.

k

Korupsi di Bawah Bayang-bayang Perilaku Sosial Masyaraka

⊆ 20.27 by makalah hukum | .

KETIKA Kejaksaan Negeri Mimika menyelidiki kasus penyelewengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Mimika tahun anggaran 2001 sebesar Rp 14 miliar, pejabat bersangkutan bersikap masa bodoh. Tidak ada sikap takut atau bertanggung jawab yang ditujukan kepada pihak kejaksaan dan publik. Dana Rp 14 miliar itu tidak digunakan untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk melayani pejabat dari Jakarta, Pemerintah Provinsi Papua, dan bantuan kepada masyarakat.

KETIKA pers mengonfirmasikan kasus itu kepada pejabat bersangkutan, jawabannya singkat, "Pejabat siapa yang tidak pernah mencicipi uang itu silakan ia memproses saya sampai ke pengadilan dan saya akan tunjukan bukti-bukti."

Ketika seorang jaksa minta pertanggungjawaban dana tersebut, jawabannya sederhana. "Bagaimana mungkin rombongan pejabat dari Jakarta ke Papua harus menandatangani kuitansi pengeluarannya. Atau apakah saya harus minta seorang menteri menandatangani kuitansi ketika berkunjung ke Timika."

Tiga tahun lewat, kasus itu pun didiamkan dan pejabat bersangkutan mendapat posisi baru di Pemprov Provinsi Papua.

Ini adalah salah satu dari sekian kasus korupsi yang tidak pernah sampai ke pengadilan dengan alasan dana tersebut digunakan untuk kegiatan sosial pemerintah daerah (pemda) dan masyarakat. Hampir semua pemda di Papua merasa sebagai pemilik uang dan bertugas membagi-bagikan uang itu kepada masyarakat, lembaga, atau individu yang membutuhkan.

Misalnya, tindakan membagi-bagi uang kepada setiap tamu yang bertemu bupati Jayawijaya. Setiap tamu diberi uang Rp 500.000 sampai ratusan juta rupiah. Dari mana uang itu tidak jelas, tapi tersimpan di rumah kediaman bupati.

Bagaimana bupati mempertanggunjawabkan dana-dana itu kepada masyarakat (DPRD) pun tidak jelas. DPRD tidak memiliki kekuatan dan independensi melakukan kontrol dan pengawasan terhadap kinerja bupati karena mereka pun terlibat.

Otonomi Khusus Papua sangat menguntungkan aparat pemda. Bagi pegawai vertikal seperti kejaksaan, kehakiman, dan pengadilan tidak tersentuh dana otonomi khusus.

Mereka pun mencari terobosan mencari penghasilan baru di luar gaji tetap. Sering terjadi, aparat penegak hukum melakukan "pukulan" mental terhadap pejabat bersangkutan melalui pers. Ketika kasus itu terungkap kepada publik, pelaku pun berupaya agar aparat penegak hukum menghentikan penyelidikan dan tidak membeberkan kepada pers.

Di sini, mulai terjadi tawar-menawar kepentingan secara pribadi dan tertutup. Biasanya pertemuan antara pelaku dan aparat berlangsung di tempat tertutup. Pelaku menghendaki kasus yang menimpa dirinya tidak diproses di pengadilan, sementara penegak hukum memiliki semangat melanjutkan ke pengadilan.

Namun, semangat aparat itu pun sering dipertanyakan. Ada maksud tersembunyi di balik penyelidikan dan intimidasi terhadap pelaku.

Jika proses dugaan korupsi dihentikan, harus ada jaminan bagi aparat penegak hukum. Seorang pelaku, demi menjaga nama baik, akan berusaha memenuhi apa yang diminta para penegak hukum.

Tidak heran ketika sebuah kasus besar yang menggemparkan masyarakat, tiba-tiba dihentikan oleh aparat penegak hukum. Penghentian proses penyelidikan dugaan korupsi itu patut dipertanyakan. Kepercayaan terhadap pemerintah pun bertambah melorot.

Tetapi bagi kalangan pejabat di Papua, tindakan seperti itu adalah wajar karena uang itu tidak memperkaya diri, tapi untuk kebutuhan semua pihak. Tidak hanya menjamu dan melayani kepentingan tamu dan pejabat dari luar, tetapi juga dibagi-bagikan kepada masyarakat yang setiap hari 10-50 orang antre di pendopo pejabat minta bantuan dana.

Masyarakat tidak pernah berhenti datang ke kantor atau ruang lobi pejabat. Baik kelompok berdasi maupun kaki telanjang setiap hari mengais rezeki dan proyek di kantor pejabat.

Tindakan masyarakat minta bantuan dari pejabat sudah menjadi pekerjaan rutin sebagian warga setiap hari. Jika pejabat yang satu tidak melayani permohonan bantuan (uang), mereka pindah ke pejabat lain.

Ada berbagai cara dan alasan yang disampaikan masyarakat kepada sekretaris pejabat itu agar dapat bertemu langsung. Mereka tidak mau dilayani oleh staf atau pejabat lain yang ditunjuk. Mereka seakan-akan tahu staf itu tak punya dana.

Pejabat di Papua pun menjadikan sikap minta-minta ini sebagai bagian dari pelayanan dan pengabdian. Mereka membiarkan masyarakat menemui mereka dan membagi-bagikan dana sesuai kebutuhan.

Sikap itu disalahgunakan untuk mendapat dana cuma-cuma dari pejabat. Misalnya, minta uang tiket ke pedalaman karena orangtua meninggal, biaya pendidikan anak, istri melahirkan atau sakit, dan lainnya. (kor)

sumber: kompas