.

k

KEPPRES-KEPPRES SARAT DENGAN KKN

⊆ 13.29 by makalah hukum | .

Keputusan Presiden (Keppres) ternyata banyak yang menyimpang. Sebagian Keppres itu kental dengan muatan KKN yang menguntungkan kalangan dekat presiden. Keppres mana saja yang bermasalah? Bagaimana solusinya?

Angin reformasi yang begitu deras telah melahirkan keberanian untuk mengusut kekayaan mantan Presiden Soeharto beserta keluarga dan kroninya. Ketika banyak kalangan meributkan pengusutan harta Pak Harto, Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) lebih memilih kajian hukum untuk menemukan penyimpangan Keppres. Pelacakan Keppres yang bermasalah agaknya lebih mudah dilakukan dari pada menelusuri harta "panas" yang diparkir di luar negeri.

Tanpa banyak gembar-gembor, tim kerja bidang hukum MTI melacak Keppres yang bermasalah dalam kurun waktu 1993-1998. Tim ini dipimpin oleh pakar hukum Prof Koesnadi Hardjasoemantri dibantu oleh tenaga-tenaga muda dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pak Koes, panggilan akrab Wakil Ketua MTI ini, tidak menampik Keppres yang bermasalah sudah ada pada periode sebelumnya. "Ini merupakan tahap awal, tetapi periode ini dianggap representatif untuk mewakili Keppres yang dikeluarkan selama masa pemerintahan Soeharto," ujar mantan rektor UGM ini.

Bahkan, untuk menyederhanakan proses pengambilan sampel, kajian Keppres dibatasi sampai 21 Mei 1998 saat Soeharto mundur menjadi presiden kedua RI. Dari pelacakan 528 Keppres yang dikeluarkan Soeharto selama periode 1993-1998, tercatat 72 Keppres yang bermasalah (13,36 persen). Selain itu 118 Keppres atau 22,35 persen dari Keppres yang ada merupakan ratifikasi perjanjian internasional. Bila Keppres yang berupa ratifikasi ini tidak diperhitungkan, presentase Keppres yang menyimpang mencapai 17,56%. Artinya, dari lima Keppres yang dikeluarkan, salah satunya bermasalah.

Dari lima bidang yang dikaji, penyimpangan Keppres paling banyak ditemukan di bidang perindustrian dan perdagangan (25 Keppres) serta infrastuktur (24 Keppres). Sementara penyimpangan Keppres paling sedikit ditemukan pada fasilitas untuk pejabat negara (3 Keppres). Penyimpangan Keppres yang berkaitan dengan abuse of power tercatat 12. Namun, Koesnadi menambahkan, "Pada hakikatnya semua Keppres yang menyimpang terkait dengan abuse of power atau penyelenggaraan negara secara umum."

Kajian yang dilakukan oleh Tim Hukum MTI baru mencari bukti adanya Keppres yang menyimpang. Jadi, belum menghasilkan suatu karya ilmiah yang memuat hasil penelitian secara menyeluruh. Tim ini kemudian mengadakan dialog intensif dengan instansi terkait, termasuk dengan anggota DPR dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). "Kami ingin bekerja hati-hati dengan mengecek keberadaan Keppres ke instansi yang terkait," kata Koesnadi.

Koesnadi mengakui, timnya tidak mendapat kesulitan untuk mendapatkan informasi dari instansi terkait. Bahkan, dari masukan tersebut, ada hal-hal baru mengenai perkembangan Keppres tersebut. Ada Keppres yang secara legalitas tidak bermasalah, tetapi dari materi ternyata bermasalah. Kajian Keppres dari segi legalitas dan materi muatan ini kemudian dilengkapi dengan hasil review secara materil.

Dari segi materi muatan, suatu Keppres dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, merupakan materi muatan sisa dari materi muatan UU dan PP, berbentuk Keppres yang mandiri untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan. Kedua, merupakan pendelegasian dari UU dan PP. Dari hasil kajian ditemukan: 11 Keppres yang mangandung materi muatan UU atau PP, 32 Keppres yang mangandung materi muatan terlalu teknis, 2 Keppres yang mengandung materi muatan Perda, dan 1 Keppres yang materi muatannya telah melangkahi kewenangan yudikatif.

