.

k

Good Governance di Indonesia masih utopia

⊆ 13.27 by makalah hukum | .

Dr. Sjahrir:
Good Governance di Indonesia masih utopia
Tinjauan Kritis Good Governance

Pengelolaan yang baik (good governance) setidak-tidaknya harus memiliki tiga faktor yang mesti ditangani secara baik. Faktor tersebut adalah faktor dukungan politik, kualitas administrasi pemerintahan dan kapasitas membuat, menerapkan serta mengevaluasi kebijaksanaan-kebijaksanaan khususnya di bidang ekonomi. Bagi saya, siapapun yang memerintah, termasuk pemerintahan yang memiliki legitimasi, tidak bisa melaksanakan good governance bila ketiga elemen tadi tidak mampu dikendalikan atau dikelola.

Bayangkan saja jika pemerintahan memiliki dukungan politik yang kuat tetapi ternyata tidak berdaya dalam membuat kebijaksanaan yang mampu menghidupkan ekonomi, maka lama-kelamaan dukungan itu pasti akan merosot bahkan bisa hilang. Begitu juga dengan pemerintahan itu telah memiliki kebijaksanaan yang baik dan dukungan politik yang kuat, tetapi administrasi pemerintahannya mengalami masalah-masalah yang serius, bahkan sampai menimbulkan situasi disfungsional, maka niscaya pemerintahan itu pun akan mengalami persoalan yang tidak kecil, bahkan sukses di depan mata sekalipun akan bisa lenyap begitu saja.

Lebih dari 30 tahun kita mengalami pemerintahan yang otoritarian dan bahkan pada mulanya mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun sekarang kita semua berada dalam situasi krisis ekonomi yang tak kunjung selesai. Karena itu pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid kini berada dalam kondisi yang unik. Di satu pihak pemerintahan ini memiliki dukungan politik yang kuat sekali, tetapi krisis ekonomi ini akan menyebabkan pemerintahan ini berada dalam kondisi yang cukup rawan. Kenapa? Karena betapapun kuatnya legitimasi pemerintahan ini, namun bila ekonomi tidak membaik, bahkan cenderung memburuk, maka lama-kelamaan suasana bulan madu yang ada sekarang dapat lenyap dan ketegangan baru antara negara dengan masyarakat bisa terjadi setiap saat.

Sementara itu, khusus untuk kasus Indonesia, saya ingin menyebutkan satu faktor yang maha penting, yaitu level atau tingkat korupsi, dimana Indonesia dalam ukuran manapun selalu memasuki ranking puncak. Dalam laporan World Economic Forum yang berjudul The Global Competitiveness Report 1999 kondisi Indonesia termasuk yang terburuk di antara 59 negara yang diteliti.

Mengenai kesehatan bank, misalnya. Sebagai institusi yang teramat penting di Indonesia, perbankan di Indonesia menduduki peringkat nomer 59 dari 59 negara. Begitu juga mengnai lembaga-lembaga atau institusi-institusi yang diperlukan di dalam perekonomian, Indonesia mendapatkan peringkat ke 55 dari 59 negara. Ini terutama terjadi karena korupsi (Indonesia mendapatkan ranking 58 dari 59 negara yang tingkat korupsinya tertinggi, dan khusus bagi korupsi pembayaran, Indonesia ada pada peringkat 59).

Karena itu pembicaraan tentang good governance harus merujuk kepada faktor yang yang terpenting yaitu mengatasi kasus korupsi, kolusi dan nepotisme. Bisa saja pemerintahan kita mendapatkan legitimasi dari masyarakat luas, namun toh kenyataannya kita tidak mampu memberantas KKN. Sementara masyarakat luas pun mungkin sekali belum menyadari betapa dalamnya mereka sendiri sudah dimasuki oleh KKN.

Saya mencermati tulisan Kwik Kian Gie yang mengatakan betapa kita telah begitu terlibat dalam KKN dan seluruh bangsa kita harus mengobati diri dari penyakit tersebut. Pernyataan tersebut menjadi lebih menarik, jika saya bertanya sekarang bagaimana pandangan Menko Ekuin Kwik Kian Gie dalam melihat KKN seperti sekarang ini. Saya kira tidak akan bisa KKN diberantas tanpa ada tindakan yang tegas.

Baru setelah tindakan tegas ini berhasil mengurangi ranking Indonesia dari negara yang paling top di bidang korupsi menjadi negara pada level ditengah-tengah saja, kita dapat menelaah faktor-faktor dukungan politik, kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintahan yang dibuat, serta administrasi pemerintahan dengan lebih jelas. Tanpa pemberantasan KKN, maka semua pembicaraan tentang good governance apakah itu tinjauan praktis, teoritis, religius, ataupun pandangan pengusaha, tidaklah ada artinya.

