.

k

Refleksi dan Harapan: Reformasi Agraria, Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Paska 100 Hari Pemerintahan SBY-Kalla

⊆ 16.50 by makalah hukum | .

Abstrak

Seratus hari telah berlalu. Pemerintahan SBY-Kalla tak sekalipun mengambil langkah berani dalam menyelesaikan persoalan bangsa, termasuk janji 100 hari yang telah didengungkannya. Awalnya, rakyat dibuai oleh mimpi berupa harapan untuk kehidupan yang lebih baik, termasuk dalam pengelolaan sumberdaya alam. Hal ini terlihat dalam berbagai penyelesaian masalah lingkungan dalam beberapa kasus, seperti Buyat, TPST Bojong, dan Reklamasi Pantura. Kementrian Lingkungan Hidup berjanji akan menyelesaikan semua itu dalam seratus hari. Demikian juga dengan Departemen Kehutanan yang berjanji untuk mengatasi masalah penebangan liar (illegal logging), namun semua janji tersebut berlalu setelah seratus hari dan banyak yang tidak direalisasikan. Selain itu, kegagalan tampak pada agenda utama Kementrian Lingkungan Hidup yang berjanji untuk merealisasikan pengarus-utamaan pembangunan berkelanjutan dalam pemerintahan ini. Selain itu, kegagalan juga terjadi dalam reformasi agraria, pembahasan RUU Sumberdaya Alam, dan lainnya. Persoalan lingkungan, sama halnya dengan persoalan lain, seperti politik, hukum, dan ekonomi, yang mengalami kegagalan. Hal ini berarti gagalnya program 100 hari SBY-Kalla dalam mewujudkan keadilan sosial dan ekologi, seperti pemerintahan sebelumnya, kembali terulang karena tidak tampak adanya peletakan dasar bagi sebuah reformasi sumber daya alam dan agraria.

Meski demikian, tak ada batas kami berharap. Pemerintahan SBY-Kalla yang telah terjungkal 100 hari, kami harapkan bisa bangun kembali menata pemerintahan dengan lebih baik, membangun demokrasi, dan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan dengan langkah-langkah yang efektif. Selain itu, kami berharap agar pemerintahan ini lebih percaya diri dalam membangun bangsa dan berhenti menggadaikan negara dan kepentingan rakyat dengan utang luar negeri.

100 hari memang bukan waktu yang panjang untuk melakukan evaluasi, namun 100 hari lebih tepat ditujukan untuk melihat ada tidaknya konsistensi pada SBY-Kalla pada perubahan yang telah dijanjikannya. Karena diabaikannya harapan rakyat hanya akan membuat pemerintahan ini hancur dan tak akan pernah dipercaya lagi. Bahkan, berjalan dalam simpang jalan yang lain.

A. Pendahuluan

Dari Janji Surga dan Memorandum

Pemerintahan SBY-Kalla telah mencanangkan program 100 harinya, yang kemudian diikuti oleh para menterinya. Program tersebut berfokus pada pemulihan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan sebagai prioritas pertama. Program tersebut sekilas tak menampakkan perbedaan dengan pemerintahan Orde Baru, yang tidak menganggap masalah ekologi sebagai masalah utama yang mempunyai keterkaitan dengan berbagai sumber-sumber perikehidupan yang lain. Sementara hukum dan politik merupakan arus utama yang mempengaruhi hancurnya sumber-sumber ekologi dan kehidupan bangsa Indonesia saat ini.

Untuk itu, kami akan melakukan evaluasi dan analisis berdasarkan atas program-program 100 hari Kabinet SBY-Kalla yang dilakukan oleh para menterinya sekaligus mendasarkan memorandum yang telah kami sampaikan pada saat kabinet ini disusun.

