.

k

Kasus Manulife dan Pengadilan Niaga

⊆ 21.33 by makalah hukum | .

Oleh: Komisi Hukum Nasional
08 Desember 2003

Sebenarnya, bukan hanya kejadian sekitar Manulife-nya saja penting, tetapi yang harus kita simak adalah kejadian sekitar Pengadilan Niaga, yang sekarang menjadi titik debat dalam harapan untuk reformasi hukum dan peradilan dalam waktu dekat.

Berita tentang kasus Manulife dan Pengadilan Niaga telah menarik perhatian para pendukung reformasi hukum. Sebenarnya, bukan hanya kejadian sekitar Manulife-nya saja penting, tetapi yang harus kita simak adalah kejadian sekitar Pengadilan Niaga. Pengadilan ini sekarang menjadi titik debat : apakah masih ada harapan untuk reformasi hukum dan peradilan dalam waktu dekat (sampai Pemilu 2004)? Karena itu menarik untuk menyimak bagaimana kelanjutan pemberhentian sementara tiga orang Hakim Niaga yang menangani perkara Manulife dan rencana mereka menggugat Keppres 139/M/2002 yang dikeluarkan Presiden setelah mendapat masukan dari Menteri Kehakiman dan Ketua Mahkamah Agung.

Sekali lagi, yang menarik adalah nasib Pengadilan Niaga! Mengapa? Untuk itu kita harus melihat menengok sejarah dan peran IMF. Apalagi IMF akan "phasing out” pada akhir tahun 2003.

IMF masuk dalam kedudukan seperti yang ada sekarang ini dimulai pada bulan Februari 1998. Kehadiran IMF disebabkan karena krisis keuangan yang dihadapi Indonesia yang memerlukan restrukturisasi utang luar negeri maupun reorganisasi perbankan dan perusahaan di negeri ini. Lemahnya fundamental ekonomi Indonesia (yang sebelumnya dibanggakan akan menjadi salah satu “Macan Asia” (Asian Tiger) kemudian diakui bukan saja karena KKN dalam birokrasi, tetapi juga lemahnya sistem hukum dan tidak adanya kepercayaan masyarakat (termasuk investor) pada sistem peradilan kita. Studi diagnostik tahun 1996 Bappenas sudah mensinyalir hal ini : korupsi (dalam arti penyuapan) dan kurang pengetahuan hukum (incompetency) para hakim yang mengadili perkara bisnis. Kelemahan ini ditambah lagi dengan pengadilan yang tidak berwibawa, sehingga putusan-putusan hakim sering tidak dapat dilaksanakan.

Dalam situasi seperti itu Pemerintah Amerika Serikat (US-AID), melalui proyek Economic Law, Information and Procurement System (ELIPS) mengajukan konsep untuk mengganti undang-undang kepailitan Indonesia dan membentuk suatu badan penyelesaian perselisihan kepailitan di Departemen Keuangan (serupa dengan yang ada untuk perselisihan perburuhan dan untuk sengketa pajak). Alasannya mereka (para penasihat di ELIPS) tidak percaya pada sistem peradilan Indonesia, yang dianggapnya tidak menguasai hukum kepailitan dan kemungkinan besar dapat disuap.

Hal yang menarik di sini adalah pendapat para penasihat IMF, yang tidak menghendaki sistem hukum Indonesia diganggu dengan lembaga hukum baru yang tidak ada akarnya dalam sistem hukum kita, dengan membangun hukum kepailitan yang berada ditangan eksekutif (pseudo-rechtspraak). Hukum kepailitan Hindia Belanda juga hanya diubah seperlunya agar lebih sesuai dengan hukum bisnis modern yang mengutamakan kecepatan dalam pelaksanaannya. Akhirnya Pemerintah Indonesia menerima LoI (Letter of Intent) yang mencantumkan syarat pembentukan Pengadilan Niaga (sebagai kamar khusus di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) dan sekedar amandemen pada peraturan kepailitan Hindia Belanda (tahun 1906). Dari sini, mulailah campur tangan IMF dalam reformasi hukum di Indonesia. Dengan asumsi bahwa masyarakat bisnis Indonesia lebih menyukai penyelesaian secara musyawarah, maka IMF juga memprakarsai pembentukan lembaga “Prakarsa Jakarta” (Jakarta Initiative Task Force-JITF) yang dapat membantu penyelesaian utang dengan cara musyawarah ke arah restrukturisasi.

Dalam perkembangannya, harus diakui pengalaman para investor asing di Indonesia dengan Pengadilan Niaga dan JITF memang tidak baik. Hal yang sekarang merupakan perhatian utama mereka adalah bagaimana sistem hukum dan sistem peradilan Indonesia menyelesaikan perkara Manulife ini. Apakah dapat dikatakan bahwa sistem hukum Indonesia sudah sedemikian parahnya sehingga memerlukan satu atau lebih generasi kaum muda untuk mereformasinya? Apakah benar seperti dikatakan Dato Param Cumaraswamy, bahwa “… Indonesia’s judiciary had serious problems” , dan “I didn’t realize that the situation could be as bad as what I’ve seen … with Mexico probably the only comparative case”.

Apakah juga sekarang dapat dikatakan bahwa pesimisme ELIPS (dengan dukungan Amerika Serikat) adalah yang benar, dan bahwa optimisme IMF yang merencanakan Pengadilan Niaga sebagai suatu “model court” dengan profesi hukum, kurator, dan pengurus-nya adalah sebagai “burung pungguk yang merindukan bulan”?

Sungguh tragis masyarakat hukum Indonesia dan sungguh malang nasib IMF apabila nanti meninggalkan Indonesia dalam bulan Desember 2003. Tetapi, yang lebih malang lagi adalah tentunya rakyat Indonesia.