.

k

LAPORAN PEMANTAUAN DAN ANALISA PROSES SELEKSI HAKIM AGUNG

⊆ 17.15 by makalah hukum | .

MEMILIH HAKIM AGUNG TERPILIH
Catatan Atas Seleksi Wawancara Calon Hakim Agung


Pengantar


Hakim Agung adalah hakim tertinggi dan sebagai penjaga benteng aspirasi keadilan masyarakat. Mahkamah Agung, menjadi "court of last resort" dan otoritas yang final untuk memutuskan sebuah perkara. Karenanya, sayang jika bangku hakim agung diduduki para pencari kerja, petualang politik atau pengabdi kepentingan sekelompok orang. Hakim Agung yang dicari: hakim agung yang berdiri diatas kepentingan keadilan itu sendiri.

Karena pemikiran tersebut, Yayasan LBH Indonesia merasa perlu untuk terlibat dan melibatkan diri dalam proses seleksi hakim agung yang dilakukan Komisi Yudisial (KY). Peran Yayasan LBH Indonesia yang terbatas, diharapkan dapat berkontribusi terhadap hasil pemilihan hakim agung saat ini. Position paper ini merupakan bentuk pertanggungjawaban publik berkaitan dengan kerja pengawasan dan kampanye yang dilakukan Tim Pemantau Proses Seleksi Hakim Agung Yayasan LBH Indonesia , dengan fokus proses seleksi yang dilakukan KY.

Laporan ini akan memaparkan analisis proses seleksi wawancara dan penilaian atas 16 calon hakim agung yang mengikuti proses wawancara. Data yang menjadi sumber analisis adalah catatan selama proses pemantauan seleksi pada tahap wawancara dan pemberitaan media. Laporan ini bertujuan untuk memberikan masukan kepada KY, bahan pertimbangan bagi Komisi III DPR RI dan juga bagi kepentingan publik untuk menilai proses seleksi wawancara dan kualitas para calon hakim agung selama proses wawancara.

Komisi Yudisial (KY) sendiri telah merampungkan serangkaian proses seleksi untuk memilih calon Hakim Agung dengan selesainya seleksi wawancara yang berlangsung pada 10 – 15 Mei 2007. Seleksi wawancara ini merupakan seleksi tahap akhir setelah sebelumnya dilakukan seleksi administratif, seleksi karya ilmiah, seleksi kesehatan dan seleksi profile assessment. Sampai dengan tahap seleksi wawancara calon hakim agung yang lolos berjumlah 16 orang dengan latar belakang para calon sendiri cukup beragam diantaranya hakim pada Pengadilan Agama, hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara, hakim pada peradilan umum, akademisi, pengacara, mantan jaksa.

Proses selanjutnya setelah seleksi wawancara adalah dipilihnya para calon hakim agung yang kemudian akan diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pada seleksi pertama, 6 November 2006, KY telah meloloskan 6 (enam) orang calon hakim agung ke DPR yang kemudian “dikembalikan” kepada KY karena tidak memenuhi kuota


Pasal 18 ayat 5 UU No. 22/2004 menyatakan KY menetapkan dan mengajukan 3 nama calon hakim agung kepada DPR untuk setiap satu lowongan hakim agung. Mahkamah Agung (MA) yang saat ini membutuhkan 6 hakim agung baru, maka berdasarkan pasal ini, KY seharusnya mengajukan 18 nama.

Persoalan pemenuhan nominal hakim agung di Mahkamah Agung (MA) yang akan dipilih oleh DPR tidak semata-mata karena pemenuhan kuota tetapi harus mengedepankan profesionalitas, integritas dan kualitas para calon hakim agung tersebut. Maka para calon yang nantinya akan dipilih oleh KY dan kemudian diusulkan ke DPR adalah individu-individu yang mempunyai integritas, profesionalitas dan independensi secara personal (personal independence). Hal ini juga sesuai dengan tekad dari KY untuk tidak mengedepankan kuota namun berdasarkan kualitas.

Faktor integritas, profesional dan independensi ini penting sebagai upaya untuk menegakkan hukum yang berkeadilan dan berperan dalam melakukan reformasi peradilan di Indonesia yang saat ini. Sampai saat ini terindikasi masih maraknya judicial corruption dan lemahnya kualitas putusan para hakim agung menyebabkan lembaga peradilan semakin terpuruk. Dipundak para hakim inilah yang peran terbesar untuk menegakkan kembali citra lembaga peradilan.