Program 100 Hari

Berikut ini adalah program 100 hari para menteri:

No

Kementerian

Program

1 Menteri ESDM

(a) Merencanakan menjual 15 blok migaso

(b) Membahas kembali pertambangan di hutan lindung

(c) Membuat 21 sumur air bawah tanah

(d) Promosi Road Map Pertambangan

(e) Penyerapan 32.000 lapangan pekerjaan dari sektor tambang

2 Lingkungan Hidup

(a) Penyamaan persepsi kasus TPST Bojong antara berbagai pihak

(b) Penyelesaian hukum kasus Buyat

(c) Pengarus-utamaan pembangunan berkelanjutan dalam pemerintahan

3 Kelautan

(a) Mewujudkan Indonesia yang aman dan damai

(b) Mewujudkan Indonesia yang sejahtera

(c) Antisipasi Bencana Banjir dan Musim Tanam (padi)

4 Kehutanan

(a) Pencurian kayu di hutan negara (illegal logging) harus diminimalisir sesuai batas kewenangannya

(b) Rehabilitasi hutan dan lahan akan terus dilakukan

(c) Revitalisasi industri kehutanan dengan berbagai langkah yang dapat diambil untuk dapat membangkitkan kembali peran ekonomi kehutanan

(d) Mengembangkan ekonomi masyarakat sekitar hutan melalui pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraannya

5 Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM)

(a) Membentuk komisi pengawas kejaksaan

(b) Membentuk komisi kepolisian

(c) Menghilangkan hambatan prosedural dalam korupsi

(d) Peninjauan aturan soal ijin pemeriksaan

(e) Menerbitkan peraturan menon-aktifkan pejabat yang menjadi tersangka

Dari berbagai sumber, diolah.

Memorandum untuk Pemerintahan Baru

Memorandum untuk Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam

Agenda 100 Hari Pemerintahan Baru ini, kami sampaikan kepada pemerintah pada tanggal 4 Oktober 2004 (6 hari setelah pelantikan). Memorandum ini didasarkan pada pemikiran bahwa masa Orde Baru, pembangunan telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun gagal dalam mewujudkan keadilan sosial dan ekologi. Hal ini terlihat dari makin meningkatnya kesenjangan ekonomi, kegagalan mengatasi kemiskinan, dan meningkatnya kerusakan sumber-sumber agraria dan sumber daya alam serta degradasi lingkungan hidup. Kombinasi antara krisis ekonomi dan krisis multidimensi lainnya, telah melahirkan Era Reformasi.

Namun, lima tahun setelah reformasi, ternyata tidak mampu memenuhi harapan dan aspirasi rakyat. Ketidakadilan dan kemiskinan struktural tetap bertahan, bahkan bertambah parah dengan terjadinya penghancuran sistem penunjang kehidupan. Bencana dan degradasi lingkungan terus terjadi, yang menimbulkan kualitas hidup terus menurun. Sementara itu, konflik sosial-ekonomi masih terjadi. Ini semua terjadi karena kebijakan pembangunan masih bertumpu pada pertumbuhan ekonomi (eksploitatif dan skala besar), memberlakukan sumber-sumber agraria/sumber daya alam sebagai komoditas dan memarginalkan akses dan kedaulatan rakyat atas sumber-sumber kehidupan tersebut.

Untuk itu, dalam 100 hari, harus ada langkah kongkret pemerintah yang kami tuangkan dalam memorandum tanggal 4 Nopember 2004, yaitu:

  1. Moratorium Peraturan Perundangan-undangan Baru dan Melakukan Peninjauan Kembali Perundang-undangan Sektoral yang ada. Semua perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan agraria dan sumberdaya alam harus mengacu kepada keadilan ekonomi-sosial-ekologi intra dan antar-generasi, mengacu kepada prinsip kehati-hatian, kepastian hukum dan akuntabilitas publik, perlindungan masyarakat adat, keterpaduan antar-sektor dan keberkelanjutan. Untuk itu, dilakukan moratorium peraturan perundangan baru di bidang agraria dan sumber daya alam dan melakukan tinjauan terhadap semua perundangan sektoral yang telah ada.
  2. Moratorium Perizinan Pemanfaatan Sumber Daya Alam dan Melakukan Evaluasi Atas Perizinan yang telah dikeluarkan. Untuk mencegah intensitas pengurasan sumber daya alam dan penghancuran lingkungan hidup, maka salah satu cara efektif untuk membendungnya adalah dengan cara memberlakukan moratorium perizinan pemanfaatan sumber daya lama, terutama di sektor ekstraktif skala besar, seperti pertambangan, pulp-paper, dan perkebunan. Moratorium ini dilakukan untuk kurun waktu 1 tahun untuk membenahi sistem pengelolaan sumber daya alam dari aspek keadilan ekonomi, sosial, dan ekologi yang berpihak kepada rakyat banyak.
  3. Pembentukaan kelembagaan khusus yang bersifat independen untuk menyelesaikan konflik atau sengketa berkenaan dengan sumberdaya agraria atau sumber daya alam.
  4. Penegakan Hukum. Untuk menunjukkan kesungguhan pemerintah dalam melakukan pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, pemerintah harus segera mempercepat proses penegakan hukum menyangkut aspek pidana dan administrasi terhadap pelanggaran hukum yang terkait dengan operasi perusahaan PT Newmont Minahasa Raya, baik menyangkut aspek perampasan tanah rakyat, pencemaran lingkungan hidup, dan kemungkinan adanya kolusi dan korupsi dalam kasus ini. Selain itu, juga mengusut keterlibatan Militer dalam Bisnis yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam.