Begitupun saya mencoba melihat faktor-faktor yang dianggap penting untuk berlangsungnya good governance. Pertama-tama adalah dukungan politik. Kita harus melihat dukungan politik bukanlah terjadi secara statis, tetapi berlangsung secara dinamis. Contoh yang paling konkrit adalah peristiwa Watergate yang menimpa mantan Presiden Gerald Nixon dari Amerika Serikat. Dia memperoleh kemenangan besar dari pemilihan umum tahun 1972. Tetapi peristiwa Watergate yang berawal dari perbuatan kriminal kelas teri yang dilakukan oleh bawahan-bawahannya akhirnya menjerembabkan posisi Nixon, bahkan ia harus turun secara tidak hormat.

Jadi, dengan perkataan lain, kita bisa memiliki pemerintahan yang absah tetapi begitu terjadi masalah-masalah yang bersifat pelanggaran, maka bukan tidak mungkin kita akan bisa menyaksikan proses delegitimasi yang berlangsung amat cepat. Intinya adalah Indonesia, yang dalam proses demokratisasi berada dalam tingkat yang paling awal (Infant Democracy), amat mudah untuk berubah atau terhenti karena faktor-faktor politik.

Dalam proses itu, pemerintahan yang absah di Indonesia mempunyai kekuasaan yang jauh lebih terbatas dibandingkan dengan pemerintahan yang absah di negara-negara demokrasi lainnya yang telah berlangsung selama berabad-abad seperti di AS, Eropa Barat dan juga Jepang. Sementara itu banyak faktor yang dapat merusak dukungan politik terkadang berada di luar jangkauan pemerintahan yang bersangkutan. Potensi disinntegrasi, peranan tentara yang disorot, merupakan faktor-faktor yang terkadang di luar kemampuan pemerintahan untuk dapat menanganinya dengan lebih baik.

Hal kedua adalah yang menyangkut administrasi pemerintahan bernegara. Dihapusnya beberapa departemen dan juga berlakunya UU Otonomi daerah yang belum disertai oleh peraturan pemerintahan pelaksanaan UU itu, menghasilkan kondisi transisi yang cukup mencemaskan bilamana tidak diatasi oleh langkah-langkah berencana, terfokus, diimplementasikan dengan baik. Sampai sekarang setelah pemerintahan berlangsung sekitar satu bulan, nasib berbagai instansi masih tetap kabur. Apa yang akan terjadi terhadap Bappenas, TVRI dan juga RRI, berbagai kantor wilayah dari departemen-departemen dan peran Bupati terhadap Gubernur yang kini berubah sesuai dengan UU Otonomi daerah, semuanya belum tampak mengarah kepada perubahan yang seyogyanya terjadi.

Hal ini semua akan menimbulkan berbagai macam persoalan bilamana kita melaksanakan APBN dan APBD dalam waktu dekat ini. Kita akan melihat berbagai masalah yang menyangkut fungsi alokasi, distribusi dan stabilitas anggaran yang betul-betul tidak diketahui pengelolaannya bakal terbawa ke arah mana. Dengan demikian, maka kebijaksanaan-kebijaksanaan yang akan diambil pun akan sulit untuk diperkirakan tingkat keberhasilannya pada level implementasi. Arus aliran dana (cash flow) dari pemerintahan ini akan berlangsung dengan lambat, dan bilamana hal ini berlangsung, maka akibatnya pada ekonomi makro dan mikro bisa amat memprihatinkan. Disinilah peran Menteri Penertiban Aparatur Negara menjadi penting artinya. Padahal wewenangnya amat sulit dipahami mengingat tidak jelasnya kait-mengkait dan interaksi diantara para menteri yang masing-masing pun mengalami masalah reformasi dan restrukturisasi bidang kegiatan mereka.

Hal yang ketiga atau yang terakhir adalah menyangkut proses pembuatan kebijaksanaan ekonomi. Tampaknya merupakan hal yang juga belum memungkinkan kita untuk mengantisipasi bagaimana arahnya kebijaksanaan itu berperan kepada kondisi ekonomi dan sosial politik. Di sini aspek-aspek dari kebijaksanaan anggaran, moneter, reformasi dan juga restrukturisasi perbankan, reformasi BUMN, dan berbagai macam kebijakan perdagangan dalam dan luar negeri semuanya masih merupakan hutan belantara. Barangkali satu-satunya pegangan yang ada adalah Letter of Intent pemerintah kepada IMF yang kabarnya sedang digodok itu. Disini pua kita dapat melihat bahwa kordinasi kebijaksanaan belum menunjukkan tanda-tanda yang dapat memberikan harapan yang konkrit.

Jadi, dengan uraian seperti diatas, maka jelas kiranya bahwa pembentukan suatu good governance pada pemerintahan Indonesia masih merupakan utopia.