Namun demikian, berdasarkan pada pemantauan awal, selama proses seleksi wawancara yang dilakukan, para calon hakim agung secara umum tidak cukup memperlihatkan suatu kualitas yang diharapkan untuk menjadi seorang hakim agung.

Para calon masih lemah dalam pemahaman tentang hukum dan peraturan perundang-undangan. Hal ini menimbulkan suatu kekhawatiran bahwa ke depan, jika para calon hakim agung ini pada akhirnya terpilih menjadi hakim agung tidak akan mampu menjawab tantangan penegakan hukum di Indonesia. Maka dari itu, penting untuk dilakukannya suatu assessment atas proses seleksi wawancara yang telah dilakukan, untuk memastikan bahwa para calon yang akan dipilih telah memenuhi standar untuk menjadi hakim agung


A. Singkat tentang Proses Seleksi Calon Hakim Agung

Pada 10 Februari 2007, KY mengumumkan 49 bakal calon hakim agung yang lolos seleksi administratif. Bagi bakal calon tersebut, diminta untuk menyusun karya ilmiah dengan judul: “Implikasi Putusan Bebas Kasus Korupsi dan Illegal Logging dalam Perspektif Hak Asasi Manusia” dan diserahkan kepada Panitia Seleksi KY paling lambat pada23 Februari 2007

Seleksi penilaian karya ilimiah, karya profesi dalam dua tahun terakhir, dan legal case problem solving yang telah dilakukan, kemudian menghasilkan 47 nama bakal calon hakim agung, dan wajib mengikuti seleksi kesehatan dan profile assessment


Pada 13 April KY mengumumkan hasil seleksi dan kepribadian (profile assessment) bakal calon hakim agung di media. Selanjutnya pada 10, 11
dan 15 Mei, 16 bakal calon hakim agung diwawancarai oleh KY. Akhirnya pada 31 Mei 2007, KY mengumumkan 12 nama bakal calon hakim agung yang diserahkan ke DPR

B. Pemantauan dan Catatan atas Metode Wawancara

Proses seleksi untuk memilih Hakim Agung yang diselenggarakan KY, merupakan seleksi kedua yang dilakukan oleh KY. Sebagaimana disebutkan diatas, seleksi kedua ini didasarkan untuk memenuhi permintaan DPR agar KY merekomendasikan calon hakim agung sesuai dengan UU. Artinya setelah pada tahap pertama KY merekomendasikan 6 calon hakim agung, dalam seleksi kedua ini KY seharusnya merekomendasikan 12 calon hakim agung yang kemudian akan dipilih DPR sebanyak 6 orang hakim agung.

Perihal pemenuhan kuota/jumlah ini berimplikasi pada adanya pilihan untuk mengedepankan kuantitas dari sekedar kualitas para calon. Dalam hal terpenuhi 12 calon dan mempunyai kualitas yang baik, maka tidak akan menjadi masalah namun jika ternyata calon yang berkualitas dan berintegritas dari hasil seleksi tidak mencapai 12 akan menimbulkan satu permasalahan baru. Disinilah letak posisi dilematisnya, mendahulukan aspek kuantitas untuk terpenuhinya kuota atau mengedepankan kualitas dari para calon.

Persoalan yang lain adalah proses pencalonan hakim agung, khususnya dari hakim karier yang melalui satu pintu yakni Mahkamah Agung. Hal ini menjadi persoalan karena para calon yang diajukan oleh MA sedari awal adalah calon-calon yang “seharusnya” sudah dianggap terbaik oleh MA. Pada titik itu, KY secara pasif hanya menerima calon-calon yang diajukan oleh MA. Akibat dari sistem satu pintu ini, tidak semua hakim memang berkesempatan mencalonkan diri untuk menjadi hakim agung. Namun demikian, ada juga calon dari hakim karier yang mencalonkan diri meskipun tidak diajukan oleh MA.

Berdasarkan hal tersebut, akhirnya seleksi kedua KY inipun dilaksanakan. Pada tahap pendaftaran jumlah pendaftar sebanyak 59 calon yang yang diusulkan oleh MA maupun oleh masyarakat. Pada tahap seleksi administrasi calon yang lulus adalah 49 orang yang kemudian diwajibkan membuat karya ilmiah. Seleksi selanjutnya adalah seleksi kesehatan dan kepribadian yang diikuti oleh 46 calon kemudian menghasilkan calon yang lulus sebanyak 16 orang calon.

