.

k

REFORMASI UUPA

⊆ 13.38 by makalah hukum | .








Oleh Erman Radjagukguk

Ketika UU Pokok Agraria (UUPA) No 5/1960 lahir, penduduk Indonesia saat itu masih berjumlah sekitar 80 juta orang, dengan orientasi pembangunan masih sebagai ne-gara agraris. Padahal, ada dua hal pokok yang harus dipikirkan saat ini, yakni bagai-mana Undang-undang Agraria ini dapat mendorong industrialisasi, namun tetap men-jaga ke-pen-tingan masyarakat banyak, golongan lemah, serta menghormati hak-hak masyarakat lokal (daerah).

Menarik Modal Asing
Di samping usianya yang sudah 38 tahun, UUPA sebaiknya diperbaharui karena Un-dang-undang ini dilahirkan dengan tujuan untuk mengurangi modal asing. Hal ini jelas diungkapkan oleh Menteri Agraria pada waktu itu, Sadjarwo di depan DPR RI. Isi Undang-Undang ini antara lain, mengurangi jangka waktu hak-hak atas tanah da-lam Agrarische Wet 1870 yang digantikannya, yang dapat mencapai jangka waktu 75 tahun.

Perubahan juga terjadi dalam beberapa aturan di dalamnya, seperti hak erfpacht untuk perkebunan-perkebunan besar, yang semula berentang waktu 75 tahun, dikonversi menjadi hak guna usaha (dalam UUPA) menjadi 25-30 tahun. Hak Opstal (hak untuk membangun atau mengusahakan) dikonversi menjadi hak guna bangunan dengan jangka waktu 25-30 tahun.

Agrarische Wet 1870 dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai tindak lanjut atas kemenangan partai Liberal di Belanda, sekaligus menggantikan politik Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan penanaman modal pengusaha Belanda. Pada pelaksanaannya Agrarische Wet membawa pada berdirinya perkebunan-perkebunan besar Belanda di Hindia Belanda, sehingga dapat disebut sebagai upaya menarik mo-dal swasta ke Hindia Belanda.

Saat ini, 38 tahun setelah Agrarische Wet diganti, Indonesia memasuki era industri-alisasi, yang memerlukan modal asing. Negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Vietnam, bahkan Cina memberikan hak atas tanah bagi penanaman modal asing antara 75 sampai 100 tahun. Bagaimana dengan Indonesia? Agar tidak kalah bersaing dalam memperebutkan mo-dal asing, untuk usaha penanaman modal, maka hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai bolehlah ditentukan sampai 75 tahun.

Ini artinya UUPA harus diubah, sebab walaupun hak-hak tersebut dalam prakteknya memang diberikan 75 tahun, dengan kutipan "…dapat diperpanjang dan diperbaharui, dan di berikan sekaligus", namun, hal tersebut masih diatur dalam Peraturan Pemer-intah, tidak dengan UU. Hal semacam itu tidak dapat sekedar diatur oleh peraturan pemerintah, kita harus mengaturnya dalam sebuah Undang-Undang.

Pindah Tangan
Sebagian orang khawatir bahwa dengan memberikan hak pengelolaan tanah dalam jangka yang panjang itu, tanah Indonesia akan berpindah tangan kepada pihak asing. Ini tidaklah benar sama sekali.

Pertama, ada pasal dalam UUPA yang menyatakan bahwa hak pemerintah atau negara untuk mencabut hak atas tanah jika peruntukannya tidak sesuai dengan permintaan atas hak tersebut. Misalnya suatu perusahaan meminta hak guna usaha sampai 75 ta-hun, tapi kemudian tanah tersebut ditelantarkan, hak tadi bisa dicabut. Kedua, pihak asing tidak mempunyai kedaulatan di atas tanah tadi. Mereka harus membayar pajak. Ketiga, hak atas tanah tersebut diberikan kepada penanaman modal yang mendirikan Perusahaan badan Hukum Indonesia (Perseroan Terbatas) dan tunduk pada hukum Indonesia. Jadi perpanjangan jangka waktu hak guna tanah tidak sama dengan menyerahkan kedaulatan tanah air kita.

Jaring Pengaman Sosial
Selanjutnya UUPA perlu diubah karena batas pemilikan tanah sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan dewasa ini. Dalam UU, dikatakan bahwa luas tanah maksimum yang diijinkan adalah menurut kepadatan penduduk tiap kilometer persegi. Jika 1-50 pen-duduk tiap km2 maka diijinkan 15 ha sawah atau 20ha tanah kering. Antara 51-250 penduduk per km2 10ha sawah atau 12 ha tanah kering, 251-400 penduduk per km2, 7,5 sampai 9 ha. Diatas 400 penduduk per km2 itu 5-6ha. Saya kira batas maksimum ini tidak relevan lagi sekarang, karena tidak ada lagi tanah yang dapat dibagi dibawah tekanan penduduk yang sudah mencapai jumlah 200 juta jiwa.

Mungkin kita dapat menerapkan landreform "gaya baru" yaitu mengizinkan pema-kaian tanah terlantar atau lahan tidur (yang belum dipergunakan) antara 5000m2 s/d 1000m2 perkeluarga untuk ditanami sayur-sayuran yang panennya setiap 30 hari. Ha-silnya bisa mencapai Rp 150.000 s/d Rp 200.000, tergantung kepada jenis sayur ma-yur yang ditanam. Bisa juga lahan-lahan 50m2 s/d 100m2 di kota-kota hanya diman-faatkan pada malam hari, untuk berjualan makanan dan minuman. Hasilnya bisa men-capai Rp 30.000 bersih semalam.

Ini merupakan program Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net Program) untuk mengatasi kelangkaan lapangan kerja akibat kelangkaan lapangan kerja.

Perubahan terhadap UUPA telah menjadi pemikiran sejak lama, mudah-mudahan setelah pemilu 1999 nanti perubahan itu dapat dilakukan. Pembaruan dalam hukum agraria perlu dilakukan, mengingat sifat UUPA tidaklah lagi sesuai dengan tujuan pembangunan bangsa yang kini mengarah pada industrialisasi, walaupun kita menga-kui masih perlu dilaksanakan intensifikasi dan ekstensifikasi di sektor pertanian.

Wakil Sekretaris Kabinet Republik Indonesia
Pengamat masalah hukum pertanahan