.

k

Mempromosikan Hukum Berperspektif Jender mulai dari "Pabriknya"

⊆ 20.30 by makalah hukum | .

PENGADILAN Negeri Jakarta Barat menjatuhkan putusan kepada, kita sebut saja namanya, Lulu, seorang pelajar sekolah menengah pertama di kawasan Jakarta Barat, hukuman tiga bulan percobaan. Hukuman dijatuhkan karena Lulu dianggap terbukti mencemarkan nama baik kakak kelasnya, yang kita sebut saja namanya, Didu.

KEJADIAN berawal pada bulan April 2000 ketika suatu hari pada bulan itu Lulu beristirahat di ruang kesehatan sekolahnya karena merasa tidak enak badan. Tidak berapa lama kemudian masuk pula Didu yang merasa sakit. Ada seorang guru yang bertugas di ruang kesehatan itu. Guru ini sempat meninggalkan ruang kesehatan itu selama sekitar 15 menit dan ketika kembali ke ruang kesehatan, dia mendapati Lulu sendirian sedang menangis dengan pakaian tampak kacau.

Lulu tidak bisa menjawab pertanyaan sang guru (laki-laki) itu dan minta izin pulang. Di rumah dia menuturkan pengalamannya bahwa ketika di ruang kesehatan, saat pak guru tidak di tempat, dia diserang secara seksual oleh Didu. Serangan itu menimbulkan bekas cakaran di dekat ketiak dan bekas di leher. Didu sempat memberi kesempatan kepada Lulu untuk menampar dirinya, tetapi Lulu menolak dan Didu pun berlalu.

Ibu Lulu tidak bisa menerima kejadian itu. Dia mengadukan perihal itu kepada kepala sekolah (perempuan), tetapi kepala sekolah meminta agar kejadian "intern" ini diselesaikan secara intern pula. Ibu Lulu menolak saran ini dan mengadukan kasus ini ke Polres Jakarta Barat. Tetapi, karena tidak ada saksi dan pelaporan dilakukan sekitar empat bulan setelah kejadian, akhirnya polisi mengeluarkan surat penghentian penyelidikan perkara.

Setelah itu, balik keluarga Didu mengadukan Lulu mencemarkan nama baik Didu. Seperti telah disampaikan di atas, pengadilan pun memutuskan Lulu bersalah. Alasannya, tuduhan Lulu bahwa Didu telah melakukan penyerangan secara seksual tidak pernah terbukti.

PROSES pengadilan di atas ditampilkan ulang dalam kompetisi pengadilan semu (moot court) bertema "Perlindungan Hukum terhadap Perempuan Korban dalam Perspektif Hukum Perempuan" yang diadakan oleh Kelompok Kerja Convention Watch Pusat Kajian Wanita dan Jender bersama Jurusan Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) di FH UI, Depok, Kamis (24/6).

Kompetisi tingkat Jakarta itu diikuti tim dari fakultas-fakultas hukum tujuh universitas dan yang sampai ke final adalah tim dari Universitas Indonesia, Universitas Atmajaya, dan Universitas Krisnadwipayana. Lomba yang memperebutkan piala Gani Djemat ini dimenangi oleh tim Universitas Krisnadwipayana, sedangkan pada urutan kedua dan ketiga adalah tim dari Universitas Indonesia dan Universitas Atmajaya. Kompetisi untuk tingkat Jabotabek serta Yogyakarta dan sekitarnya direncanakan diselenggarakan pada bulan Oktober 2004 bersama-sama Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan.

"Kasus-kasus yang ditampilkan dalam pengadilan semu ini adalah kasus-kasus nyata, tetapi masing-masing tim diberi kesempatan untuk menginterpretasi ulang kasus-kasus itu dengan menggunakan perspektif keadilan jender," tutur Dr Sulistyowati Irianto MA, Kepala Pusat Kajian Wanita dan Jender UI serta pengajar mata ajaran perempuan dan hukum di FH UI yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan kompetisi ini.

Kompetisi ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan keadilan dan kesetaraan jender, terutama pada keadaan di mana perempuan dan anak perempuan menjadi korban kekerasan. Praktik penegakan hukum melalui peradilan semu di kalangan para mahasiswa hukum ini diharapkan akan membuka pemahaman mereka mengenai ketidakadilan yang kerap dialami perempuan dan anak perempuan yang mencari keadilan karena terimbas antara lain oleh sistem peradilan yang tidak netral, dalam arti terkait dengan persoalan politik dan uang.

"Mahasiswa fakultas hukum adalah sasaran yang tepat untuk memperkenalkan sistem hukum, peradilan, yang berperspektif jender karena mereka kelak akan menjadi sarjana hukum dan bekerja sebagai penegak hukum," tambah Sulistyowati.