Tahap wawancara adalah 16 calon yang terdiri dari 10 orang dari hakim karier dan 6 calon dari masyarakat (lihat tabel). Proses seleksi wawancara sendiri dilakukan selama 4 hari yakni pada tanggal 10, 11, 14 dan 15 Mei 2007 dengan 4 calon yang diwawancarai setiap harinya.

Latar belakang calon baik dari hakim karier maupun non karier cukup beragam diantara dari para hakim dari peradilan umum, peradilan Tata Usaha Negara, hakim peradilan agama, dan panitera. Sementara calon dari non karier terdiri dari akademisi, pengacara, notaris, dan mantan jaksa. Namun, dari keseluruhan nama-nama tersebut tidak terlihat nama-nama yang cukup menonjol di publik terkait dengan keterlibatan mereka dalam penegakan hukum.

Metode seleksi wawancara yang dilakukan oleh KY dengan melakukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat luas dengan masing-masing pewawancara. Ruang lingkup pertanyaan menjadi sangat luas dan tidak cukup fokus, terlebih jika dikaitkan dengan latar belakang masing-masing calon. Pertanyaan mencakup aspek integritas, moralitas, pengetahuan hukum umum, asas-asas hukum, pengetahuan tentang perundang-undangan, hukum acara, dan pandangan para calon tentang reformasi peradilan dan MA. Pertanyaan juga seringkali dikaitkan dengan paper (karya ilimiah) para calon dan pertanyaan yang sifatnya konfirmasi atas informasi dan data dari para calon tentang harta kekayaan calon dan aktivitas calon dalam menjalankan profesinya.

Metode ini ternyata mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing. Kelebihan dari metode akan menunjukkan kemampuan keseluruhan dari para calon mengenai berbagai aspek yang dianggap penting oleh KY untuk menjadi hakim agung. Sementara kelemahan metode ini adalah pendalaman atas expertise para calon karena masing-masing pewawancara mempunyai spesifikasi pertanyaan yang berbeda. Akibatnya, beberapa pertanyaan khususnya berkaitan dengan klarifikasi tentang kejanggalan data dan informasi dari para calon tidak dapat terelaborasi lebih jauh dan akhirnya hanya dinyatakan akan diklarikasi lebih lanjut. Kelemahan lain dari luasnya cakupan pertanyaan adalah ketidakkonsistenan pertanyaan terhadap para calon sehingga akan menyulitkan untuk menganalisa lebih dalam tentang kemampuan para calon tersebut.

Berdasarkan metode tersebut tampaknya KY bertekad untuk mencari calon hakim yang mengetahui segala aspek hukum dan bukan memfokuskan pada pencarian hakim dengan spesifikasi tertentu. Akan tetapi, KY juga seringkali menanyakan tentang sistem kamar di MA dan bahkan beberapa calon ditanyakan akan memilih spesifikasi atau kamar mana jika menjadi hakim agung. Ketidakjelasan fokus KY ini sedikit banyak menyumbang pada kegagalan para calon untuk secara memadai menjawab pertanyaan yang diajukan selama proses wawancara. Bahwa harus dipahami juga bahwa kemungkinan besar tidak semua calon menguasai keseluruhan teori hukum, UU maupun teknis yuridis peradilan.

Dapat dikatakan, terlihat KY menginginkan bahwa para calon hakim agung adalah calon-calon yang mempunyai kemampuan dalam banyak aspek, selain teknis hukum juga upaya reformasi peradilan dan reformasi di MA. Disinilah “niat baik” KY yang menginginkan adanya calon yang mempunya integritas, kemampuan teknis hukum yang memadai dan kemampuan untuk mereformasi peadilan dan MA menjadikan para calon “tergagap” dalam menjawab pertanyaan. Terlebih, seringkali pertanyaan yang diajukan adalah pertanyaan yang terkait pandangan calon tentang kebijakan-kebijakan MA sehingga jawaban yang diberikanpun terlihat tidak mencerminkan pandangan yang sesungguhnya dari para calon.

C. Deskripsi Umum Atas Jawaban Para Calon: Masih Standar dan Tidak Ada Yang Menonjol

Selama proses seleksi wawancara, tidak secara jelas fokus pertanyaan diajukan kepada para calon dan ini merupakan kritik terbesar selama proses wawancara ini. Cukup sulit untuk mengklasifikasikan pertanyaan-pertantayaan yang diajukan selama proses wawancara. Hal ini diakibatkan, sebagaimana disebutkan diatas, pertanyaan yang diajukan sangat luas dan selama proses wawancara juga diakukan pertanyaan-pertanyaan untuk mengkonfirmasi karya ilmiah para calon dan hasil investigasi mengenai data para calon.