Sementara dari tinjauan legalitasnya, suatu Keppres ditinjau dari keterkaitan dengan peraturan di atasnya. Setelah dilacak, ternyata ditemukan 8 Keppres yang legalitasnya dipertanyakan. Orang-orang pernah menanyakan bagaimana keabsahan Keppres no. 90 tahun 1995 yang berisi imbauan untuk secara sukarela menyisihkan 2 persen saham dari penghasilan setelah pajak. Imbauan ini malah kemudian direvisi menjadi kewajiban. Dari pungutan terhadap para konglomerat saja terkumpul dana lebih dari Rp 1 trilyun. Namun, tidak jelas benar ke mana larinya dana-dana itu.

Ada lagi Keppres yang jelas-jelas membuka peluang kepada norma di bawahnya untuk mengadakan penyimpangan. Sebelum keluar Keppres nomor 50 tahun 1998 tentang Penetapan Kawasan Terbatas Lalu Lintas di wilayah DKI Jakarta, telah terbit PP nomor 45 tahun 1998 yang sengaja diterbitkan untuk menunjang Keppres dan Perda yang memperbolehkan pemungutan retribusi terhadap jalan negara. Pemda membuat ketentuan yang menyatakan masyarakat harus membayar tinggi untuk mendapatkan stiker. Hal ini jelas bertentangan dengan UU nomor 13 tahun 1980 tentang jalan dan UU nomor 14 tahun 1992 yang menyatakan jalan dalam kawasan tersebut termasuk jalan negara yang tidak boleh dikenakan pungutan. Karena kritik dari masyarakat, stikerisasi swasta di DKI Jakarta urung dilaksanakan.

Selain dilakukan secara formal, Tim Hukum MTI membuat kajian secara materil. Kajian untuk melihat dampak yang ditimbulkan terhadap rakyat dan politik perundang-undangannya belum melalui penelitian lapangan. Dari penelusuran kepustakaan, hasil review dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian. Pertama, materinya mengandung unsur penyalahgunaan kekuasaan, termasuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kedua, materinya tidak mengandung unsur penyalahgunaan kekuasaan, tetapi materinya tidak berpihak pada rakyat. Ketiga, khusus untuk Keppres yang bersifat pendelagasian, prosedur pembuatannya tidak mengikuti mekanisme yang seharusnya diatur oleh undang-undang yang mendelegasikannya.

Keppres yang tidak berpihak pada rakyat misalnya Keppres nomor 10 tahun 1993 tentang pemberian fasilitas kredit kepada anggota DPR untuk pembelian kendaraan perorangan. Dengan Keppres ini, melalui dana APBN setiap anggota DPR diberikan subsidi Rp 30 juta untuk membeli kendaraan pribadi. Jumlah dana tidak kecil jika dikalikan seluruh anggota DPR Padahal anggota lembaga tinggi negara ini sudah mendapatkan gaji, tunjangan, uang paket, dan berbagai fasilitas lain. Dana besar yang diambil dari pos pengeluaran APBN sama saja telah membebankan subsidi kepada rakyat.

Keppres Untuk Kroni
Menarik untuk dicermati adalah banyaknya Keppres yang sarat dengan KKN. Apalagi Keppres ini lebih banyak menguntungkan keluarga dan kalangan dekat presiden. Sumber Transparansi menyebutkan, sering kali departemen yang terkait tidak dapat menolak Keppres yang bermasalah lantaran Keppres itu dibuat atau berkaitan dengan bisnis keluarga presiden. Padahal Keppres ini bermasalah secara hukum ataupun dapat menimbulkan berbagai dampak negatip.