Dalam peradilan semu berperspektif jender ini diaplikasikan proses persidangan nyata dalam bentuk permainan peran dengan secara spesifik menunjukkan keberpihakan kepada korban kekerasan dalam hal yang bersifat substansial, prosedural, dan sikap aparat penegak hukum dalam berinteraksi dengan korban selama dalam proses persidangan semu ini.

Kompetisi ini sedikit banyak memaksa mahasiswa memahami konsep jender serta bagaimana masyarakat memahami konsep tersebut. Mahasiswa juga dipaksa untuk membuka aturan hukum yang berperspektif hukum dan melihat sendiri bagaimana kerap kali perempuan berada dalam posisi yang dirugikan karena konsep jender yang dipahami masyarakat belum memberi keadilan buat perempuan.

Salah satu contoh adalah penggunaan pasal-pasal konvensi internasional yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia. Humphrey R Djemat, Ketua Asosiasi Advokat Indonesia dan pengacara pada Gani Djemat & Partners yang diundang menjadi salah satu juri, mengutip pendapat Prof Dr Satjipto Rahardjo SH bahwa ada dua aliran dalam penegakan hukum, yaitu aliran positivistik yang berpegang secara kaku pada undang-undang yang ada dan aliran yang lebih progresif. Untuk persoalan yang menyangkut hak asasi manusia dan jender, Humphrey menyebut hal itu termasuk ke dalam penegakan hukum yang progresif. Ketika rasa keadilan terusik, pasal-pasal yang mengacu pada konvensi internasional bisa digunakan.

Dalam kenyataannya, banyak penegak hukum yang beraliran positivistik. Dengan alasan bahwa undang-undang yang meratifikasi konvensi internasional itu belum memiliki peraturan pemerintah, pasal-pasal dalam konvensi internasional tidak dapat digunakan.

Padahal, banyak konvensi internasional yang bisa digunakan sebagai rujukan dalam meningkatkan keadilan pada perempuan yang mengalami diskriminasi, seperti Deklarasi HAM, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, dan Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.

Di dalam kompetisi peradilan semu, tim yang berlomba ternyata menggunakan pasal-pasal dalam konvensi internasional untuk memenangkan kasus mereka, antara lain kasus Lulu dan Didu, sehingga menimbulkan harapan bahwa cara seperti ini patut menjadi salah satu bentuk sosialisasi tentang kesetaraan dan keadilan jender. Menurut salah satu juri, Humphrey R Djemat SH LLM dari kantor Gani Djemat & Partners, keadilan jender bisa dimasukkan melalui ketentuan hukum yang berlaku atau sikap penegak hukum dan para peserta kompetisi telah mencoba melalui sikap antara lain menyapa terdakwa yang berada di bawah umur dengan nama.

Upaya yang dilakukan oleh Kelompok Kerja Convention Watch Pusat Kajian Wanita dan Jender UI sangat beralasan. Pada hampir semua kalangan, termasuk juga akademisi di bidang hukum, isu-isu perempuan dianggap sebagai isu pinggiran. Convention Watch-begitu biasanya kelompok kerja yang bertujuan meningkatkan kepedulian dan pemahaman penegak hukum, akademisi, dan masyarakat umum mengenai Konvensi Perempuan ini disebut- telah melakukan sosialisasi jender dengan mendatangi berbagai fakultas hukum.

Menurut Sulistyowati, ada yang menyambut positif, tetapi lebih banyak yang bersikap tidak responsif dengan berbagai alasan. Pada umumnya hambatan dalam penerimaan pengajaran hukum berperspektif keadilan jender disebabkan karena keterbatasan sumber daya, yaitu tidak adanya dosen yang memahami masalah hukum dan jender serta bahan ajar yang mendukung. Hambatan lain adalah pandangan budaya di masyarakat, terutama dari rekan sesama akademisi, yang menganggap tidak ada masalah dalam keadilan hukum untuk perempuan.

Masih marjinalnya isu-isu keadilan berperspektif jender tampak jelas dalam Law Summit yang berlangsung dua bulan di Jakarta. Dalam pertemuan para penegak hukum itu sama sekali tidak dibahas persoalan hukum dalam perspektif keadilan jender.

Kondisi seperti itulah yang menyebabkan sistem peradilan di Indonesia tak sepenuhnya dapat dijadikan acuan pembelaan bagi perempuan korban kekerasan. "Para praktisi hukum memang sebelumnya tidak mendapat pendidikan mengenai jender di bangku kuliah karena isu mengenai keadilan jender baru belakangan muncul. Tetapi, sekarang kepekaan dari praktisi hukum semakin membaik. AAI, misalnya, bersama-sama Convention Watch mengadakan pelatihan jender untuk advokat," papar Humphrey.