Namun demikian, klasifikasi ini coba dilakukan bersadaskan atas beberapa aspek, yakni integritas calon, pemahaman dan pandangan calon tentang pemberantasan korupsi, pengetahuan calon tentang hak asasi manusia, pengetahuan dan pemahaman calon tentang aspek hukum umum, peraturan perUUan dan hukum acara, dan juga pandangan calon tentang reformasi hukum dan reformasi di Mahkamah Agung (MA). Berikut adalah deskripsi atas pandangan para calon selama proses wawancara:

1. Aspek integritas dan profesionalitas para calon

Para calon hakim agung yang diwawancarai mayoritas menjawab pertanyaan dengan jawaban yang ideal tentang integritas hakim. Aspek-aspek ini menyangkut aspek kebersihan para calon berdasarkan track record-nya dimasa lalu, kemandirian hakim, dan aspek pribadi para calon.

Dalam aspek integritas para calon ini, penting untuk menguji tentang latar belakang para calon khususnya beberapa aktivitas calon ketika menjalankan profesinya. Terdapat calon-calon yang tidak jelas terklarifikasi tentang data-data calon terkait dengan aktivitas calon pada masa lalu. Para calon ini, misalnya terhadap calon Resa Bayun Sarosa yang pernah menangani kasus di MA yang penuh dengan kejanggalan , calon Khalilurrahman yang terkait dengan isu iuran mobil selama menjabat dan gelar tidak sah , dan calon Satri Rusad terkait dengan kejujuran dalam membuat karya ilmiah dan sejumlah kasus yang pernah ditanganinya pada masa lalu. Demikian pula, calon Akmad Ubbe yang menggunakan mobil dinas dari BPHN meskipun telah berpindah ke Dephukham. Para calon yang diklarifikasi tentang aktivitasnya dimasa lalu memang memberikan klarifikasi namun tidak cukup meyakinkan.

Dalam hal kemandirian hakim, hampir semua calon menyatakan bahwa hakim harus mandiri dan terlepas dari segala bentuk tekanan. Para calon sebagian besar juga menyatakan bahwa hakim dalam memutus perkara harus berdasarkan pada hati nurani. Para calon juga berkomitmen untuk terus menegakkan kemandirian meskipun ada resiko atas pilihan sikap yang mandiri tersebut. Tampak bahwa sebagian besar calon mempunyai komitmen untuk menghasilkan putusan yang sesuai dengan hati nurani, profesionalitas, dan moralitas. Calon Mukhtar Zamzami secara tegas menyatakan bahwa untuk menjaga integritasnya dari segala bentuk intervensi bertekad untuk tidak melakukan kontak dengan pihak yang berperkara.

Pandangan para calon tentang hadiah, yang hal ini bisa dikaitkan dalam perspektif calon terkait integritasnya, mempunyai pandangan yang cukup beragam. Secara umum tidak sepakat adanya hadiah jika dikaitkan dengan perkara yang ditangani, dan dapat bertoleransi dengan hadiah yang tidak ada sangkut pautnya dengan perkara. Terdapat juga beberapa calon yang sepakat agar toleransi terhadap segala bentuk hadiah dilhilangkan.



2. Aspek pandangan calon hakim tentang pemberantasan korupsi dan Hak Asasi Manusia

Menilai pandangan calon tentang korupsi dan hak asasi manusia cukup sulit mengingat selama proses wawancara, pertanyaan terkait dengan isu koruspi tidak cukup banyak dilakukan. Demikian pula mengenai hak asasi manusia yang ditanyakan sebagai implikasi atas adanya korupsi dan illegal logging. Hal ini tampaknya akibat dari kewajiban untuk membuat karya ilmiah yang terkait dengan hal tersebut.

Paradigma calon tentang korupsi dikaitkan dengan regulasi tentang hadiah yang dikeluarkan oleh MA dan sikap para calon tentang hadiah tersebut. Para calon pada umumnya menjawab secara ideal dan hampir kesemuanya calon yang ditanyai menyatakan bahwa hadiah seharusnya ditolak jika ada keterkaitan dengan perkara.

