.

k

Keppres Mengenai Dana Reboisasi

⊆ 13.29 by makalah hukum | .

Penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dalam tubuh pemerintah akan selalu menjadi berita yang hangat. Bukan sekedar sebagai gosip atau bahan obrolan di kala iseng, akan tetapi karena penyelewengan itu telah sangat merugikan masyarakat. Salah satu hal yang tengah hangat dibicarakan adalah mengenai penyelewengan Dana Reboisasi (DR). MTI sebagai organisasi yang diharapkan menjadi salah satu think tank bagi perbaikan sistem di Indonesia juga tengah melakukan penelitian terhadap bidang ini. Proyek penelitian Keppres, yang tengah dimatangkan produknya oleh MTI sebelum "diluncurkan", juga menyinggung permasalahan seputar DR ini. Tindak lanjut penelitian Keppres yang berupa diskusi mengenai masalah DR ini juga mendapatkan sambutan yang hangat dari LSM-LSM Lingkungan sebagai salah satu mitra MTI dalam misinya.

Awal Kerancuan
DR diatur dalam Keppres nomor 29/1990 tentang Dana Reboisasi, yang kemudian diubah dengan Keppres nomor 32/1998. Keppres ini mengatur mengenai pemungutan DR, bagaimana mekanismenya, terhadap apa saja pengenaannya, serta mekanisme penggunaan DR tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dari segi ilmu perundang-undangan Keppres ini tidak bermasalah dari segi materi muatannya. Keppres ini merupakan Keppres yang mandiri dan merupakan peraturan kebijakan karena UU di atasnya, baik yang mengenai pajak maupun mengenai lingkungan, tidak ada yang mendelegasikan ataupun mengatribusikan kewenangan untuk memungut dana reboisasi kepada Keppres. Substansi dari Keppres ini yang menjadi permasalahan utama, bagaimana pengelolaan dari pendapatan pemungutan DR ini. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Departemen Kehutanan dan Perkebunan, DR sekarang telah masuk menjadi salah satu pos APBN. Namun demikian perlu dipikirkan lebih lanjut penggunaannya, jangan sampai keluar dari peruntukkannya. Untuk itu diperlukan Keppres yang tidak hanya mengatur kewajiban untuk memberikan Dana Reboisasi, akan tetapi juga masalah penggunaan dan accountability-nya.

Dari segi tujuan, diperlukan adanya suatu lembaga Dana Reboisasi guna menjamin adanya proses reboisasi lahan yang kontinyu, namun dari segi substansi keberadaan dan pengelolaan DR, Keppres ini, sebagai dasar hukumnya, bermasalah. Oleh karena itu Keppes ini direkomendasikan untuk dicabut oleh Tim Kerja Bidang Hukum MTI. Selanjutnya DR ini sebaiknya diatur dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu UU atau PP sebagai turunan dari UULH, yang mengatur pengelolaan DR dengan baik, termasuk masalah accountability-nya serta penggunaannya, termasuk sistem pengelolaannya dalam APBN. Suatu studi yang dilakukan oleh WALHI menyatakan perlunya suatu sistem pengelolaan seperti superfund di Amerika Serikat agar peruntukkannya diatur dengan tegas hanya untuk reboisasi/rehabilitasi lahan.

Dana Reboisasi untuk konco-konco
Besarnya celah penyalahgunaan kekuasaan telah digunakan dengan "baik", terbukti dengan adanya beberapa Keppres yang mengatur mengenai pengeluaran DR untuk kepentingan pihak-pihak yang memiliki hubungan dekat dengan penguasa pada waktu itu. Salah satunya yaitu Keppres 42/1996 tentang Bantuan pinjaman kepada PT IPTN. Keppres ini mengatur mengenai pemberian pinjaman sebesar Rp. 400.000.000.000,00 kepada PT IPTN yang berasal dari Dana Reboisasi. Dari segi materi muatan berdasarkan ilmu perundang-undangan, Keppres ini tidak bermasalah, namun karena Keppres ini mengatur pengalokasian DR untuk kepentingan lain di luar reboisasi, terdapat masalah dalam hal legalitasnya, karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 4 Keppres 29/1990 yang mengatur mengenai pemanfaatan DR. Keputusan ini bertentangan pula dengan UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan yang menjadi dasar pembentukan Keppres 29/1990 dan dasar hukum penggunaan DR untuk upaya reboisasi hutan. Pengelolaan keuangan negara, bagaimanapun tidak bisa diatur berdasarkan keperluan sesaat saja tanpa adanya perencanaan dan peruntukkan yang jelas yang sesuai dengan aturannya, dengan dasar pemikiran filosofi dari apa yang disebut "keuangan negara" itu sendiri dan hakekat dari negara hukum yang tidak mendasarkan segala sesuatu kepada kemauan penguasa saja, melainkan berdasarkan hukum yang berlaku. Kemudian dalam Pasal 14 Keppres 29/1990 diatur bahwa "penggunaannya disusun oleh Menteri Kehutanan yang telah mendapat persetujuan Presiden yang mekanisme diatur bersama oleh Menteri Kehutanan dan Menteri Keuangan." Diragukan di sini, apakah prosedur tersebut benar-benar dilaksanakan, dalam arti yang memutuskan alokasi DR tersebut bukan semata-mata ditentukan oleh Presiden sendiri. Jika ini yang terjadi, terlihat di sini celah penyelewengan kekuasaan oleh presiden.

