.

k

Kampanye Pejabat Negara Akan Diatur Ketat

⊆ 15.31 by makalah hukum | .

Jakarta, Kompas - Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hamid Awaludin menyatakan, untuk menghindari penyalahgunaan fasilitas negara selama masa kampanye, perlu ada aturan ketat soal kampanye oleh para pejabat negara dalam Pemilu 2004.

Penegasan ini disampaikan Hamid Awaludin di Jakarta, Rabu (19/2), mengomentari rumusan RUU hasil persetujuan DPR yang memungkinkan pejabat negara yang berasal dari partai politik untuk ikut berkampanye (pasal 75).

Menurut Hamid, hak untuk berkampanye bagi para pejabat negara adalah hal yang sangat logis. Pertimbangannya, pejabat publik berangkat dari partai yang tentu menginginkan menang dalam Pemilu 2004.

Bagi rakyat, kampanye para pimpinan parpol, juga sekaligus merupakan ajang untuk menguji visi-misi calon wakil mereka. Justru terasa aneh ketika calon presiden dan wakil presiden tidak dikenal masyarakat calon pemilihnya.

"Silakan rakyat yang mengukur mereka selama kampanye agar tidak sampai seperti membeli kucing dalam karung," kata Hamid.

Pokok persoalannya saat ini bagi KPU sebagai penyelenggara Pemilu 2004 adalah menetapkan aturan yang ketat yang tidak memungkinkan terjadinya penyalahgunaan fasilitas negara selama kampanye.

Pembatasan ini adalah hal yang lumrah. RUU Pemilu cuma memberi batasan yang umum, yaitu larangan menggunakan fasilitas jabatan, keharusan cuti di luar tanggungan negara, dengan tetap memperhatikan keberlangsungan tugas negara.

Regulasi yang ketat akan memilah apa yang bisa dilakukan pejabat negara ketika berkampanye. Aturan itu nantinya akan menutup kemungkinan pejabat negara melakukan tugas dinas sekaligus berkampanye untuk parpolnya seperti yang dulu kerap terjadi.

Secara terpisah Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Izha Mahendra juga menegaskan, yang dimaksud pejabat negara adalah semua pejabat organ negara, mulai dari presiden dan wakil Presiden, menteri maupun anggota DPR dan MPR serta Mahkamah Agung.

Yang dikecualikan dari RUU Pemilu, hanya ketua, wakil dan hakim agung di Mahkamah Agung, ketua dan semua pejabat Badan Pemeriksa Keuangan dan Bank Indonesia.

RUU Pemilu juga melarang gubernur dan wakil gubernur serta bupati dan wakil bupati, semua pejabat struktural dan fungsional jabatan negeri sampai kepala desa, untuk ikut berkampanye. Pejabat BUMN dan BUMD juga dilarang berkampanye.

Yusril juga menegaskan, semua aturan protokoler dan fasilitas negara yang melekat padanya sebagai pejabat negara harus dilepaskan.

"Saya sendiri kalau ke daerah-daerah, kalau itu urusan partai dan kita dijemput pakai mobil plat merah, kita tolak, meskipun gubernur menunggu di ruang VIP, kami keluar dari ruang biasa," ujarnya.

Ditanya wartawan, kalau yang turun berkampanye itu presiden atau wakil presiden, bagaimana dengan pengawalan yang dilakukan? Yusril menyatakan, pengawalan bisa saja dilakukan, tetapi harus dalam batas yang wajar. Namun, presiden atau wakil presiden tidak boleh menggunakan fasilitas negara, seperti kendaraan dinas, pesawat terbang.

"Ini juga berlaku bagi anggota DPR, pimpinan DPR, MPR. Segala aturan protokoler tidak boleh diberlakukan jika mereka pergi ke daerah untuk urusan partai," ujarnya. "Mereka tidak boleh memakai ruang VIP di Bandara atau keistimewaan lain," ujarnya.

Kampanye di kampus

Sementara itu, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) A Malik Fadjar menyatakan, meski UU Pemilu mengizinkan kampanye partai di lingkungan perguruan tinggi, namun Rektor sebagai pimpinan lembaga dapat melarang penyelenggaraan kampanye di kampus bersangkutan.

"Rektor memiliki wewenang dan tanggung jawab ke luar dan ke dalam untuk menentukan boleh tidaknya parpol berkampanye. Tetapi, saya harap Rektor dapat memberikan dukungan pada pendidikan politik yang sehat. Rektor bisa memberikan rambu-rambu bagi pelaksanaan kampanye di kampus," katanya.

Menurut Malik, ketetapan yang membuka peluang kampanye parpol di kampus adalah langkah maju bagi pendidikan politik.

Malik menyarankan, agar tokoh-tokoh parpol yang melakukan kampanye di kampus lebih memperhatikan materi kampanye, berargumentasi secara sehat dengan para mahasiswa tentang program, serta visi partainya.

"Kalau cara kampanye seperti itu, maka akan ada kampanye dialogis, dan mahasiswa akan memberikan apresiasi yang lebih baik," ujarnya.

Menjawab pertanyaan apakah tidak ada kekhawatiran akan ada politisasi kampus, Malik mengatakan," Ya nggak, apa sekarang bedanya antara politik praktis dan politik kampus. Praktis, itu kalau sudah pada tahap pengambilan kebijakan." (ely/son/dik)