Apa jadinya jika proyek Jonggol Asri berjalan mulus, tidak terlibas krisis ekonomi dan reformasi politik. Proyek ambisius ini akan menjadikan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri. Jongggol akan menjadi kota baru terbesar dengan luas lahan 27.000 hektare atau hampir lima kali luas kota mandiri Bumi Serpong Damai. Kelak, Jonggol akan diarahkan sebagai kota pemerintahan RI di abad mendatang.

Untuk mengegolkan proyek ini, keluar Keppres nomor 1 tahun 1997 tentang koordinasi pengembangan kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri. Secara legal maupun materi muatan, Keppres ini tidak bermasalah. Namun, dari segi review, Keppres ini mengandung kepentingan keluarga. Pada Pasal 8 Keppres ini disebutkan, "¼.segala biaya yang diperlukan bagi penyelenggaraan pembangunan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri dilakukan sepenuhnya oleh usaha swasta¼" Sementara penyelenggara pembangunan kawasan Jonggol ini telah ditunjuk PT Bukit Jonggol Asri yang sahamnya dimiliki oleh Bambang Trihatmodjo, putra Pak Harto.

Dengan "lengser"nya Pak Harto, praktis impian membangun kota depan sirna untuk sementara. Ada untungnya juga proyek ini dibatalkan karena kawasan Jonggol merupakan daerah resapan air. Apa jadinya kota Jakarta, jika Jonggol telah dipenuhi dengan hutan gedung bertingkat. Selain tidak dilengkapi dengan Amdal, proyek Jonggol juga banyak masalah dalam pembebasan lahan.

Masih berkaitan dengan dampak lingkungan, dua Keppres malah cacat dari segi materi, legalitas, maupun dampak sosialnya. Keppres tersebut adalah Keppres 52/1995 tentang reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Keppres 73/1995 tentang reklamasi Pantai Kapuk Niaga. Kedua proyek besar ini sudah dikapling-kapling dan rencananya akan dikerjakan oleh pengusaha besar properti yang dekat dengan kekuasaan.

Keppres ini agaknya terlalu dipaksakan. Dari ilmu perundang-undangan, kedua Keppres ini seharusnya diatur oleh UU. Dari segi legalitas, Keppres ini juga bermasalah kerena akan mengubah peta wilayah. Keppres ini sudah keluar padahal proyek belum dilengkapi dengan Amdal. Dari berbagai penelitian diketahui, reklamasi akan merusak lingkungan dan merusak mata pencaharian nelayan di wilayah tersebut.

Campur tangan presiden yang begitu besar dapat dilihat dari lahirnya Keppres-Keppres yang berkaitan dengan jalan tol. Dari 1993 sampai 1996 telah dikeluarkan 18 Keppres yang berkaitan dengan penetapan jalan tol serta tarif dan jenis kendaraan. Keppres ini memang telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan PP nomor 8 tahun 1990 tentang jalan tol. Namun, materi muatan Keppres ini sangat teknis. Benarkah Keppres-Keppres ini berdasarkan usulan dari menteri. Pasalnya sebagian besar jalan tol ini dikelola oleh Siti Hardiyanti Rukmana atau Mbak Tutut.

Putri sulung Soeharto ini juga menikmati fasilitas Keppres nomor 57 tahun 1993. Keppres ini membebaskan Bea Masuk dan tidak dipungut PPN serta Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas impor kendaraan jenis sedan yang digunakan dalam usaha pertaksian. Mbak Tutut yang mendatangkan sedan Proton untuk armada taksinya jelas diuntungkan dengan Keppres ini. Padahal Keppres ini dianggap melampaui wewenang presiden karena UU nomor 7 tahun 1983 tidak mengecualikan barang dan jasa untuk PPN dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Kekuasaan Presiden yang tidak terbatas dalam menerbitkan Keppres dapat dilihat pada Keppres nomor 42 tahun 1996 tentang pembuatan mobil nasional (mobnas). Untuk mendukung proyek mobnas, milik Hutomo Mandala Putra Soeharto, Pak Harto memberikan arahan kepada Menteri Perdagangan dan Industri, Menteri Keungan, serta Kepala BKPM untuk memberikan kemudahan bagi proyek Tommy ini. Timor antara lain diberi kemudahan pembebasan Bea Masuk atas impor komponen yang masih diperlukan.