Tidak ada suatu rumusan atau pandangan calon yang cukup kuat mengindikasikan tentang pemberantasan korupsi. Beberapa calon memang menyatakan bahwa para koruptor perlu dihukum berat atau ditingkatkan hukumannya. Bahkan ada calon yang menyatakan setuju dengan hukuman mati bagi para koruptor.

Terkait dengan pemahaman tentang korupsi itu sendiri, beberapa calon menyatakan bahwa korupsi sangat berbahaya dan menghisap kesejahteraan rakyat disamping merugikan ekonomi dan keuangan negara. Sementara putusan yang membebaskan para koruptor adalah putusan yang tidak responsif terhadap penderitaan rakyat.

Isu pemberantasan korupsi juga dikaitkan dengan keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Beberapa calon mendapat pertanyaan mengenai latarbelakang lahirnya KPK dan dalam hal apa KPK dapat mengambil alih suatu perkara korupsi. Meskipun tidak banyak yang mengetahu detail mengenai tugas dan kewenangan dari KPK namun secara umum calon hakim agung setuju terhadap keberadaan lembaga anti korupsi tersebut.

Berkaitan dengan korupsi di peradilan (judicial corruption) atau praktek mafia peradilan tidak semua calon hakim agung memiliki pengetahuan yang memuaskan. Meskipun sudah dinilai sebagai realitas yang sering terjadi dan dapat ditemui disemua tahapan peradilan namun terdapat calon yang tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan judicial corruption.
Mengenai hak asasi manusia, rata-rata calon hakim agung tidak cukup menguasai tentang hak asasi manusia. Kelemahan pengetahuan tentang Hak Asasi Manusia ini diperparah dengan ketidaktahuan para calon tentang intrumen hukum HAM, termasuk konvenan dan konvensi internasional yang telah diratifikasi.

Meski pertanyaan tentang HAM ini bukan pertanyaan yang selalu ditanyakan kepada para calon, disamping memang pertanyaan tentang HAM tidak spesifik, rata-rata para calon tidak mampu menjelaskan secara mendalam tentang aspek HAM ini. Tidak ada niliai lebih dari para calon tentang aspek hak asasi manusia, bahkan terdapat para calon yang seringkali keliru menjelaskan tentang hak asasi manusia, misalnya pengertian tentang pelanggaran HAM yang berat.

3. Aspek Pengetahuan tentang pengetahuan hukum umum, asas-asas hukum, perundang-undangan termasuk hukum acara

Aspek pengetahuan tentang hukum secara umum, teknis yuridis termasuk pengetahuan tentang perundang-undangan dan hukum acara dari para calon tidak cukup memuaskan. Terlebih jika dikaitkan bahwa calon hakim agung nantinya seyogyanya diharapkan tahu akan segala permasalahan hukum untuk mencapai standar bahwa hakim seharusnya tahu akan hukum (ius curia novit).

Bahwa terdapat perbedaan yang cukup menonjol terkait dengan pemahaman para calon tentang aspek hukum acara. Para hakim dari karier terlihat cukup menguasai tentang teknis yuridis dan pengetahuan tentang hukum acara. Sementara para calon non karier masih jauh dari pemahaman tentang teknis yuridis, khususnya hukum acara. Terlihat hanya calon Robert Sahala Gultom adalah calon dari non karier yang mempunyai cukup kemampuan tentang teknis yuridis dan hukum acara yang memadai. Kelemahan pengetahuan tentang hukum acara dari calon non karier ini semakin dipertegas ketika salah satu calon yaitu, Prof. Sudjito justru menolak menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar hukum acara dan perundang-undangan dengan menyatakan menolak menjawab pertanyaan yang legalistik. Sementara calon dari hakim karier Satri Rusad mengaku tidak cukup memahami tentang hukum pidana karena sejak tahun 1982 ditugaskan menjadi panitera pengganti di MA dan kemudian berkonsentrasi pada hukum Tata Negara.