B. Evaluasi Setelah 100 Hari

Setelah 100 Hari Pemerintahan hasil pemilu 2004 berjalan, kami mencoba melakukan evaluasi dari program melalui janji-janji, program sektoral berbagai departemen, dan memorandum yang telah kami sampaikan. Secara umum, kami melihat bahwa persoalan hukum, politik, dan ekonomi, yang menjadi agenda utama SBY-Kalla telah mengalami kegagalan. Berikut evaluasi catatan kami secara umum dan sektoral:

Bidang Politik

Dalam bidang politik, masa 100 hari masih juga gelap. Proses demokratisasi yang dijanjikan usai masa reformasi dan diikuti oleh pemerintahan ini masih berkutat dengan berbagai persoalan. 12 November 2004, kita dikejutkan oleh kebijakan pemerintah yang memperpanjang Darurat Sipil Aceh. Padahal, di masa kampanyenya, SBY pernah berjanji untuk mereview kebijakan tersebut. Rakyat Aceh kembali bergolak dengan hal itu. Malang tak putus di Tanah Rencong ini. 26 Desember 2004, bencana Tsunami telah memporak-porandakan seluruh yang ada di Aceh. Lebih dari 265 ribu orang meninggal, 165.000 hilang, dan jutaan lainnya kehilangan rumah, pekerjaan, dan tercerabut dari lingkungannya.

Bencana yang sangat dahsyat ini membuat seluruh dunia memperhatikan Aceh. Soal kemanusiaan kembali mengemuka setalah beberapa tahun yang lalu ribuan pengungsi karena konflik militer juga terjadi. Beberapa saat persoalan konflik terlupakan, meski demikian ini masih merupakan pekerjaan rumah bagi SBY-Kalla untuk membangun Aceh tanpa darah dan air mata lagi.

Selain itu, terpilihnya MJK sebagai Ketua Umum Golkar, secara otomatis, menguasai perlemen telah membawa suasana psikologis di antara SBY-Kalla, yang ke depan bisa membawa persoalan tersendiri. Bila hal ini tak diatasi hanya akan membawa daftar panjang pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan setalah 100 hari, seperti masalah otonomi daerah, pemilihan kepala daerah, kebebasan pers, dan lainnya.

Bidang Ekonomi

SBY-nomic yang ramai didiskusikan di awal kepemimpinan SBY dengan basis pedesaan dan pertanian tak menjadi kenyataan dalam menyusun kabinet, juga dalam realisasi program 100 hari SBY-Kalla dalam bidang ekonomi. Dengan diangkatnya Sri Mulyani (Mantan Direktur IMF), Abu Rizal Bakri, dan Marie Elke Pengestu menunjukkan bahwa arus kapitalisme lebih nyata dalam kabinet ini. Hal ini menjadi kenyataan ketika dalam pertemuan CGI yang berlangsung tanggal 19 Desember kemarin, Indonesia masih malu-malu untuk meminta keringanan utang. Padahal, jelas-jelas kita kembang-kempis dalam membayarnya.

Momentum moratorium utang yang diberikan beberapa negara karena adanya bencana Tsunami yang melanda Aceh dan Nias tak dimanfaatkan dengan baik, justru pemerintah mengambil utang lagi dengan dalih untuk membangun infrastruktur.

Di sektor tenaga kerja, pemerintah tidak mampu mengatasi pemulangan TKI yang jumlahnya puluhan ribu orang dari Malaysia setelah pemerintah Malaysia memulangkan seluruh TKI ilegal dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Jumlah ini tentu saja menambah panjang jumlah pengangguran yang akan diatasi pemerintah.