Selain melalui cara-cara konkret seperti kompetisi ini, Humphrey juga mengatakan agar gerakan perempuan mengajak kelompok masyarakat lain terlibat dalam perjuangan perempuan sehingga tidak berkesan keadilan dan kesetaraan jender adalah urusan perempuan saja. "Keadilan jender itu bukan masalah perempuan saja. Kita semua punya ibu, adik atau kakak perempuan, anak perempuan. Kalau kita tidak peduli pada masalah yang menimpa orang lain, lalu bagaimana bila orang-orang dekat kita yang mengalami?" papar Humphrey. "Ini masalah universal, bukan masalah perempuan saja, atau gerakan dari Barat."

AAI sendiri telah membuktikan keberpihakannya dalam mendorong hukum yang lebih adil bagi perempuan antara lain dengan ikut memperjuangkan diundangkannya Rancangan Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga. AAI juga mendorong anggotanya untuk menggunakan konvensi internasional di dalam pembelaan menyangkut pidana, meskipun hal itu tidak mudah. "Kita tidak bisa menolak sesuatu yang dianggap bersifat universal. Dulu Konvensi HAM juga ditolak, tetapi sekarang diterima dan menjadi pertimbangan dalam penentuan keputusan hakim," tambah Humphrey.

Humphrey juga menjanjikan, AAI akan menetapkan porsi khusus bantuan hukum cuma- cuma untuk perempuan yang memerlukan bantuan hukum berperspektif jender. Program yang merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat akan menyebabkan semua pengacara dan kantor pengacara anggota AAI wajib memberi bantuan hukum cuma-cuma kepada perempuan dengan menggunakan perspektif jender.

MESKIPUN terasa lambat, perubahan bukannya tidak ada. Fakultas Hukum UI, misalnya, telah memiliki mata ajaran perempuan dan hukum sejak lebih 10 tahun lalu. Mata ajaran pilihan ini, menurut Dr Sulistyowati cukup populer karena diikuti oleh 50-60 mahasiswa dari sekitar 200 mahasiswa setiap angkatan. Peserta kompetisi peradilan semu itu pun ternyata mencapai tujuh universitas dan bisa bertambah banyak ketika kompetisi diadakan untuk tingkat Jabotabek.

Perubahan itu sangat diperlukan karena masih bertumpuk pekerjaan rumah menyangkut hukum yang merugikan perempuan. Laporan Independen Kepada Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan yang disusun Kelompok Perempuan untuk Pemantauan Pelaksanaan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan tahun 1998 antara lain menyebutkan dalam hukum pidana KUHP hanya mengatur kekerasan atas perempuan di dalam bab tentang kejahatan terhadap kesusilaan.

Dalam bab tersebut hanya diatur mengenai pemerkosaan perempuan bukan istri (Pasal 285), pemerkosaan terhadap perempuan yang sedang pingsan (Pasal 286), pemerkosaan perempuan di bawah umur (Pasal 288), dan pemerkosaan terhadap istri yang di bawah umur (Pasal 288). Selain itu, juga bab mengenai perbuatan cabul/pelecehan seksual (Pasal 294), perdagangan perempuan (Pasal 297), dan penganiayaan istri (Pasal 356).

Keberatan terhadap bab tersebut adalah pada konsep yang melandasi yaitu bab ini mereduksi eksistensi perempuan menjadi nilai-nilai kesusilaan dan bukan dalam rangka melindungi eksistensinya sebagai manusia. Keberatan lain terhadap KUHP adalah tidak dilindunginya perempuan istri dari kekerasan psikis dan kekerasan seksual karena yang diatur hanya perlindungan dalam bentuk pemberatan hukuman terhadap penganiayaan istri secara fisik. Itu pun tidak dimasukkan di dalam bab atau pasal tersendiri, melainkan menjadi bagian dari pasal penganiayaan terhadap anggota keluarga (ayah, ibu, anak, suami, dan istri). Hal ini pula yang mendorong kelompok-kelompok masyarakat menuntut kepada pemerintah dalam hal ini Presiden Megawati untuk segera menunjuk lembaga pemerintah sebagai mitra Dewan Perwakilan Rakyat membahas RUU Anti-Kekerasan dalam Rumah Tangga yang merupakan hak inisiatif DPR.

Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengharuskan pencatatan perkawinan yang bertujuan menjamin ketertiban perkawinan di masyarakat dalam praktik banyak merugikan perempuan. Penyebabnya karena kenyataannya banyak terjadi perkawinan yang tidak dicatatkan karena alasan ekonomi atau sosial atau karena agama calon mempelai bukan agama yang diakui negara. Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatat ini tidak diakui memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, melainkan hanya dengan ibunya. Akibatnya, aturan ini memberi peluang kepada laki- laki untuk melepaskan tanggung jawab terutama dalam pemeliharaan anak yang lahir dari perkawinan itu.

Masih banyak peraturan perundangan yang bias jender dan perlu diubah. Semakin banyak penegak dan praktisi hukum menyadari adanya ketidakadilan tersebut, semakin produktif sinergi dengan berbagai kelompok masyarakat dalam menciptakan masyarakat yang demokratis.

Sumber: kompas.com