Pengetahuan tentang perundang-undangan para calon juga tidak ada yang menonjol, khususnya terhadap UU yang relatif baru misalnya UU Korupsi, UU kepailitan, UU Pencucian Uang dan UU HAM, dan lainnya. Bahkan terdapat calon yang lupa atau tidak mengetahui tentang UU MA dan UU Kekuasaan kehakiman. Meski demikian, harus juga dikatakan bahwa latar belakang para calon mempengaruhi pengetahuan tentang perundang-undangan ini, sesuai dengan lingkup pekerjaannya selama ini. Para calon hakim karier misalnya cukup memahami bidangnya masing-masing, misalnya calon Mukhtar Zamzami yang cukup fasih tentang peradilan agama dan segala peraturannya dan calon Suparno yang cukup kenal dengan hukum ekonomi saat ini. Sementara calon hakim non karier juga demikian, cukup bisa menjawab pertanyaan tentang perundang-undangan yang terkait dengan latar belakang keilmuannya, diantaranya adalah Achmad Ubbe yang cukup mengetahui tentang hukum adat dan calon Sutjito yang mengetahui tentang hukum agraria. Sementara calon dari non karier lainnya tidak mempunyai pemahamanan yang menonjol, diantaranya calon Resa Bayun Saroso dan calon Mulyoto yang ternyata tidak cukup punya pengetahuan tentang aspek hukum khususnya dalam bidang yang digelutinya.

Aspek lain yang juga disampaikan oleh para calon adalah mengenai asas-asas hukum umum maupun teori hukum. Para calon dengan latar belakang akademisi cukup mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dengan teori hukum. Dr. Anang Husni adalah salah satu calon yang menonjol dalam memahami tentang teori hukum ditengah kelemahannya tentang pengetahuan peraturan perundang-undangan dan hukum acara. Demikian pula dengan calon Sudjito yang lebih menyukai menjawab pertanyaan tentang teori hukum daripada menjawab pertanyaan tentang teknis yuridis.

4. Aspek pandangan para calon tentang reformasi peradilan dan MA

Salah satu aspek penting yang selalu ditanyakan selama proses wawancara adalah pemahanan dan pandangan para calon tentang reformasi peradilan dan permasalahannya, termasuk solusi yang ditawarkan oleh para calon. Banyaknya pertanyaan tentang reformasi peradilan pada umumnya dan MA khususnya tampaknya ditujukan untuk menjadikan para hakim sebagai ujung tombak dalam reformasi peradilan dan MA.

Dalam aspek ini, para calon mempunyai pandangan yang cukup berbeda-beda. Perbedaaan pandangan para calon ini tidak terlepas dari latar belakang para calon. Para calon yang hakim karier sebagian besar menyatakan bahwa persoalan tunggakan perkara di MA menjadi persoalan besar saat ini, hal ini terlihat dari pandangan calon Abdul Wahid Oscar , Robert Sahala Gultom dan Suparno. aspek lainnya dalam reformasi peradilan adalah terkait dengan pengembalian supremasi hukum, pencapaian putusan yang berkeadilan yang sampai saat ini belum tercapai, dan perombakan sifat dapat dari aparat penegak hukumnya sendiri, dan transparansi peradilan khususnya terhadap akses kepada putusan yang dihasilkan.

Solusi yang ditawarkan para calon juga sangat beragam, pada satu sisi terdapat calon-calon dengan solusi yang cukup konkrit terkait dengan permasalahan dalam peradilan dan MA, dan disisi lain banyak juga calon yang memberikan solusi yang masih dalam tataran konsep besar. Calon hakim yang mempunyai jawaban cukup konkrit adalah calon Suparno, Wahid Oscar, Zaharuddin Utama dan Satri Rusad yang melihat bahwa untuk menyelesaikan tunggakan perkara perlu ada pembatasan dan percepatan penyelesaian perkara, perlunya keterbukaan putusan dan bisa diakses publik dan juga transparansi putusan. Tampak usulan para calon yang “agak” konkrit ini muncul dari calon dari hakim karier.

Para calon dari hakim non karier lebih banyak menyoroti aspek besar refomasi peradilan diantaranya keinginan untuk mencapai adanya keputusan yang berkeadilan yang disampaikan oleh Achmad Ubbe dan Mahdi Soroinda Nasution , gagasan reformasi yang secara total baik aspek subtansi, struktur, kultur dan juga paradigma nya yang disampaikan oleh Anang Husni dan Sutjito. Calon Robert Sahala Gultom juga secara tegas menyatakan bahwa perlu ada perombakan sikap dari aparat penegak hukum dan perlunya peradigma baru dalam penanganan kasus.

Khusus terhadap calon Resa Bayun Sarosa dan Mulyoto yang tidak mempunyai konsep khusus tentang reformasi peradilan dan MA.

