.

k

Anti Korupsi Harus Dijadikan Gerakan Nasional

⊆ 16.46 by makalah hukum | .

Pemberantasan korupsi akan berhasil jika isu itu dijadikan gerakan nasional terutama oleh para elite politik dan seluruh masyarakat. Sayangnya, elite-elite politik di MPR, DPR, maupun pemerintahan sampai saat ini belum pernah menegaskan korupsi sebagai musuh bersama yang harus diperangi, seperti halnya rezim Soeharto dulu habis-habisan memerangi komunisme.

Dengan menjadi gerakan nasional maka upaya emergency bisa dilakukan, karena jika mengandalkan perangkat aturan dan sistem yang ada sekarang maka akan tetap sulit untuk memberantas korupsi. Harkristuti Harkrisnowo menyesalkan sikap elite-elite politik yang belum memandang korupsi sebagai masalah gawat yang membutuhkan penanganan segera dan secara habis-habisan. Untuk itu perlu ada social movement dari semua elemen masyarakat.

"Masalahnya, elite politik kita juga bersih atau tidak? Yang saya lihat juga, mereka tidak ada sense of emergency-nya dalam soal korupsi, padahal ini sudah sangat membahayakan dan merusak seluruh sendi kehidupan kita. Mbok Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dulu ngomong sebagai presiden, karena dia juga harus transparan dengan berbagai tudingan yang diarahkan kepadanya. Dia yang pertama harus membangkitkan sense of emergency. Susahnya, dari DPR dan MPR juga kita belum pernah mendengar pernyataan keras soal korupsi. Dari satu atau dua orang anggota memang ada, tetapi sebagai lembaga belum ada," ungkap Harkristuti.

Menurutnya pemberantasan korupsi harus diikrarkan sebagai gerakan nasional. Semua orang harus melihat korupsi sebagai musuh bersama, dan menyadari bahwa keadaannya sekarang ini sudah emergency. Dengan begitu masyarakat bisa membuat langkah-langkah darurat, misalnya segera memperbaiki UU Korupsi yang ada, karena UU itu masih lemah dalam soal pembuktian terbalik dan juga perlindungan saksinya. "Kita juga barangkali perlu punya Mahkamah Luar Biasa untuk kasus-kasus korupsi, sehingga kasus-kasus korupsi bisa diselesaikan dengan cepat, seperti halnya Soeharto dulu melawan komunisme."

Meski sependapat dengan pandangan Ali, Harkristuti maupun Iskandar meragukan upaya-upaya emergency yang disarankan Ali bisa dilakukan dalam keadaan sosial politik sekarang ini.

TGPK

Dibentuknya Tim Gabungan Pemberantasan Korupsi (TGPK) sebagai jembatan menuju dibentuknya Komisi Anti korupsi, menurut Harkristuti, belum bisa banyak diharapkan karena pada akhirnya hasil penyidikan TGPK-pun akan diserahkan kepada kejaksaan sebagai institusi penuntutan. Di sisi lain, banyak kasus korupsi juga pada kenyataannya tidak diserahkan kepada TGPK, tetapi ditangani langsung oleh kejaksaan, seperti kasus Soeharto, Joko Tjandra dan kasus lainnya.

Sementara, Ketua Komisi Hukum Nasional Prof Dr JE Sahetapy menilai, dibentuknya TGPK lebih menunjukkan bahwa kejaksaan impoten dalam menangani kasus korupsi. "Saya kurang sepakat kalau TGPK yang secara serta merta mengumumkan nama-nama orang-orang yang diduga korupsi. Kalaupun mengumumkan, sebaiknya melalui Kejaksaan Agung saja, sehingga kita tetap bekerja di dalam koridor hukum," jelasnya sambil menekankan, dia tidak membela mereka-mereka yang diumumkan TGPK diduga melakukan korupsi.

Sahetapy menambahkan, TGPK perlu meminta kepada presiden dan DPR untuk disediakan Perpu mengenai perlindungan saksi, karena sangat esensial untuk merangsang semakin banyaknya pelaporan kepada TGPK. Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dalam pernyataan bersamanya beberapa waktu lalu menyatakan mendukung upaya yang dilakukan oleh TGPK dan pihak-pihak lain yang selama ini berperan aktif dalam membasmi korupsi dan suap di peradilan.

Ketiga lembaga itu juga meminta DPR dan pemerintah segera mengubah UU Korupsi, UU Suap atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan membuat peraturan seperti UU Badan Anti Korupsi, UU Perlindungan Saksi dan Pelapor, UU Kebebasan Memperoleh Informasi, guna mempermudah dan mengefektifkan upaya pemberantasan korupsi dan suap di pengadilan.

Komisi Anti Korupsi

Komisi Antikorupsi yang akan dibentuk sesuai arahan Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa kemauan politik pemerintah. Kemauan politik bersama dukungan publik adalah suatu yang mutlak. Tanpa keduanya pemberantasan korupsi tidak akan pernah berhasil. Menurut konsultan Asian Development Bank (ADB) untuk membentuk pembentukan Komisi Antikorupsi di Indonesia, Bertrand de Speville, menegaskan perlunya dukungan politik dari pemerintah supaya pemberantasan korupsi bisa berhasil. "Political will untuk memberantas korupsi di Singapura sangat kuat," jelas Speville. Mendukung pembentukan Komisi Antikorupsi, seperti diamanatkan UU No 31/1999, pemerintah pun akhirnya mengutus delegasi Pemerintah Indonesia yang terdiri dari unsur pemerintah, perguruan tinggi, dan aktivis LSM.

Ketua Pengarah BPR (Badan Antikorupsi) Malaysia Dato Ahmad Zaki bin Haji Husin ketika menenerima delegasi Indonesia, mengakui sulitnya pemberantasan korupsi di negara-negara Asia. Padahal, korupsi itu membuat pembangunan bangsa Asia, terutama di bidang ekonomi amat tertinggal. Diakui Zaki, Malaysia belum bisa memberantas korupsi. Tetapi mengutip indeks korupsi antarbangsa yang dikeluarkan Transparency International tahun 1999, Indonesia berada di peringkat 96 dari 99 negara yang diteliti tingkat korupsinya. Artinya, dengan skor 1,7, Indonesia merupakan negara keempat paling korup. Sedangkan Malaysia berada di peringkat 32 dengan skor 9,1.