.

k

RUU PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

⊆ 13.47 by makalah hukum | .

PERKEMBANGAN ADVOKASI
RUU PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG (PTPPO)

Oleh: Ratna Batara Munti
(Kord. Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3))

Mengadvokasi RUU PTPPO agar sensitif gender dan pro pada kepentingan perempuan korban merupakan agenda perjuangan dari Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3). RUU PTPPO merupakan salah satu RUU yang saat ini di bahas di DPR –sebagai program legislasi nasional— yang menjadi fokus perhatian JKP3 disamping RUU Kesehatan dan RUU KUHP. Sedangkan 2 RUU lainnya lainnya yang juga diadvokasi JKP3 dan telah menjadi UU pada tahun ini adalah UU Kewarganegaraan dan UU Perlindungan Saksi dan Korban.

Pada tanggal 11 Oktober 2006, Pansus RUU PTPPO bersama dengan pihak pemerintah telah membuka pembahasan awal di sidang pleno, dimana setiap fraksi menyampaikan pandangan umumnya. Dalam kesempatan yang sama, pemerintah juga menyampaikan Daftar Inventaris Masalah (DIM) atau tanggapan dan usulan substansi maupun redaksi pasal-pasal yang dianggap masih perlu di bahas bersama. Pembahasan esoknya dilanjutkan dalam sidang Panja (panitia kerja) untuk membahas DIM yang belum disepakati. Karena pihak pemerintah tidak semuanya bisa hadir, pembahasan kemudian di skors dan di tunda untuk di lanjutkan kembali setelah libur lebaran.

Merespon pembahasan RUU PTPPO, sejak awal JKP3 telah melakukan konsinyering dan workshop beberapa kali untuk menghasilkan catatan kritis dan usulan revisi pasal atau DIM versi JKP3. Catatan dan masukan telah disampaikan dalam forum hearing atau Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di DPR maupun ketika pleno berlangsung, serta di kesempatan pertemuan tidak resmi, baik kepada anggota Pansus maupun pihak eksekutif. Lobby yang terus dilakukan oleh JKP3 telah berhasil mendorong Pansus melakukan perbaikan Draft RUU (versi kedua) menjadi jauh lebih baik dari draft sebelumnya (versi pertama). Meski demikian, JKP3 mencatat beberapa hal yang perlu ada perbaikan untuk kemudian di kemas dalam bentuk usulan DIM maupun selebaran berisi pokok-pokok penting perbaikan.

Secara keseluruhan RUU PTPPO yang terdiri dari 9 bab dan 59 pasal ini telah cukup komprehensif. Karena tidak hanya mengatur aspek materil saja, tetapi juga formil. Seperti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan (bab III), perlindungan saksi dan korban (bab IV), hak-hak korban (bab V). Selain itu juga mengatur upaya pencegahan (bab VI), hingga kerjasama internasional dan peran serta masyarakat (bab VII). RUU juga telah menyasar tidak hanya pelaku individu dan kelompok tetapi juga memberi hukuman bagi aparat penyelenggara serta pemberatan terhadap pelaku yang terorganisir (mafia) serta korporasi, dan sanksi-sanksi tambahan di luar pidana penjara dan denda. Yakni, pidana tambahan bagi aparat penyelenggara negara berupa pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya (pasal 9). Dan bagi korporasi, berupa pencabutan izin usaha, perampasan kekayaan hasil tindak pidana, pembatalan kontrak-kontrak kerja dengan Pemerintah, pemecatan pengurus, dan/atau pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama (pasal 15). Selain itu juga tidak hanya kepada korporasinya, tetapi juga terhadap pengurusnya dapat dilakukan penuntutan.
RUU juga menyasar pada faktor demand dengan memberi pidana bagi “Setiap orang yang menggunakan, memanfaatkan, dan/atau menikmati hasil tindak pidana perdagangan orang dengan cara: melakukan tindak pidana persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan orang yang diperdagangkan; memperkerjakan orang yang diperdagangkan untuk meneruskan praktik eksploitasi terhadap orang tersebut; dan/atau mengambil keuntungan dari hasil perdagangan orang...” (Pasal 12). Selama ini budaya di masyarakat cendrung hanya menekankan faktor supply dengan memberi stigma pada korban sehingga rentan ditempatkan sebagai pelaku. Terobosan penting lainnya adalah dari definisi perdagangan orang yang telah merujuk pada Protokol Palermo (lihat paparan di bawah).
Kemajuan penting dalam RUU ini kiranya sejalan dengan pertimbangan pokok mengapa RUU ini harus ada. Seperti yang dicantumkan di dalam konsideran “menimbang”, yaitu menegaskan bahwa “perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar Hak Asasi Manusia, sehingga harus diberantas perlindungan”, dan “bahwa keinginan untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagangan orang didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional, dan internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku dan perlindungan korban...”. Pertimbangan dalam konsideran RUU ini telah menunjukkan adanya kemauan politik pemerintah yang positif untuk memberantas perdagangan orang dan memberikan perlindungan khususnya terhadap perempuan dan anak sebagai kelompok terbesar yang menjadi korban perdagangan orang.

