, "tanpa membentuk badan yang independen, pemberantasan korupsi sulit menyentuh koruptor kelas kakap (big fish) yang hidup dari hubungan politik dan bisnis yang tidak sehat."