D. Menilai Intergritas dan Kualitas Para Calon : Pilihan Yang Sulit

Dalam menilai integritas dan kualitas para calon selama proses wawancara secara komprehensif cukup sulit mengingat bahwa tidak ada kesamaan mengenai pertanyaan yang diajukan, meskipun pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat diklasifikasikan dalam beberapa isu-isu penting. Berdasarkan isu-isu penting tersebut, jawaban para calon akan menjadi landasan dalam penilaian terhadap para calon.

Penilaian dilakukan dengan menklasikasikan dalam tiga kategori yakni calon dalam kategori baik, sedang/rata-rata dan kurang baik dari aspek integritas dan kualitasnya. Kategori baik adalah para calon yang mempunyai integritas yang baik terkait dengan aktivitas calon pada masa lalu yang tidak banyak bermasalah, pandangan calon tentang profesi hakim dan kemampuan calon dalam memahami hukum dan reformasi peradilan. Kategori cukup mengacu pada integritas calon yang biasa-biasa saja terkait aktivitas calon yang tidak luar biasa dan kemampuan hukum yang rata-rata. Sementara kategori kurang adalah para calon yang memiliki sejumlah permasalah terkait dengan aktivitas calon dalam mejalankan profesinya dimasa lalu dan pemahaman hukum, teknis yuridis dan pandangan tentang reformasi peradilan yang lemah.

Para calon dalam kategori baik adalah calon Muhktar Zamzami dan Robert Sahala Gultom. Kedua calon ini mempunyai pengetahuan teknis hukum, perundang-undangan dan penguasaan hukum yang cukup baik. Selain itu, kedua calon ini juga terlihat mempunyai integritas untuk menunjukkan kemandirian hakim, bertekat untuk tidak terpengaruh dalam segala bentuk intervensi. Posisi kedua individu ini dimana satu dari hakim karier dan non karier terlihat tidak cukup mempunyai kedekatan dengan Mahkamah Agung sehingga bisa diharapkan untuk dapat mereformasi MA.

Dalam kategori sedang atau rata-rata, terdapat 10 orang calon. 4 (empat ) calon pertama dalam kategori cukup adalah Abdul Wahid Oskar, I Ketut Suradnya , Mahdi Soroinda Nasution dan Suparno. keempat calon ini adalah dari hakim karier, dimana salah satunya yakni Abdul Wahid Oskar mencalonkan diri tanpa melalui MA. Keempatnya mempunyai pengetahuan hukum acara yang cukup, namun sebagai catatan terhadap keempat calon ini adalah kesemuanya hakim karier sehingga besar kemungkinan juga akan tersangkut dengan kasus-kasus yang ditanganinya pada masa lalu. Para calon ini juga mempunyai kelemahan namun tidak begitu mendasar, misalnya calon Abdul Wahid Oskar yang ternyata lupa dalam menjawab tentang UU MA dan UU Kekuasaan keahakiman. Calon lain yakni Soeparno, karena lama di MA terkesan mempunyai pembelaan terhadap institusi MA dengan menyatakan bahwa MA telah melakukan serangkaian program untuk refomasi, dan ini sejalan dengan visinya untuk memperbaiki mekanisme percepatan penyelesaian perkara di MA dengan membatasi putusan yang masuk ke MA.

Para calon dalam kategori cukup lainnya adalah 6 (enam) orang calon yang sedikit dibawah 4 (empat) calon pertama, namun dapat dimasukkan dalam kategori cukup/rata-rata dengan beberapa catatan. Para calon ini adalah dari hakim karier yaitu Bukaidi Zulkifli , Zaharuddin Utama, dan Mohammad Saleh dan calon dari non karier adalah Anang Husni, Achmad Ubbe dan Sudjito. Pada calon dari hakim karier ini memang mempunyai pengetahuan tentang hukum acara namun tidak cukup meyakinkan, dan dari calon non karier sangat lemah pengetahuannya dalam peraturan perundang-undangan dan hukum acara, namun mempunyai cukup pengetahuan dalam bidang hukum umum karena latar belakang mereka yang peneliti dan akademisi. Calon Anang Husni misalnya, cukup baik dalam menjawab tentang teori hukum dan pemahaman hukum dalam tataran teoritis, demikian pula dengan calon Sudjito yang terlihat cukup menguasai bidang pertananya dan filsafat hukum. Catatan terhadap calon Sudjito adalah penolakan calon ini atas pertanyaan teknis hukum dan perundang-undangan dengan alasan yang tidak cukup kuat. Sementara calon Akmad Ubbe hanya memahami aspek hukum adat yang memang selama ini menjadi lingkup penelitiaannya, namun pengetahuan calon ini sangat minim dalam hukum acara.

