.

k

Akar Masalah Korupsi: Budaya atau Struktur?

⊆ 16.31 by makalah hukum | .

"Bagi saya, korupsi adalah suatu penyakit ganas yang menggerogoti kesehatan masyarakat seperti penyakit kanker yang setapak demi setapak menghabisi daya hidup manusia."

Pendapat ini dikemukakan ahli sosiologi terkemuka Selo Sumardjan dalam pengantarnya untuk buku ‘Membasmi Korupsi’ karya Robert Klitgaard (1998). Pandangan Selo ini secara tegas membantah pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa korupsi merupakan bagian dari sisi gelap mental bangsa Indonesia. Pendapat yang sekilas terasa benar ini muncul mengingat begitu meluasnya praktek-praktek korupsi di berbagai sektor serta kelompok masyarakat di Indonesia.

Republik Drakula

Bagi ahli politik dari Universitas Indonesia Eep Saefulloh Fatah, korupsi tidak semata-mata merupakan ekses dari pembangunan yang terlalu bertumpu pada pertumbuhan ekonomi.

Dalam pandangan Eep, sebenarnya bukan budaya masyarakat Indonesia yang koruptif namun, "struktur kita yang telah diciptakan untuk menjadi koruptif, karena ada struktur yang membiarkan praktek korupsi merajalela. Inilah yang kemudian menimbulkan budaya koruptif tadi. Hal inilah yang sering disebut orang sebagai Republik Dracula yaitu segala struktur di dalam republik tersebut justru menjadi para penghisap darah yang menggerogoti habis segala sendi-sendi dalam negara tersebut."

Korupsi dalam rezim yang lalu diciptakan untuk membantu kerja kekuasaan dengan mensistematiskan korupsi yang melembaga, tandasnya pada M. Yusuf A.S. dari MedTrans, "Rezim kemudian memiliki cukup kekuatan untuk melanggengkan kekuasaannya. Dengan korupsi birokratis ini, birokrasi kemudian jadi membesar sehingga ia menjadi penting dilihat dari kacamata publik."

Mantan dekan FISIP UI Profesor Doktor Muhammad Budyatna menambahkan, "Demi melanggengkan kekuasaannya, (mantan Presiden) Suharto memang sengaja membiarkan semua orang di sekitarnya untuk korupsi, menikmati kekayaan materi yang melimpah ruah sehingga nantinya tidak ada seorangpun yang berani mengutak-utik kekuasaannya."

Disamping itu jika di kemudian hari Suharto harus turun tidak akan ada yang berani membawanya ke pengadilan, karena orang-orang itu bisa terbawa-bawa, dan adanya ikatan moral korupsi pada orang-orang tersebut, tutur Prof. Budyatna, mantan salah satu ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Umat Islam, "Bagi Suharto semakin banyak orang yang korupsi maka semakin kuat pula posisinya sebagai seorang penguasa tunggal."

Konstruksi kekuasaan yang bersifat koruptif ini diperkuat lagi oleh sikap pragmatis dunia internasional, terutama negara-negara maju. Menurut Presiden Transparency International Peter Eigen kasus-kasus korupsi ini sebagian disembunyikan oleh konspirasi di negara-negara Industri karena, "selama Perang Dingin, seorang Marcos yang korup atau seorang Noriega yang korup dapat ditoleransi selama ia berada secara tegas di sisi kelompok kapitalis atau Blok negara Barat. Hal yang sama terjadi pada blok lainnya (maksudnya Blok negara Timur –red.) "

Korupsi Bermanfaat?

Meski sepakat korupsi merupakan hal yang negatif, sejumlah peneliti menemukan ‘manfaat’ dari praktek korupsi bagi masyarakat. Sun Yan, ahli politik Asia yang mengajar di City University of New York, menemukan bahwa di banyak negara Asia, terutama di Cina, korupsi ternyata membuka jalan bagi kelompok-kelompok masyarakat marjinal untuk mengakses dan memperoleh bagian dari sumber-sumber daya negara.

"Korupsi menyajikan ruang gerak dengan menawarkan perangkat bagi orang-orang yang berada di luar sistem, baik untuk menghindari kontrol pemerintah maupun untuk mencari keuntungan dari kontrol pemerintah ini, yang mengarah pada diversifikasi serta penguatan perekonomian," kata Yan sebagaimana yang ditulis Britta Hilstrom dalam Effects of Corruption on Democracies in Asia, Latin America, and Russia (Sept. 1997).