Bidang Hukum

Tercatat bahwa ada sejumlah persoalan utama yang telah mempengaruhi dan menghalangi proses penerapan agenda nasional dalam bidang hukum, yaitu menguatnya penggunaan regulasi kedaruratan dan pengerahan kekuatan militer untuk menyelesaikan tuntutan kemerdekaan serta konflik sosial di beberapa daerah, agenda perbaikan ekonomi nasional yang menuntut penguatan jaminan keamanan bagi pemilik modal sehingga berakibat langsung pada berkurangnya sumber-sumber ekonomi penduduk, proses desentralisasi kekuasaan yang semakin menguatkan keberadaan modal dan penggunaan cara-cara kekerasan dan pengabaian hak-hak individu, kelompok, dan masyarakat asli atas ekonomi, sosial, dan budaya, serta faktor kegagalan negara dalam menghancurkan sistem patriarki di tubuh pemerintahan dan parlemen, yang pada akhirnya membuat perempuan sebagai populasi terbesar, tersisih dari seluruh proses pelaksanaan agenda reformasi nasional.

Kondisi ini pun semakin diperburuk dengan realitas buruknya proses reformasi di institusi peradilan yang gagal mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi tersebut, karena perilaku korup dan tidak berdayanya institusi tersebut melawan intervensi yang cukup besar dari kalangan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan institusi militer atau polisi.

Kasus korupsi yang tampaknya akan menjadi garda terdepan penegakan hukum di negeri ini tak menyentuh beberapa aktor utama. Banyak di antara mereka yang tercoreng kasus korupsi masih bisa melenggang seenaknya seakan tak tersentuh hukum. Penemuan-penemuan korupsi daerah tingkat satu tidak diselesaikan secara tuntas, sehingga menyisakan deret ketidakadilan di daerah. Meski ada beberapa titik terang, bidang ini malah makin rumit untuk diselesaikan karena akar persoalan agar hukum diperlakukan secara sama ke semua orang belum menjadi kenyataan.

Bidang Agraria dan Sumberdaya Alam

Dalam bidang agraria dan sumber daya alam, masih tetap buram. Janji SBY yang sempat dituliskan di awal pemerintahan ini tak menjadi kenyataan. Janji untuk melaksanakan reformasi agraria sebagai langkah menggapai masyarakat aman, adil, dan sejahtera belum berjalan. Saat itu, dirumuskan bahwa reformasi agraria akan memastikan pemerataan penguasaan tanah sehingga menjamin penghidupan dan kesempatan kerja bagi rakyat (petani), kepastian tata-guna tanah, dan pengelolaan kekayaan alam yang melestarikan lingkungan hidup, mewujudkan kedaulatan pangan, mempertinggi produktivitas keluarga petani sehingga mampu melakukan re-investasi dan memiliki daya beli tinggi.

Dalam konteks pelaksanaan reformasi agraria, tampaknya ada kecenderungan meredupnya semangat di dalam diri SBY untuk sungguh-sungguh menjalankan salah satu janji manisnya itu. Sejak dilantik, hingga kini, belum satu kali pun SBY-MJK menyinggung bagaimana agenda reformasi agraria akan dijalankan. SBY-MJK malah menerapkan berbagai kebijakan yang diindikasi dapat menjadi sandungan bagi pelaksanaan reformasi agraria sejati. Sekedar contoh penandatanganan puluhan kontrak di bidang energi dan pertambangan, pemberian perpanjangan hak guna usaha bagi perkebunan berskala luas, serta pengukuhan berbagai ijin pengusahaan hutan berbasis modal besar menjadi fakta yang meredupkan gairah dan harapan akan adanya reformasi agraria.

Tujuan awal reformasi agraria yang sejati juga berpotensi dibelokkan dengan adanya RUU Sumberdaya Agraria yang digarap sejak masa Pemerintahan Megawati. RUU ini merupakan terjemahan Badan Pertanahan Nasional atas Keputusan Presiden RI No. 34/2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan yang merupakan turunan dari Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Di dalam Keputusan Presiden tersebut, berisi sebuah perintah kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk melakukan percepatan dalam proses penyempurnaan UU No. 5 Tahun 1960 (yang dikenal dengan UUPA 1960) dan peraturan perundangan lainnya yang terkait pada pertanahan.

