.

k

Kekerasan Terhadap Perempuan Masalah Bersama

⊆ 20.26 by makalah hukum | .

Kekerasan Terhadap Perempuan Masalah Bersama

Situasi Indonesia
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Khofifah Indar Parawansa mengatakan bahwa tingkat kekerasan yang dialami perempuan Indonesia sangat tinggi. Sekitar 24 juta perempuan atau 11,4 persen dari total penduduk Indonesia pernah mengalami tindak kekerasan. Tindak kekerasan dominan yang dialami oleh perempuan Indonesia adalah kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga misalnya penganiayaan, perkosaan, pelecehan, atau suami berselingkuh. Sedangkan mengenai kekerasan seksual, LSM Perempuan Kalyanamitra dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa setiap lima jam terjadi satu kasus perkosaan.

Mitos Kekerasan
Mitos-mitos seputar kekerasan yang selama ini berkembang di masyarakat bahwa kekerasan hanya terjadi pada kelompok berpendidikan dan berpenghasilan rendah. Tetapi, dari data-data yang terkumpul, justru menunjukkan banyaknya kasus kekerasan yang terjadi di kelompok berpendidikan menengah ke atas. Bahkan terdapat laporan yang menyebutkan bahwa perempuan karir banyak mengalami kekerasan. Jadi kekerasan dalam rumah tangga terjadi di semua lapisan sosial masyarakat, agama, politik maupun latar belakangan pendidikan. Ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan bukan disebabkan oleh situasi ekonomi atau tinggi rendahnya pendidikan seseorang, tapi lebih pada ketidaksetaraan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Pembagian peran sosial terhadap perempuan dan laki-laki menyebabkan ketidakadilan yang salah satu bentuknya adalah kekerasan terhadap perempuan.

Faktor-Faktor Terjadinya Kekerasan
Kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah universal yang melewati batas-batas negara dan budaya. Studi yang dilakukan di 90 komunitas yang berbeda di dunia menunjukkan pola tertentu dalam insiden kekerasan terhadap perempuan. Menurut studi tersebut, terdapat empat faktor untuk terjadinya kekerasan. Pertama adalah ketimpangan ekonomi antara perempuan dan laki-laki; Selanjutnya adalah penggunaan kekerasan sebagai jalan keluar suatu konflik; otoritas dan kontrol laki-laki dalam pengambilan keputusan; dan hambatan-hambatan bagi perempuan untuk meninggalkan setting keluarga. Faktor-faktor tersebut seringkali tertutupi oleh mitos-mitos.

Misalnya dominasi laki-laki terhadap perempuan memang suatu hal yang sudah semestinya karena itu merupakan bagian dari 'kejantanan' itu sendiri. Dengan melakukan tindak kekerasan, maka hal itu bisa mengurangi stress. Rasa rendah diri dan keinginan perempuan untuk didominasi; dan mitos bahwa kekerasan adalah suatu hal yang tidak terelakkan dalam hubungan perempuan-laki-laki. Namun para pengadvokasi anti kekerasan terhadap perempuan mengamati bahwa kekerasan itu merupakan fungsi dari norma-norma sosial yang telah terkonstruksi yang menempatkan laki-laki pada posisi yang dominan dan perempuan pada posisi tersubordinasi. Di samping asumsi-asumsi tertentu yang hidup dalam masyarakat mengenai pembagian peran perempuan dan laki-laki, salah satu hal yang turut melegitimasi kekerasan terhadap perempuan adalah penafsiran-penafsiran terhadap pemahaman agama. Hesti Armiwulan, dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya menyebutkan contoh mengenai pemahaman agama yang keliru seperti pemahaman bahwa istri boleh didera apabila tidak menurut, dan sebagainya.

Masalah komunikasi sangatlah sentral dalam turut menyumbang terjadinya kekerasan di dalam rumah tangga. Kesulitan dalam hubungan berkomunikasi antara suami dengan istri, tidak mengetahui apa yang diinginkan suami atau istri, sering berpuncak pada terjadinya kekerasan. Kekerasan dianggap sebagai penyelesaian masalah yang efektif.

Bentuk Kekerasan
Kekerasan bukan hanya kekerasan fisik saja seperti pemukulan atau tendangan, tapi bisa berbentuk sangat halus dan tidak kasat mata seperti kecaman, kata-kata yang meremehkan dan sebagainya. Paling tidak terdapat lima kategori bentuk kekerasan dalam rumah tangga: fisik, emosional/psikologis, seksual, ekonomi, dan sosial.

Kekerasan fisik, biasanya berakibat langsung bisa dilihat mata seperti memar-memar di tubuh atau goresan-goresan luka. Kekerasan emosional atau psikologis tidak menimbulkan akibat langsung tapi dampaknya bisa sangat memutus-asakan apabila berlangsung berulang-ulang. Termasuk dalam kekerasan emosional ini adalah penggunaan kata-kata kasar, merendahkan, atau mencemooh. Misalnya membanding-bandingkan istri dengan orang lain dengan mengatakan bahwa istri tidak becus dan sebagainya. Kekerasan seksual lebih sulit lagi dilihat karena tempat kejadiannya yang sangat tersembunyi, yaitu dalam hubungan intim suami-istri. Antara lain pemaksaan dalam hubungan seks. Sedangkan yang bisa dikatakan sebagai kekerasan ekonomi misalnya menjual atau memaksa istri bekerja sebagai pelacur, atau menghambur-hamburkan penghasilan istri untuk bermain judi, minum alkohol, dan sebagainya. Kekerasan sosial, misalnya, dengan membatasi pergaulan istri. Istri dilarang mengikuti kegiatan-kegiatan di luar rumah.