Dalam bukunya The TI Source Book, lembaga Transparency International juga mengakui manfaat positif dari korupsi. "Sejumlah orang berpendapat bahwa korupsi juga mempunyai dampak yang menguntungkan, seperti akses yang diperoleh tanpa kekerasan terhadap administrasi dan urusan-urusan pemerintah, saat saluran-saluran politik disumbat, atau sebagai sarana untuk mengurangi potensi ketegangan antara pegawai negeri dan para politikus dengan mengkaitkan keduanya dalam jaringan kepentingan pribadi yang mudah dibentuk."

Bahkan, sejumlah penelitian teoritis terhadap korupsi yang dihimpun Bank Dunia, menunjukkan bahwa penyalahgunaan kekuasaan publik ini bermanfaat secara ekonomi, setidaknya dalam jangka pendek, karena meningkatkan efisiensi pasar. Pertama, korupsi merupakan biaya pasar (market payment) yang memungkinkan alokasi sumber daya negara pada pihak yang paling mungkin memanfaatkan secara efisien, yaitu pihak yang membayar suap tertinggi. Kedua, korupsi secara teoritis meningkatkan efisiensi pasar karena memungkinkan perusahaan menghindari peraturan yang terlalu ketat atau pajak yang terlalu besar.

Mengurangi Kesejahteraan

Jika demikian, apakah alasan mentalitas bangsa serta manfaat jangka pendek korupsi dapat digunakan untuk membenarkan berbagai praktek penyalahgunaan kekuasaan ini?

Menyalahkan meluasnya praktek-praktek korupsi pada alasan mentalitas bangsa, walupun tampaknya benar, sebenarnya merupakan upaya untuk mengelak dari akar persoalan sebenarnya. Dengan bersembunyi di balik alasan mental, korupsi secara diam-diam dibenarkan karena mengubah mental bangsa membutuhkan waktu lebih dari satu generasi (l.k. 30 tahun).

Argumen bahwa korupsi memungkinkan alokasi sumber daya negara pada kelompok-kelompok masyarakat yang lebih luas serta meningkatkan efisiensi perekonomian dalam jangka pendek, ternyata juga tidak terbukti dalam jangka panjang.

Dalam artikel yang sama, Sun Yan mengakui bahwa meski korupsi membuka akses sumber daya negara bagi kelompok-kelompok marjinal, pada saat yang sama korupsi menguntungkan kelompok Mafia dan kaum elit tertentu. Di India, kata Yan, korupsi memisahkan kaum elit dengan masyarakat kebanyakan, menghambat pertumbuhan ekonomi, menghalangi berkembangnya kewirausahaan, serta melemahkan budaya demokratis. Dengan sejumlah perkecualian, Yan menandaskan sifat korupsi yang tidak demoratis serta destruktif meruntuhkan moral masyarakat, menimbulkan keresahan sosial dan keterasingan politis.

Sementara Transparency International mengingatkan bahwa meski ada keuntungan jangka pendek yang dinikmati oleh perekonomian, praktek korupsi membocorkan aliran modal dalam perekonomian domestik. Lebih jauh lagi, korupsi mendorong ke arah alokasi sumber daya yang justru tidak efisien karena memungkinkan kontraktor yang paling tidak efisien untuk memperoleh kontrak-kontrak pemerintah hanya karena mampu membayar suap tertinggi. Apalagi, karena biaya suap ini kemudian dimasukkan dalam struktur penetapan harga barang atau jasa yang diproduksi, sehingga meningkatkan harga jualnya, maka secara teoritis permintaan terhadap komoditi tersebut akan turun dan tingkat konsumsinya akan berada di bawah tingkat yang efisien. Jadi korupsi justru mengurangi kesejahteraan masyarakat secara umum.

Argumen lain dikemukan kelompok peneliti Bank Dunia. Dalam jangka panjang, kesempatan untuk melakukan penyuapan mendorong para pegawai pemerintah untuk mengubah peraturan atau perilaku mereka, sehingga pada akhirnya mengurangi efisiensi perekonomian, meruntuhkan legitimasi politis dan rasa keadilan masyarakat.

Tidak heran jika Selo Sumardjan, saat ditanya oleh M. Yusuf A.S. dari MedTrans tentang bagaimana caranya memberantas korupsi di Indonesia, hanya menjawab pendek, "Ambil tindakan!!"