Inisiatif ini, segera membuat reaksi dari sejumlah pihak yang selama ini memperjuangkan adanya reformasi agraria yang sebenarnya. Dalam proses penyusunan naskah RUU tersebut, BPN tidak melibatkan para pakar agraria dari berbagai disiplin ilmu, sehingga sangat kuat kesan bahwa penyusunan naskah RUU tersebut dilakukan “secara diam-diam dan tertutup”. Ini jelas berbeda jauh dengan proses panjang dan terbuka yang dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa pada waktu itu, yang menghasilkan UUPA 1960, yakni melalui serangkaian kerja 5 Panitia sejak Mei 1948. Proses konsultasi publik dilakukan dengan sangat terbatas sehingga para konstituen yang berkepentingan dengan pengaturan agraria tidak mendapat cukup ruang dan kesempatan yang cukup untuk memberikan masukan yang memadai terhadap naskah yang telah dihasilkan. Setelah mempelajari naskah RUU tentang Sumberdaya Agraria, jelas terkesan bahwa naskah tersebut bukan “penyempurnaan”, melainkan hendak mengubah dan mengganti UUPA No. 5/1960. Kesan ini tercermin dari beberapa butir sebagai berikut: keberadaan UUPA 1960 sama sekali tidak dijadikan sebagai rujukan atau acuan bagi upaya “penyempurnaan” UUPA No. 5/1960. RUU Sumberdaya ini sama sekali tidak mengungkapkan alasan filosofisnya serta tidak dipaparkan penjelasan yang melandasi alasan UUPA 1960 harus disempurnakan.

Dengan demikian, RUU tentang Sumberdaya Agraria tersebut bukanlah upaya untuk menyempurnakan, melainkan mengubah dan mengganti secara keseluruhan UUPA 1960. Hal ini tentu merupakan suatu upaya yang berbahaya dan patut dipertanyakan kembali, karena, di satu sisi, ada belasan pasal dalam UUPA 1960 yang masih relevan dengan kebutuhan bangsa sehingga perlu dipertahankan. Di sisi lain, upaya untuk mengubah UUPA 1960 itu sendiri sesungguhnya merupakan upaya yang dapat dikatakan bertentangan dengan pasal 6 Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.

Demikian pula halnya dengan RUU Sumberdaya Alam yang mengambang sejak masa Pemerintahan Megawati. Tidak ada satu wacana yang cukup jelas disampaikan oleh pemerintah mengenai hal ini. Pemerintahan SBY, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup yang berfungsi sebagai koordinator (fasilitator) tidak menyebutkan hal ini sebagai salah satu agenda 100 hari.

Lingkungan Hidup

Selain menyelesaikan kasus-kasus lingkungan yang akut (kasus penecemaran Teluk Buyat, TPST Bojong, dan Ladia Galaska), agenda kerja 100 hari di bidang lingkungan hidup (Kementerian LH) yang terpenting adalah pengarus-utamaan pembangunan berkelanjutan. Kementerian Lingkungan Hidup menyampaikan komitmen untuk mendesakkan agar konsep pembangunan berkelanjutan diterapkan dalam perumusan kebijakan pembangunan. Komitmen dan semangat ini terus dipantau oleh masyarakat untuk dibuktikan langkah-langkah implementasinya. Dari penyelesaian kasus lingkungan yang ditangani KLH, sejumlah pengamat lingkungan menilai KLH telah berada pada jalur yang tepat dan menunjukkan komitmen yang baik.

Kementerian KLH menginginkan agar dalam perencanaan tata ruang (Rencana Umum Tata Ruang), konservasi SDA, pengawasan hingga pengendalian dampak lingkungan ada di bawah kewenangan KLH. Selama ini, semua kasus yang menimbulkan dampak negatif lingkungan selalu melanggar tata ruang. Paradigma perencanaan tata ruang yang mengarah ke konsep pendekatan bioregion mutlak dilakukan. KLH juga dituntut mendorong pengarus-utamaan lingkungan dalam setiap kebijakan pembangunan yang dibahas dalam rapat kabinet.

Walaupun kinerja bidang lingkungan hidup yang ditunjukkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dinilai menjanjikan, namun hal ini tidak mencerminkan kabinet SBY secara keseluruhan. Kesamaan cara pandang dan komitmen lingkungan komponen (departemen) lain dalam kabinet SBY tidak menunjukkan perbedaan dengan masa pemerintahan terdahulu yang lemah, tidak mempunyai komitmen dalam bidang lingkungan. Dalam hal penyelesaian kasus Buyat, ego sektoral pertambangan terlihat jelas berhadapan dengan kepentingan lingkungan.