Selain Timor, Tommy banyak mendapat keuntungan dari perdagangan cengkeh. Kendali tata niaga cengkeh dalam BPPC dinikmati Tommy setelah menggenggam Keppres 20 tahun 1992. Perdagangan cengkeh kemudian dihapuskan dengan Keppres nomor 21 tahun 1998 tanpa mengaitkan dengan Keppres sebelumnya. BPPC meraup dana milyaran rupiah dari petani, tapi entah kemana raibnya dana-dana tersebut.

Selain sektor perdagangan, penyimpangan Keppres juga ditemukan di sektor pertambangan. Maklum, sektor ini dikenal basah dan bisa dijadikan tambang uang. Ketika muncul Keppres 31 tahun 1997 tentang pembangunan dan perusahaan kilang migas oleh swasta memuluskan langkah Nusamba yang memiliki hubungan dekat dekat dengan presiden untuk berpartisipasi dalam proyek tersebut.

Selain penyimpangan hukum, Keppres bermasalah jelas menimbulkan kerugian negara yang tidak sedikit serta menimbulkan berbagai dampak negatif lainnya. Oleh karena itu Albert Hasibuan, Ketua Gerakan Masyarakat Peduli Aset dan Harta Negara (Gempita) menyatakan, dari Keppres yang bermasalah bisa dilihat berapa kerugian yang diderita negara. "Pemerintah dapat meminta ganti kerugian kepada pihak swasta yang telah diuntungkan dengan Keppres bermasalah ini," ujar pengacara ini kepada Transparansi. Dari perhitungan Gempita, misalnya, proyek Mobnas diuntungkan US$ 1 milyar karena mendapat berbagai fasilitas.

Menurut Albert, pelacakan Keppres bermasalah merupakan salah satu cara untuk mengusut kekayaan mantan presiden Soeharto di samping pengusutan kekayaan pejabat lain dan penelusuran sumber informasi lain. Dari Keppres yang bermasalah ini sebenarnya sudah dapat dilihat apakah presiden melakukan KKN.

Alexander Irwan, anggota Dewan Etika Indonesian Corruption Watch (ICW) berpendapat, Keppres yang menyimpang termasuk korupsi karena termasuk abuse of power. "Kalau Keppres itu memberikan kemungkinan terjadinya praktik-praktik kolusi, maka penyimpangan Keppres termasuk tindakan korupsi." kata Alex. Saat ini ICW juga sedang melakukan investigasi Keppres. "Hasil investigasi kami harus dilempar ke masyarakat," cetus Alex yang berharap pihaknya dapat berkomunikasi dengan lembaga lain yang sedang melakukan upaya serupa.

Tim Hukum MTI setelah menyelesaikan kajian dan mendiskusikan dengan instansi terkait akan juga menyampaikan hasilnya kepada masyarakat dan berbagai lembaga yang terkait dengan Keppres tersebut. Lebih dari itu, MTI memberikan rekomendasi pencabutan Keppres yang menyimpang, terutama Keppres yang digunakan sebagai wahana penyalahgunaan kekuasaan dan menyalahi berbagai asas dalam ilmu perundang-undangan.

Menurut Koesnadi, pelacakan Keppres yang bermasalah merupakan langkah awal dari kajian hukum terhadap perundang-undangan yang berlaku. Sebab, masih banyak penyimpangan dalam pelaksanakan UU. "UUD 45 saja masih bisa diubah, apalagi undang undang yang lain," cetus Pak Koes yang ikut menjadi pendiri MTI.

Agar penyimpangan Keppres tidak berlangsung terus di masa depan, Koesnadi menyatakan, Keppres juga perlu rambu-rambu hukum dan materi. Meskipun presiden mempunyai kekuasaan membuat Keppres, toh tidak ada salahnya meminta masukan dari para menteri dan anggota DPR. Upaya ini akan mengurangi lahirnya Keppres yang menguntungkan keluarganya atau bertentangan dengan hukum.