.

k

Ketika Indonesia Menangis

⊆ 16.49 by makalah hukum | , .

Indonesia memang sedang menangis. Tekad bulat masyarakat dan bangsa Indonesia yang dituangkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) belum bisa sepenuhnya di-realisasikan. Dalam menjalankan tugasnya, kejaksaan dirasakan terlalu lambat. Publik seperti ti-dak sabar untuk melihat hasil pemberantasan KKN yang pembuktian yuridisnya tidak terlalu mudah.

Terlepas dari berbagai kritik dalam pemberkasan, Jaksa Agung Marzuki Darusman telah menyelesaikan tugasnya untuk menuntaskan penyidikan kasus Soeharto, kemudian melimpahkannya kepada pengadilan. Soeharto memang menjadi simbol penegakan hukum kasus KKN. Beberapa kasus Bank Bali pun telah diberkas, bahkan telah diadili. Meskipun seorang di antaranya, Joko Soegiarto Tjandra dilepaskan dari tuntutan hukum.

JOKO Tjandra boleh jadi merupakan sosok piawai. Dalam setiap perkara yang berkaitan dengan Bank Bali, ia selalu memenangkan perkara itu. Baik itu perkara di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (perdata atau pidana) ataupun perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Di PN Jakarta Selatan, Joko pernah menggugat Bank Indonesia maupun Bank Bali, sebab tidak bisa memanfaatkan uang bagian perjanjian cessie sebesar Rp 546 milyar. Dalam putusan majelis hakim yang diketuai Soenarto dinyatakan, uang Rp 546 milyar itu merupakan hak PT Era Giat Prima (EGP) atau Joko. Di PTUN pun Joko menang. Dalam perkara pidana kasus korupsi Bank Bali, Ketua majelis hakim Soenarto yang juga menangani gugatan perdata soal kepemilikan dana Rp 546 milyar, dalam putusan selanya sudah menyatakan tidak menerima dakwaan jaksa. Soenarto pun berpendapat, kasus Bank Bali adalah kasus perdata.

Lepasnya Joko pada putusan sela itu dilawan Kejaksaan dengan mengajukan banding ke pengadilan tinggi, dan pengadilan tinggi membatalkan putusan sela PN Jaksel. Pokok perkara pun digelar kembali dan hakim pun ber-ganti dari Soenarto ke Soedarto. Dan, akhirnya Joko pun bebas lagi. "Kita tetap berpendirian perkara itu pidana dan kita ajukan perlawanan atas putusan sela itu. Sampai akhir-nya kembali diputus bebas, masak kemudian kita yang disebut tidak profesional," kata Jaksa Agung Marzuki Darusman.

KONDISI ini terasa memprihatinkan. Pemberantasan KKN memang bukan hanya menjadi tugas kejaksaan, me-lainkan juga kalangan pengadilan dan juga advokat. Jika tugas penuntutan telah dilakukan kejaksaan secara benar dan profesional, namun kandas di tangan hakim, pemberantasan KKN yang didambakan publik tidak akan punya arti apa-apa.

Dikatakan Irma Hutabarat (Ketua Konsultan Domestik Proyek Pembentukan Komisi Independen Antikorupsi), seharusnya aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi ini mempunyai tekad dan strategi yang sama. Yang terjadi sekarang ini, majelis hakim yang membebaskan pelaku korupsi ber-dalih, sebab jaksa tak bisa menunjukkan bukti yang memadai. Jaksa pun berdalih, hakim tidak bisa memutuskan sesuai rasa keadilan masyarakat. "Padahal, sebenarnya kita sudah mempunyai Tap MPR yang secara tegas menyebutkan, pertama yang harus dilakukan di era reformasi ini adalah pemberantasan KKN," kata Irma.

Di era transisi, memang beberapa kasus korupsi "lolos" di tangan hakim. Sebut saja misalnya, kasus yang berkaitan dengan Ricardo Gelael, Tommy Soeharto, dan Beddu Amang. Jika di era Orde Baru, hakim betul-betul berada di bawah subordinasi kekuasaan, di era reformasi hakim seakan punya keinginan untuk mencitrakan dirinya telah lepas dari kekuasaan. Sangat boleh jadi bebasnya terdakwa kasus korupsi, sebagai wujud ekspresi dari kalangan hakim untuk memberikan kesan kepada publik bahwa "aku tak seperti yang dulu".

Sikap demikian tentunya amat tidak menguntungkan, ketika bangsa ini terpuruk dengan penyakit KKN. Hakim hendaknya tak berlindung di balik independensi dan kemandiriannya, untuk memutuskan sesuatu yang mengingkari rasa keadilan masyarakat. Hakim dan advokat sama-sama punya tanggung jawab untuk memerangi KKN.