Dalam masa 100 hari ini, KLH sama sekali tidak menyinggung proses pembentukan Dewan Nasional Pembangunan Berkelanjutan (DNPB). Proses pembentukan DNPB ini, dirintis oleh banyak pihak di masa Sonny Keraf menjadi Menteri Lingkungan Hidup, namun kemudian surut ketika KLH dipimpin oleh Nabiel Makarim. Pembentukan DNPB dipandang sebagai jalan agar bidang lingkungan memiliki kekuatan (power) dan dapat masuk ke semua sektor sehingga posisi lingkungan bisa menguat. KLH juga tidak menyinggung mengenai perlunya menghidupkan kembali Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) di tingkat pusat sebagai lembaga operasional teknis. Dibubarkannya BAPEDAL pada masa KLH dipimpin oleh Nabiel Makarim, sangat disayangkan oleh pegiat lingkungan karena dapat melemahkan upaya penyidikan dan penegakan hukum lingkungan.

Bidang Kehutanan

Menteri Kehutanan, MS Kaban, mencanangkan Empat Target Sukses Departemen Kehutanan sebagai bagian utama program kerja selama 5 tahun pemerintahannya, yakni: 1) Pencurian kayu di hutan negara (illegal logging) harus diminimalisir sesuai batas kewenangannya; 2) Rehabilitasi hutan dan lahan akan terus dilakukan; 3) Revitalisasi industri kehutanan dengan berbagai langkah yang dapat diambil untuk membangkitkan kembali peran ekonomi kehutanan; serta 4) Mengembangkan ekonomi masyarakat sekitar hutan melalui pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraannya.

Kinerja SBY di sektor kehutanan dalam 100 hari masa pemerintahannya memang belum cukup memuaskan. Target keempat dari Empat Target Sukses Departemen Kehutanan barulah sebatas komitmen dan belum diimplementasikan. Artinya, janji-janji perubahan yang ditawarkan SBY belum dapat dirasakan oleh Masyarakat Adat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Pekerjaan rumah bagi SBY masih menumpuk. Klaim negara yang begitu besar atas kawasan hutan, yakni seluas lebih dari 120 juta hektar harus ditinjau ulang. Apalagi dari seluruh klaim kawasan hutan negara tersebut baru 10 persen atau sekitar 12 juta hektar yang sudah ditata batas. Kawasan-kawasan hutan yang belum ditata batas, seyogyanya dikembalikan kepada rakyat, selaku pemilik sah atas wilayah tersebut. Pengembalian aset rakyat atas kawasan hutan pada gilirannya akan mendorong tumbuh kembangnya modal ekonomi rakyat.

Kelautan dan Perikanan

Agenda 100 hari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), secara garis besar, terdiri dari 3 agenda, yang menjadi bagian dari prioritas pembangunan 5 tahun. Dari ketiga agenda tersebut, penekanan program terletak pada upaya penegakan hukum, peningkatan ekonomi masyarakat pesisir, dan program khusus pengamanan ketersediaan pangan untuk masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam 100 hari, DKP mencoba untuk melakukan hal-hal yang dianggap prioritas, meskipun masih terkesan ‘terperangkap’ oleh skema program lima tahun. Sehingga agenda 100 hari DKP terkesan dipaksakan dan membingungkan.

Penanggulangan aktivitas illegal fishing (pencurian ikan dan penangkapan yang merusak) merupakan salah satu agenda utama penegakan hukum. Program ini sesungguhnya memang sangat diperlukan untuk dapat menjaga ketersediaan ikan yang dimiliki perairan Indonesia. Namun, ketika kasusnya sudah harus sampai di pengadilan, tidak terlalu banyak catatan yang menunjukkan perubahan signifikan dari pengalaman sebelumnya. Dari hasil tangkapan yang dilaporkan, sebagian besar masih dalam proses penyidikan. Hal ini juga terjadi pada masa terdahulu, yaitu kapal yang ditangkap biasanya tidak terlalu jelas tindak lanjutnya sesudah penyidikan berlangsung. Namun, pekerjaan yang dilakukan oleh tim koordinasi ini, cukup membuahkan hasil apabila dalam waktu 50 hari telah menghasilkan sesuai dengan yang telah dilaporkan.

