.

k

Kekerasan dalam rumah tangga

⊆ 20.31 by makalah hukum | .

Stop Kekerasan di Rumah Tangga!

"Jangan sepelekan komunikasi keluarga," begitu pesan para pakar pernikahan. Aktivitas atau mobilitas yang sangat tinggi pada anggota keluarga di perkotaan, menjadi peluang sangat terbuka terhadap tindak kekerasan, terutama kekerasan pada perempuan di dalam rumah tangga. Setiap masalah sekecil apa pun bila tidak dikomunikasikan akan menumpuk dan berdampak pada kekerasan.

IBU Amir, sebut saja begitu, dalam pernikahannya dengan Pak Amir mengalami derita yang cukup menyedihkan. Awal cerita, pasangan ini membuka usaha dan seiring dengan waktu usaha rumah makannya kian berkembang. Dari hasil usaha itu Ibu Amir kemudian membeli tanah ladang dan rumah di luar kota. Maksudnya, selain investasi juga bisa sesekali digunakan untuk tinggal dan berlibur bersama keluarga.

Namun, kesibukan dalam mengelola usahanya membuat ia lupa kewajibannya membina rumah tangga yang sakinah mawadah wa rahmah, yang sudah beranjak 18 tahun. Ia seakan larut dalam bisnisnya, tak heran kesempatan untuk suami dan anak berkurang. Rumah yang dibelinya pun tak pernah ditengoki. Hanya Pak Amir yang rajin ngontrol dan mendiami.

Rupanya Pak Amir tak tahan sering sendirian. Ia diam-diam menikah dan mendiami rumah keduanya bersama istri muda yang dinikahinya kemudian.

Masalahnya baru mencuat ketika gelagat tidak baik itu tercium Bu Amir, karena Pak Amir sering menginap di rumahnya yang di luar kota. Suatu hari, diam-diam Bu Amir datang ke rumahnya yang di luar kota itu untuk memastikan dugaannya. Ternyata apa yang disangkanya itu benar.

Melihat istri pertamanya datang tiba-tiba Pak Amir naik pitam. Ia marah dan memukuli Bu Amir. Bahkan tak sampai di situ, kekerasan pun berlanjut. Selain pertengkaran, juga suatu hari Pak Amir pernah begitu saja menjalankan mobil, padahal tangan Bu Amir masih memegang kaca jendelanya. Bu Amir pun terseret beberapa jauh hingga pingsan.

Akhirnya, perseteruan pun semakin memuncak ketika diketahui Bu Amir dilaporkan meninggal ketika Pak Amir hendak menikah dengan istrinya kedua. Merasa dirugikan ia pun lantas melaporkannya pada polisi sebagai tindakan pemberian keterangan palsu (pasal 279 sub 266 (1) KUHP). Bu Amir pun mengajukan gugatan cerai.

**

KEKERASAN terhadap perempuan banyak terjadi di masyarakat. Cerita Bu Amir, kata Ellin Rozana, staf Insititut Perempuan, memberikan ilustrasi pada kita tindakan KDRT mudah terjadi, bila tidak ada payung hukum korban akan terus berjatuhan. Apalagi, akibat komunikasi kurang baik dalam keluarga dan kesibukan masyarakat perkotaan, mulai memudarkan hubungan sosial sekali pun dengan keluarga sendiri. Komunikasi kurang baik pun bisa jadi sebagai penyebab kekerasan sangat mudah terjadi.

Pada keadaaan tertentu, terkadang muncul konflik bila satu di antara anggota keluarga ini merasa tidak nyaman dengan anggota keluarga lainnya, atau malah perlakuan kekerasan tersebut secara sengaja dilakukan karena ada kesempatan di depan mata.

Catatan awal tahun 2004 yang dilansir oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), memperlihatkan pada 2003 telah terjadi 5.934 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 2.703 di antaranya adalah kasus KDRT, dengan korban terbanyak adalah istri, yaitu 2.025 kasus (75 persen).

Tindakan kekerasan terhadap perempuan terus meningkat secara konsisten dari tahun ke tahun. Selama 2004, kekerasan terhadap perempuan meningkat hampir 100%, yaitu menjadi 14.020 kasus dibanding tahun sebelumnya yang cuma 7.787 kasus. Ketua Komnas Perempuan Kamala Chandrakirana mengungkapkan hal itu pada laporan tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) sepanjang 2004.

Angka-angka di atas harus dilihat dalam konteks fenomena gunung es, di mana kasus yang tampak hanyalah sebagian kecil saja dari kejadian yang sebenarnya. Apalagi angka-angka tersebut hanya didapatkan dari jumlah korban yang melaporkan kasusnya ke 303 organisasi peduli perempuan. Data juga mengungkapkan, rata-rata mereka adalah penduduk perkotaan yang memiliki akses dengan jaringan relawan dan memiliki pengetahuan memadai tentang KDRT.

**

TAHUN lalu, momentum hari antikekerasan terhadap perempuan yang diperingati dunia setiap tanggal 25 November, disambut dengan disahkannya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan (KDRT). Tahun ini, momentum tersebut dijadikan ajang evaluasi.

Dalam rangka memperingati hari internasional untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan, Komnas Perempuan telah melakukan konsultasi dengan para penegak hukum dari lingkungan kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan pengacara untuk melakukan review terhadap pelaksanaan UU Nomor 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang pada saat ini sudah berlaku selama satu tahun.