Berdasarkan diskusi dengan instansi terkait, diketahui bahwa dana tersebut seluruhnya sudah dicairkan, bahkan kemudian dialokasikan menjadi penyertaan negara ke dalam PT IPTN melalui Peraturan Pemerintah. Demi tertibnya pengelolaan keuangan negara, Departemen Kehutanan dan Perkebunan mengusulkan agar DR tersebut "diputihkan" menjadi penyertaan DR ke dalam APBN. Yang terbaik memang mengembalikannya, akan tetapi mengingat kondisi perekonomian Indonesia pada saat ini, maka usulan tersebut adalah tindakan yang paling rasional untuk dilakukan. Namun pada intinya, dari segi hukum, Keppres ini tetap harus dicabut dan dijadikan cermin bagi semua pihak agar hal seperti ini tidak terulang lagi di masa yang akan datang.

Keppres lainnya yang memberikan fasilitas kepada kroni penguasa pada waktu itu adalah Keppres nomor 93/1996 tentang Bantuan Pinjaman kepada PT Kiani Kertas. Keppres ini memuat ketentuan untuk memberi pinjaman kepada PT Kiani Kertas sebesar Rp. 250.000.000.000,00 yang diambil dari Dana Reboisasi. Dapat diberikan catatan khusus bahwa setelah ditelusuri anggaran dasarnya, ternyata PT Kiani Kertas dimiliki oleh Mohammad Hasan sebanyak 30% (sisanya sebanyak 70% dimiliki oleh Lakemba Ltd. Hongkong, data berupa Pasal 4 Anggaran Dasar yang memuat struktur permodalan PT Kiani Kertas) yang memiliki hubungan erat dengan mantan Presiden Soeharto.

Dari hasil diskusi dengan Departemen Kehutanan dan Perkebunan, diketahui bahwa dana untuk PT Kiani Kertas ini belum sempat dicairkan. Dengan kondisi sekarang ini, maka dana itu memang tidak akan dicairkan, namun demi kepastian hukum Keppres ini harus tetap dicabut.