Energi dan Pertambangan

Dalam masa 100 hari, tidak ada perubahan sedikitpun dalam kebijakan sektor mineral dan energi pada Pemerintahan SBY. Di tangan pemerintahan SBY, kini terdapat Road Map Pertambangan 2003 yang disusun bersama industri pertambangan dan Rancangan Undang-undang Mineral dan Batu Bara (sebelumnya RUU Pertambangan) yang diwariskan sejak masa Gus Dur hingga Megawati. Pola-pola eksploitasi yang sama akan berlanjut apabila materi dalam RUU ini tidak mengalami perubahan berarti. Hal-hal pokok yang selama ini menjadi sumber konflik antara pelaku pertambangan dengan masyarakat maupun lingkungan masih diabaikan. Investasi (asing) mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum yang lebih kuat di atas kepastian lingkungan dan hak masyarakat. Walau kecil kemungkinan, RUU ini juga dapat menjadi momentum untuk melakukan perubahan mendasar (transformasi) kebijakan mineral ke depan. Hal ini dapat terjadi apabila Pemerintahan SBY berani melakukan perubahan paradigma pengelolaan mineral selama ini.

Dalam masa 100 hari, menarik mengamati pertarungan antara kepentingan sektoral pertambangan yang didukung oleh Departemen ESDM dan kepentingan lingkungan dan masyarakat yang diperjuangkan Kementerian LH dan organisasi lingkungan. Agenda 100 hari lainnya yang menarik untuk dicatat adalah upaya Departemen Energi Sumberdaya Mineral untuk mensegerakan beroperasinya 13 tambang di kawasan hutan lindung.

Dalam hal kebijakan energi, masa 100 hari sektor pemerintahan SBY belum menunjukkan perubahan paradigma dan pendekatan. Perencanaan energi, saat ini, lebih menitikberatkan pada skenario demand-supply yang dibuat oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DSDM) sebagai departemen sektor yang bertanggung jawab. Perencanaan energi yang belum terintegrasi dengan sektor lainnya, misalnya, sektor perindustrian, transportasi, rumah tangga dan sektor lainnya. Perencanaan energi ini belum terintegrasi dengan perencanaan pembangunan nasional, jangka pendek dan jangka panjang, kebijakan ekonomi nasional, dan skenario serta strategi pertumbuhan/pembangunan sektoral lainnya.

Kondisi demand dan supply menunjukkan bahwa ketergantungan yang tinggi terhadap bahan bakar fosil untuk mendorong pembangunan ekonomi dalam jangka panjang dapat mengancam kesinambungan pertumbuhan ekonomi itu sendiri, jika sumber daya energi fosil semakin berkurang. Di sisi yang lain, eksploitasi atas sumber-sumber energi fosil mengakibatkan konflik pengelolaan sumber daya alam dengan masyarakat, pelanggaran hak-hak ulayat, HAM, dan rusaknya ekosistem.

C. Dari Refleksi ke Harapan

Waktu 100 hari memang terlalu pendek bagi sebuah pemerintahan, namun hal ini merupakan potret dari kesungguhan dari pemerintahan SBY-Kalla untuk tetap komitmen pada perubahan menuju masyarakat yang berkeadilan sosial. Dari perjalanan 100 hari, juga kita bisa tentukan apakah kita masih sejalan ataukah kita akan memutuskan bersimpang jalan dengan pemerintahan ini.

Namun, berangkat dari evaluasi dan refleksi itulah, kami masih berharap, kami mengusulkan beberapa hal yang harus dijalankan oleh pemerintahan ini, yaitu:

  1. Pelaksanaan Memorandum 4 Nopember 2004.
  2. Pengarus-utamaan Lingkungan dalam Agenda Pembangunan.
  3. Reformasi Bidang Agraria dan Lingkungan Hidup.
  4. Pembaharuan Kebijakan dan Regulasi Pengelolaan Sumbedaya Alam dan Lingkungan Hidup yang Adil dan Berkelanjutan.
  5. Penyelesaian Konflik Agraria dan Lingkungan di Masa Lalu.
  6. Kebijakan Energi, Pangan, dan pemenuhan hak-hak dasar yang mandiri, berkelanjutan dan terbatas dari ketergantungan pada pihak luar.
Sumber: Walhi