.

k

Kelas Pengadilan Sama, tetapi Kegiatan Berbeda

⊆ 20.28 by makalah hukum | .

PURNOMO sebelumnya bertugas sebagai hakim di PN Boyolali. Di sana ia menangani rata-rata 3-5 perkara per hari. Akan tetapi, setelah dipindah ke PN Nabire, ia hanya menangani dua kasus per pekan. Setiap hari para hakim datang ke kantor, tetapi tidak menyidangkan perkara. Tidak ada kegiatan berarti, tetapi harus datang ke kantor. Padahal, PN Boyolali dan PN Nabire sama-sama kelas II.

Tahun 2003, jumlah perkara biasa 62 kasus, perdata/gugatan 18, dan pidana/permohonan 52. Sampai Maret 2004 hanya enam perkara, terdiri dari dua perkara perdata, tiga pidana, dan satu perkara biasa.

"Padahal, wilayah PN Nabire meliputi tiga kabupaten, yakni Nabire, Puncak Jaya, dan Paniai. Tetapi, perkara yang disidangkan di PN (Pengadilan Negeri) Nabire semata-mata dari Kecamatan Nabire. Kami ini hadir hanya untuk masyarakat di Kecamatan Nabire. Berbagai tindak kriminal dan pelanggaran hukum di luar Kecamatan Nabire, seperti Kecamatan Yaur, Sukikai, Napan, Uwapa, dan Kecamatan Wanggar di Kabupaten Nabire, tidak pernah diproses sampai ke pengadilan, apalagi Kabupaten Paniai dan Puncak Jaya tak pernah dibawa ke Nabire," kata Purnomo.

Kabupaten Paniai dan Puncak Jaya masuk dalam wilayah hukum PN Nabire karena di kabupaten itu belum ada kantor kejaksaan, kepolisian resor, dan PN. Alasannya, perkara di daerah itu masih rendah bagi sebuah PN, kejaksaan, dan kehakiman.

Ditambahkan Yance Patirran, hakim PN Nabire yang 20 tahun bertugas di Papua, selama tahun 2003 tak ada perkara dari Puncak Jaya atau Paniai masuk ke PN Nabire. Itu tidak berarti tak ada kasus kriminal di daerah itu, tapi biaya transportasi pesawat dari Paniai dan Puncak Jaya ke PN Nabire Rp 1 juta-Rp 3 juta per orang. Sementara satu perkara paling sedikit melibatkan tujuh orang, terdiri dari pelaku, korban, saksi-saksi, dan orangtua dekat, sehingga dana yang dibutuhkan sekitar Rp 25 juta lebih.

Jika sidang dilangsungkan sampai 10 kali, mereka yang terlibat perkara itu pun harus pergi pulang 10 kali dari Paniai atau Puncak Jaya ke Nabire. Ini membutuhkan dana ratusan juta rupiah. Masyarakat yang berperkara rata-rata miskin, terbelakang, dan tak berpendidikan. Memaksa pelaku/tersangka, tergugat, terpidana, korban, saksi, dan mereka yang terlibat dalam perkara datang ke Nabire dengan biaya sampai ratusan juta rupiah sangat tidak mungkin. Jika dipaksakan, akan semakin menambah beban hidup masyarakat.

Karena itu, PN Nabire mengambil keputusan membangun kantor tempat sidang di Enarotali, ibu kota Paniai dan Mulia, Puncak Jaya. Tetapi, upaya ini pun tidak banyak membantu. Mereka yang berperkara tidak tinggal di Enarotali atau Mulia, tetapi terisolasi di kampung-kampung dan distrik terpencil.

Kedatangan mereka ke Paniai atau Mulia, ibu kota Puncak Jaya, butuh waktu 3-5 hari jalan kaki. Di Enarotali dan Mulia, mereka butuh tempat penginapan, biaya makan, minum, dan kebutuhan lain.

Jika perkara disidangkan di Mulia atau Enarotali, mereka butuh pengacara. Di daerah ini tidak ada pengacara. Mendatangkan pengacara praktik dari Nabire atau Jayapura butuh dana puluhan juta untuk biaya transportasi, penginapan, dan kebutuhan lain.

Contohnya, kasus penyerangan kelompok Organisasi Papua Merdeka di Distrik Sugapa terhadap warga pendatang yang sedang mengerjakan bangunan gedung sekolah dasar. Kasus ini menewaskan lima warga pendatang. Para pelaku teridentifikasi, tetapi berbagai pertimbangan di balik proses hukum tersebut akhirnya dibiarkan.

Kabupaten Paniai dan Puncak Jaya merupakan pecahan Kabupaten Paniai dengan ibu kota di Nabire. Kedua kabupaten ini resmi menjadi daerah administratif tahun 1996, kemudian disahkan dengan Undang-Undang Nomor 45/1999. Kini, Kabupaten Nabire dengan ibu kota Nabire memiliki lima distrik, Kabupaten Paniai dengan ibu kota Enarotali memiliki tujuh distrik, dan Kabupaten Puncak Jaya dengan ibu kota Mulia memiliki enam distrik.

Menurut Pattiran, hakim dan jaksa sering mengunjungi daerah-daerah ini. Ada banyak perkara ditemukan di Mulia dan Enarotali. Tetapi, tidak mempunyai kewenangan melimpahkan perkara-perkara itu ke PN Nabire. "Kami hanya menunggu perkara datang, kemudian melanjutkan di persidangan. Kami tidak mencari kasus sendiri di masyarakat. Masih ada lembaga lain yang bertugas menangani perkara untuk dibawa ke pengadilan," kata Pattiran. (kor)