Sulitnya Memutus Rantai Kekerasan
Walaupun mengalami kekerasan oleh pasangnya dan menghendaki agar kekerasan tersebut dihentikan, tapi bukanlah suatu hal yang mudah bagi perempuan untuk memutus mata rantai kekerasan. Secara sosial budaya, perempuan dikonstruksikan untuk menjadi istri yang baik, yang pandai menyenangkan suami dan menjaga keutuhan rumah tangga. Dengan demikian perempuan atau istri dituntut tanggung jawab yang lebih besar atas kelestarian perkawinan. Ketika konflik muncul, maka pertamakali istri akan menyalahkan diri sendiri, mencari sebab-sebab konflik dalam dirinya. Walaupun introspeksi suatu hal positip tapi dapat pula menjadi hambatan ketika perempuan akan membuat keputusan saat mengalami kekerasan. Di samping itu, bagi perempuan tidaklah mudah untuk hidup sebagai janda. Tidak saja stigma negatip yang melekat pada janda, tapi juga ketergantungan pada suami menjadi faktor penting. Perempuan yang telah terkondisi untuk tergantung secara ekonomi dan emosional pada suami, akan merasa sangat sulit ketika harus mengambil keputusan. Dan faktor lainnya adalah faktor hati. Banyak perempuan yang menyatakan karena cinta maka mereka harus bisa menanggung sisi buruk dari orang yang dicintanya itu.

Dampak kekerasan
Akibat kekerasan bisa berbeda-beda. Ada yang dapat segera terlihat mata seperti kekerasan fisik. Tetapi ada pula jenis kekerasan yang akibatnya baru tampak berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun kemudian dan itupun tidak secara kasat mata, misalnya kekerasan emosional. Menurut Elly Nurhayati Dari Rifka Annisa, satu hal yang khas pada perempuan yang mengalami tekanan psikologis termasuk yang dikarenakan kekerasan adalah ganggguan pada fungsi reproduksi. Misalnya saja haid yang tidak teratur atau tidak berhenti, sering mengalami keguguran, atau kesulitan menikmati hubungan seksual.

Terlepas dari apakah akibat kekerasan itu bisa langsung terlihat mata ataupun baru tampak kemudian, tapi yang jelas dampaknya akan membatasi kehidupan perempuan itu. Gangguan kesehatan, hilangnya konsep diri dan rasa percaya terhadap diri sendiri, jelas akan menghambat kegiatan-kegiatan mereka untuk berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat. Ini berati hilangnya sumber daya manusia yang sangat penting. Perempuan yang seharusnya bisa aktif berpartisipasi dalam masyarakat, dan bisa mengembangkan potensi dirinya, sekarang terhambat karena masalah kekerasan tersebut. Organisasi Kesehatan Sedunia WHO memperkirakan bahwa biaya pengobatan terhadap korban kekerasan 2,5 kali lebih banyak katimbang penyakit biasa. Dan perempuan yang mengalami kekerasan akan kehilangan 50 persen produktivitasnya. Belum lagi kalau kita melihat dampak kekerasan terhadap perempuan terhadap generasi mendatang. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan keluarga yang diwarnai kekerasan akan menyebabkan anak-anak tersebut tidak bisa berkembang menjadi manusia dewasa yang utuh karena mereka tidak mengenal apa itu kekebasan dan demokrasi. Tidak ada pilihan-pilihan lain bagi anak-anak itu. Sejumlah studi menunjukkan bahwa anak-anak yang hidup dalam keluarga yang diwarnai kekerasan, pada masa dewasanya cenderung akan terlibat dalam situasi yang sama karena nilai-nilai yang hidup dalam keluarga itu akan berpindah dan terinternalisasi oleh anak.

Masalah Bersama
Masalah kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah bersama. Oleh karena itu masyarakat dan juga negara perlu disadarkan, didesak, dituntut, dan diawasi untuk turut bertanggung jawab dalam memerangi kekerasan berdasarkan jenis kelamin ini. Untuk itu perlu adanya perubahan sikap mendasar yang menganggap masalah kekerasan terhadap perempuan dari sekedar masalah individu menjadi masalah dan tanggung jawab bersama.
Perlu perubahan mendasar terhadap status perempuan dan sikap-sikap terhadap baik perempuan maupun laki-laki dalam masayarakat. Perlu upaya terus menerus dan strategis untuk mendekonstruksi struktur kekuasaan tradisional yang selama ini sudah dianggap sah-sah saja dan juga mendekosntruksi asumsi-asumsi budaya dan agama yang memperkuat dan melegitimasi kekerasan berdasarkan gender ini

sumber: http://www.ipkb-kalbar.org/ktpa2.html