Kategori kurang terdapat dalam 4 orang calon yakni khalilurrahman, Satri Rusad, Mulyoto dan Resa Bayun Saroso. Para calon ini tidak cukup memadai dalam pengetahuan hukum dan terindikasi bermasalah dengan integritasnya. Selain itu, juga ada beban dengan benyaknya komplain atas aktivitas para calon dalam kategori ini pada masa lalu yang tidak mampu menjawab secara memuaskan. Para calon yang kurang pemahamannya tentang aspek hukum dan tidak cukup mempunyai pengetahuan dalam bidangnya masing-masing. Khalilurrahman yang merupakan calon dari hakim karir tidak cukup memahami hukum acara, demikian juga dengan Mulyoto, yang meskipun seorang notaris tidak mampu menjawab pertanyaan dengan memuaskan tentang aspek pertanahan dan hukum acara. Sementara calon Satri Rusad dan Resa Bayun Sarosa, disamping tidak mempunyai kemampuan tentang hukum pada umumnya, tidak mengetahui hukum acara dan perundang-undangan juga terkait dengan sejumlah kasus yang ditanganinya pada masa lalu. Calon Satri Rusad misalnya, tidak cukup memahami tentang hukum acara dan peraturan perundang-undangan kontemporer, selain terkait dengan banyaknya kasus dalam posisi nya sebagai panitera dan hakim dimasa lalu. Hal ini juga dialami calon Resa Bayun Sarosa, yang terindikasi melakukan praktek kepengacaraan yang menimbulkan tanda tanya dan tidak tidak cukup baik diklarifikasi, dan yang lebih menguatkan, calon ini tidak direkomendasikan untuk dipilih adalah kemampuan hukum, pengetahuan UU adan hukum acara yang jauh dari memadai. Kedua calon ini juga dalam jawabannya kemungkinan besar tidak akan cukup berani dalam memerangi mafia peradilan dan reformasi di MA

E. Kesimpulan dan Rekomendasi

Berdasarkan pada uraian diatas, terdapat dua kesimpulan pokok yakni:

1. Proses seleksi wawacara yang dilakukan oleh KY terkesan tidak mempunyai fokus untuk menilai integritas dan kualitas para calon. Hal ini terlihat dari pertanyaan yang diajuka tidak cukup mempunyai konsistensi antara satu calon dengan calon yang lainnya. Pada satu sisi, metoda ini akan menunjukkan kemampuan para calon mengenai segala aspek hukum, namun disisi lain tidak bisa secara komprehesif menggali potensi para calon khususnya yang mempunyai spesifikasi atau keahlian khusus.
2. Para calon hakim agung secara umum tidak cukup menguasai regulasi, khususnya mengenai peraturan perundang-undangan yang baru dan aspek hukum acaranya. Sementara faktor integritas para calon tidak menggambarkan suatu pemahaman yang nyata, karena para calon menjawab dalam tataran ideal, sementara kasus-kasus yang diklarifikasikan kepada para calon tidak terelaborasi dengan cukup. Hal ini terlihat dari 16 calon, hanya 2 calon yang masuk dalam kategori baik, sementara lainnya sedang dan kurang.

Rekomendasi terhadap kesimpulan diatas, dikaitkan dengan proses seleksi hakim agung adalah :

1. Kedepan KY harus mempunyai suatu standar yang sama dalam melakukan proses seleksi wawancara terkait dengan klasifkasi yang diharapkan. KY perlu mengembangkan instrumen uji kelaikan yang valid, mudah diukur dan dimengerti untuk menjamin obyektivitas.
2. KY dalam memilih calon hakim agung untuk diserahkan ke DPR harus mengedepankan kualitas para calon daripada sekedar memenuhi kuota sebagaimana dimaksud dalam UU. Hal ini untuk menghindari para calon yang tidak layak menjadi hakim agung karena proses fit and proper test di DPR.
3. Dalam hal KY memilih untuk tidak meloloskan calon hakim sesuai dengan permintaan DPR karena pertimbangan kualitas, maka perlu segera dijalin komunikasi antara KY dan DPR untuk mencari solusi atas permasalahan yang muncul


Download laporan lengkap versi pdf klik di sini

Entry by : farm 22/Jun/2007