Lahan Gambut
Keppres nomor 83/1995 tentang Pembentukan Dana Bantuan Presiden bagi pengembangan lahan gambut di Kalimantan Tengah juga banyak mendapat perhatian, bukan hanya dari MTI dan media massa, akan tetapi terutama dari LSM-LSM Lingkungan yang ada. Keppres ini memuat ketentuan bahwa Dana Reboisasi sebesar Rp. 527.200.000.000,00 dipindahkan dari rekening Menteri Kehutanan ke Rekening Dana Bantuan Presiden untuk pengembangan lahan gambut (hibah, bukan pinjaman). Keppres ini jelas bermasalah, sebagaimana Keppres lainnya yang diuraikan dalam artikel ini, karena keluar dari peruntukkan yang semestinya, yaitu untuk reboisasi. Menteri Kehutanan waktu itu, ketika ditanyakan oleh wartawan, berdalih dengan menyatakan bahwa ini merupakan kepentingan rakyat, namun secara khusus perlu diperhatikan masalah disiplin anggaran negara. Khusus mengenai yang disebut sebagai Dana Bantuan Presiden, dipertanyakan kedudukannya dalam tata pengelolaan keuangan negara secara teoritis (sebab secara hukum positif, apapun bisa dilegalisasikan melalui wewenang pembuatan peraturan kebijakan oleh pemerintah, karena Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang mengaturnya). Apakah Dana Bantuan Presiden, yang terdapat dalam rekening Sekretariat Negara, juga merupakan salah satu pos penerimaan dan pengeluaran dalam APBN, kalau pun ya, apakah bisa mendapatkan dana dari sumber keuangan negara lainnya dengan amat mudah seperti ini, apalagi semuanya diatur oleh Keppres, tanpa adanya lembaga kontrol. Mekanisme pemanfaatan Dana Bantuan Presiden ini juga tidak diatur dengan jelas, sehingga amat membuka peluang untuk terjadinya penyelewengan. Keberadaan proyek lahan gambut ("PLG") lahan gambut ini tidak sejalan dengan pelestarian fungsi lingkungan yang menjadi dasar pemikiran adanya DR, karena pada kenyatannya lahan gambut tersebut telah dimulai pengerjaannya sebelum memenuhi persyaratan AMDAL. Ternyata ketika Keppres ini dikeluarkan pun kelayakan proyek ini telah diselidiki oleh para ahli dan diketahui bahwa proyek ini tidak layak untuk diteruskan baik dari sudut ekonomi maupun ekologi, namun demi kepentingan politik pembangunannya dilanjutkan. Direkomendasikan untuk dicabut. Dari hasil diskusi dengan instansi terkait, diketahui bahwa seluruh dana ini sudah digunakan bagi pengembangan PLG, padahal di lain pihak proyek tersebut tidak dapat lagi diteruskan dan telah sangat merusak lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, yang harus dipikirkan sekarang, setelah mengupayakan pencabutan Keppres ini, adalah bagaimana melakukan upaya rehabilitas terhadap lingkungan tersebut, termasuk permasalahan hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat adat setempat (data berasal dari hasil diskusi dengan WALHI yang telah melakukan penelitian lapangan dan mengeluarkan rekomendasi secara khusus untuk masalah ini). Untuk itu, maka permasalahan pengelolaan DR kembali harus dipikirkan secara maksimal agar dapat digunakan untuk memberikan jalan keluar bagi masalah ini, apalagi mengingat kondisi perekonomian Indonesia sekarang.

Kredit Usaha "Keluarga" Sejahtera
Keluarga, sebagai bagian masyarakat yang terkecil memang perlu mendapatkan kesejahteraan, namun keluarga siapa yang mendapatkan kesejahteraan dari Keppres ini, itu yang menjadi pertanyaan. Keppres nomor 3/1996 tentang Pembentukan dana bantuan presiden bagi penyelenggaraan Kredit Usaha Keluarga Sejahtera memutuskan pembentukan dana bantuan presiden bagi penyelenggaraan Kredit Usaha Keluarga Sejahtera. Keppres ini kemudian ditindaklanjuti dengan Keppres 21/1996 tentang Penyediaan dana bagi penyelenggaraan Kredit Usaha Keluarga Sejahtera dengan memerintahkan pelaksanaan pencairan dana tersebut untuk dipindahkan ke rekening Yayasan Dana Sejahtera Mandiri di BNI 1946, yang nota bene telah disinyalir oleh banyak pihak sebagai salah satu yayasan yang terafiliasi dengan mantan presiden Soeharto.

Berdasarkan hasil diskusi dengan instansi terkait, diketahui bahwa dana ini seluruhnya sudah dikembalikan, akan tetapi demi terwujudnya kepastian hukum maka Keppres ini harus tetap dicabut.

Bagian dari Suatu Penelitian Besar
Hasil studi yang dipaparkan di sini merupakan bagian kecil dari sejumlah hasil suatu penelitian yang besar. Tim Kerja Bidang Hukum MTI, yang diketuai oleh Prof. Koesnadi Hardjasoemantri telah mengadakan penelitian mengenai Keppres yang menyimpang dalam kurun waktu 1993-1998. Hasil penelitian dibagi menjadi 5 bidang, dengan bidang kehutanan dan perkebunan, yang memuat Keppres-Keppres yang diuangkapkan di sini, sebagai salah satu bagiannya. Mengingat pentingnya hasil penelitian ini, maka Tim Kerja bidang Hukum berupaya untuk memaksimalkan hasilnya. Untuk itu, kini tengah dilakukan serangkaian dialog/diskusi dengan instansi terkait guna mengetahui seluk beluk Keppres yang dikaji dari segi teknisnya. Pada saatnya nanti, MTI akan mengumumkan hasil penelitian ini secara luas sebagai salah satu bentuk kepedulian MTI untuk mewujudkan sistem integritas nasional.