Korupsi? Ambil Tindakan!
⊆ 16.26 by makalah hukum | Pemberantasan Korupsi .Saat menyampaikan keterangan tentang Rancangan Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara tahun 1999/ 2000 di depan Sidang Paripurna DPR RI, Presiden B.J. Habibie menggarisbawahi upaya pemerintah untuk melakukan efisiensi besar-besaran, serta menutup lubang-lubang kebocoran dana.
Selain itu, Presiden Habibie juga menegaskan tekad Pemerintah untuk menyelesaikan pemeriksaan terhadap mantan presiden Soeharto sebelum berlangsungnya pemilihan umum pada bulan Juni mendatang.
Ini merupakan semangat yang wajar di tengah-tengah lumpuhnya roda perekonomian Indonesia menyusul goncangan moneter di Thailand yang mendevaluasikan mata uang baht-nya merambat ke negara-negara tetangga. Akibat gurita korupsi, kolusi dan nepotisme yang selama ini mencengkram hampir seluruh sendi kehidupan, Indonesia gagal untuk segera bangkit mengatasi krisis moneter ini.
Pada masa-masa Indonesia menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi, angka kebocoran anggaran negara dapat mencapai sekitar 35 persen, sebagaimana yang pernah disinyalir Prof. Dr. Soemitro Joyohadikusumo, begawan ekonomi Indonesia. Namun sinyalemen seperti ini selalu ditolak pemerintah dengan menyodorkan angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi, surplus yang dinikmati dari ekspor barang (meski dari sektor jasa masih defisit), keuntungan dari perdagangan berbagai bahan tambang, sampai ekstensifikasi maupun intensifikasi pajak. Apalagi secara fisik, gemerlapnya perkotaan, infrastruktur yang lengkap, hilir mudiknya mobil mewah, hingga ramainya pusat-pusat perbelanjaan, memberi kesan yang positif tentang membaiknya kesejahteraan bangsa Indonesia.
Kepalsuan itulah yang terkuak manakala badai moneter terus mengamuk menjadi badai ekonomi yang lebih besar, dan berujung pada badai politik yang mengguncang seluruh tatanan kehidupan masyarakat Indonesia.
Dari segi ekonomi, trilyunan rupiah uang yang mengalir masuk ke kantung para koruptor mengakibatkan alokasi hasil pembangunan bagi masyarakat di berbagai daerah tidak terbagi rata, dan menimbulkan kesenjangan yang menggumpal menjadi bom sosial yang setiap saat siap meledak.
Secara politis, praktek KKN ini meruntuhkan wibawa pemerintah di mata rakyat. Berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah dibuat seolah-olah untuk dilanggar, karena berbagai kesepakatan di bawah tangan, baik dengan pendekatan uang atau kekuasaan, memungkinkan pelanggaran atas produk-produk hukum ini.
Demikian saling terkaitnya praktek KKN yang terjadi selama ini sehingga banyak kalangan pesimis bahwa pemeriksaan terhadap mantan Presiden Soeharto bisa diselesaikan sebelum pemilihan umum bulan Juni mendatang. Berkaca pada pengalaman pemerintah Filipina saat mengadili mantan presiden mendiang Ferdinand Marcos yang memakan waktu lebih dari 12 tahun, Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional Dr. Amien Rais, misalnya, tidak yakin tekad Presiden Habibie ini akan tercapai dalam kurun waktu hanya empat bulan.
Namun, berapapun jangka waktu yang dibutuhkan, pengadilan terhadap para pejabat, pengusaha, serta siapapun yang menyalahgunakan uang rakyat untuk kepentingannya pribadi, harus tetap dilakukan dengan tegas dan konsisten, sebagai pelajaran agar penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme tidak berulang lagi pada Indonesia Baru yang kini sedang dibangun bersama.
Selain itu, pemerintah, bersama-sama komponen masyarakat lainnya tidak bisa lagi mengulur-ulur waktu untuk menerapkan strategi menyeluruh guna memberantas korupsi. Berbagai lembaga, maupun perorangan, baik di tingkat internasional maupu nasional telah menelurkan banyak konsep, strategi, program, hingga berbagai teknik untuk mencegah, mendeteksi dan menemukan kebocoran dana, di berbagai sektor, baik pada pemerintahan maupun swasta, pada berbagai tingkatan.
Namun, semua itu hanya bisa bekerja jika ada kemauan bulat untuk membentuk pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Tidak heran, saat ditanya tentang bagaimana caranya korupsi di Indonesia dapat dikikis habis, ahli sosiologi terkemuka Prof. Dr. Selo Soemardjan hanya menjawab pendek, "Ambil tindakan!"