Komnas Perempuan dalam siaran persnya menyimpulkan, kendati ada niat baik dari para penegak hukum menggunakan UU baru ini dalam penanganan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, masih terlalu banyak perbedaan persepsi antar penegak hukum sendiri yang mengakibatkan terhambatnya penerapan UU ini.

"Perbedaan persepsi ini menyangkut pemahaman tentang bentuk-bentuk kekerasan dan elemen-elemennya, cakupan "rumah tangga", peran dan kualifikasi pendamping korban, peran pemerintah, hak pelaporan oleh komunitas, serta pengelolaan dana denda yang harus dibayarkan pelaku," kata Kamala.

Selain itu, kendala budaya masih sangat besar bagi para perempuan korban KDRT untuk menjalankan proses hukum sampai tuntas, sehingga banyak perkara yang ditarik kembali setelah mulai diproses oleh polisi. Akibatnya, persentase perkara KDRT yang sampai ke meja persidangan sangat kecil dibandingkan total kasus KDRT yang terjadi di masyarakat.

"Padahal, walaupun perbuatan itu dilakukan suami terhadap istri atau orang tua terhadap anak, namanya kekerasan ya kekerasan. Itu tindakan kriminal yang harus mendapat hukuman," ujar Kamalia Purbani, anggota Lembaga Perlindungan Perempuan Anak (LPPA), saat ditemui di ruang kerjanya baru-baru ini.

"Kekerasan dalam rumah tangga bisa berbentuk fisik atau nonfisik. Kekerasan nonfisik bisa berbentuk verbal seperti pelecehan, penghinaan, mendiamkan istri untuk menyakiti psikisnya, atau bentuk lain seperti tidak membiayai selama berbulan-bulan. Sedangkan kekerasan fisik bisa berbentuk pemukulan, penjambakan, dll.," ujarnya.

Kamalia menilai, perlindungan hukum untuk kekerasan nonfisik sangat sulit karena polisi membutuhkan bukti untuk visum sebagai pegangan. Jadi jika yang terluka hatinya, tidak kelihatan. Padahal, definisi kekerasan adalah yang membuat sakit badan maupun hati perempuan," imbuhnya.

Kadang-kadang ada perempuan yang tidak sadar tindakan suaminya merupakan bentuk kekerasan. Ia mencontohkan, istri tidak diperbolehkan bergaul dengan orang lain atau keluarganya sendiri.

Sedangkan psikolog yang juga aktivis Jaringan Relawan Independen (JARI, sebuah NGO yang peduli dalam penanganan KDRT), Dr. Elmira N. Sumintardja, Dra, M.Psi. mengatakan, bentuk KDRT yang banyak dikenal selama ini hanya kekerasan fisik. Padahal, sebenarnya tidak sebatas itu. Kekerasan yang dimaksudkan di sini bukan saja kekerasan fisik, tetapi juga bisa berbentuk sangat halus dan tidak kasat mata seperti kata-kata yang melecehkan, meremehkan dan sebagainya. Paling tidak terdapat lima bentuk KDRT, yaitu fisik, emosional/psikologis, seksual, ekonomi, dan sosial.

Kekerasan fisik mudah dikenali dengan memar-memar. Kekerasan emosional atau psikologis lebih sulit dikenali, karena yang terluka ada di dalam. Namun, gejalanya bisa kita amati. Sebut saja ketika istri yang biasanya ceria, riang, dan suka bergaul, tiba-tiba menjadi orang yang pendiam, murung dan tidak berani ke luar rumah.

Kekerasan seksual lebih sulit dikenali karena kejadiannya di tempat yang sangat tersembunyi. Lagipula, para istri yang mengalami kekerasan seksual enggan menceritakan atau melaporkan hal ini karena dianggap mencoreng muka sendiri. Yang termasuk kekerasan di bidang seksual ini adalah tindakan pemaksaan terhadap istri untuk melakukan hubungan seksual marital rape (perkosaan terhadap istri sah).

Yang termasuk kekerasan ekonomi adalah memaksa istri untuk bekerja melebihi kapasitasnya dan/atau menghambur-hamburkan penghasilan yang diperoleh istri. Termasuk di dalamnya memaksa istri untuk melacur. Sedangkan kekerasan sosial adalah sikap atau tindakan membatasi pergaulan istri. Misalnya saja, istri dikungkung dalam rumah dan tidak diperkenankan mengikuti kegiatan di luar seperti ikut arisan.

"KDRT biasanya merujuk pada suatu pola perilaku. Satu kali peristiwa pemukulan suami terhadap istri biasanya dianggap bukan KDRT. Pemukulan itu baru dianggap KDRT bila dilakukan lebih dari sekali dan biasanya berulang-ulang," ujar Elmira.

Tindakan kekerasan terhadap istri, meskipun hanya satu kali jika tidak ditangani secara serius bisa berulang kembali.

**

LINGKUP rumah tangga dalam UU PKDRT sebenarnya menganut paham extended family (keluarga dalam arti yang luas), bukan nucleus family (keluarga inti). Dalam konteks itu, ruang lingkup rumah tangga dalam UU ini meliputi a. suami, istri, dan anak; b. orang yang mempunyai hubungan keluarga baik karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian, yang menetap di rumah tangga, dan c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tanggaitu. Jadi, kekerasan yang terjadi akibat majikan memukul atau menyakiti PRT dapat dikategorikan sebagai KDRT.

Untuk menghapus atau setidaknya memilimalisasi kekerasan dalam rumah tangga memang memerlukan kesadaran semua pihak. Saling mengingatkan akan hak setiap orang untuk hidup nyaman dan aman adalah satu satu cara yang baik. (Jalu)***