Defenisi anak dan kesaksian korban

Meski demikian, dari kemajuan positif dalam draft terakhir ini ternyata masih terdapat rumusan-rumusan yang masih harus disempurnakan disana sini dan harus disinkronkan dengan undang-undang yang sudah ada seperti UU Perlindungan Anak (UU PA), UU Penghapusan KDRT (UU PKDRT) dan UU Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK). Dalam mendefenisikan ‘anak’ misalnya, RUU PTPPO belum merujuk pada defenisi anak di dalam UU Perlindungan Anak maupun Konvensi PBB tentang Hak Anak (KHA), yang jauh lebih maju. RUU masih mendefinisikan anak sebagai “seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum kawin/nikah”. Padahal status perkawinan harusnya tidak dijadikan eksepsi atau pengecualian. Dalam realitasnya, status ini yang cendrung digunakan untuk mendiskualifikasi anak-anak yang karena situasi (sosial dan budaya/tradisi) ‘terpaksa’ masuk dalam dunia perkawinan guna mendapatkan perlindungan yang maksimal sebagai anak. Bila merujuk pada UU PA dan KHA, maka seseorang yang belum berumur 18 tahun terlepas dari satus perkawinan mereka tetap adalah anak.
Selain soal anak, RUU ini juga belum memasukkan terobosan mengenai soal pembuktian seperti dalam UU PKDRT, yakni “keterangan seorang saksi korban sudah cukup sebagai satu alat bukti yang sah”. Dengan adanya terobosan hukum ini, maka ketentuan harus dua orang saksi dalam KUHAP menjadi tidak harus berlaku. Terobosan ini juga penting diberlakukan dalam kasus perdagangan orang, di mana seringkali hanya korbanlah yang bisa menjadi saksi dari kasus kejahatan tersebut.

Defenisi perdagangan orang dan defenisi-defenisi lainnya

Kemajuan yang sangat berarti dari RUU adalah diakomodirnya definisi trafiking yang merujuk pada Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, especially Women and Children, Supplement to the United Nations Convention against Transnational Organized Crime (Protokol untuk Mencegah, Memberantas dan Menghukum Perdagangan Orang terutama Perempuan dan Anak, serta Tambahan Konvensi PBB tentang Kejahatan Terorganisir Antar Negara/Protokol Palermo) yang telah ditandatangani pemerintah RI tahun 2000. Dalam Bab Ketentuan Umum Pasal 1, disebutkan: “Perdagangan orang adalah proses perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.” Selain itu, prinsip dalam Protokol Palermo yang termasuk dalam definisi trafiking, yakni prinsip bahwa “persetujuan korban perdagangan orang tidak relevan” telah diakomodir di dalam pasal 24 RUU PTPPO ini, meski tidak langsung menjadi bagian dari defenisi.

Meskipun defenisi sudah jauh lebih baik, JKP3 tetap mengusulkan penyempurnaan dengan memasukkan realitas konteks di Indonesia, di mana bujuk rayu dan kebohongan merupakan cara yang paling sering digunakan pelaku trafiking. Juga prinsip tidak relevannya persetujuan korban, tetap harus masuk ke dalam rumusan definisi mengingat pentingnya prinsip ini menjadi bagian yang integral dalam definisi. Sehingga usulan JKP3 sebagai berikut: “Perdagangan orang adalah proses perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan dengan atau tanpa persetujuan korban atau mereka yang memegang kendali atas diri korban, atau dengan persetujuan dari mereka yang diperoleh melalui kebohongan, kecurangan, bujuk rayu, ancaman, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”

Begitupun dalam definisi tentang korban, RUU belum memasukkan pengalaman eksploitasi seksual dan dampaknya secara seksual yang dialami oleh korban. Juga dalam definisi eksploitasi belum mencakup “eksploitasi organ reproduksi, pemanfaatan untuk pengedaran narkoba dan pengiriman pengantin pesanan”. Definisi eksploitasi seksual dalam RUU masih terbatas pada “pemanfaatan organ tubuh seksual” (fisikal). Sehingga mengenyampingkan bentuk-bentuk eksploitasi seksual non fisik. Selain itu RUU juga belum mendefinisikan jeratan hutang, penampungan, pemesanan, pengangkutan, pemindahan, penerimaan. Sementara unsur-unsur yang lain dijelaskan sehingga RUU belum konsisten. Dalam DIM JKP3 semua unsur-unsur trafiking dicoba dijelaskan. (Untuk detil usulan masing-masing definisi, lihat DIM JKP3).

Adopsi anak dan situasi korban sebagai ‘pelaku’

Mengenai adopsi anak, RUU masih fokus pada adopsi yang melawan hukum/illegal (pasal 6). Sesuai dengan definisi perdagangan orang, maka harusnya RUU juga mencakup/ mempidanakan adopsi yang legal apabila tindakan tersebut dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan atau untuk tujuan eksploitasi dan atau mengakibatkan anak tereksploitasi.

Selain itu, JKP3 juga menegaskan pentingnya diakomodir situasi kelompok yang rentan terjebak sebagai pelaku (seperti orang tua korban atau korban sendiri) yang tidak menyadari dan/atau tidak mempunyai pilihan akan tindakannya. Karena itu, dalam DIMnya, JKP3 mengusulkan dalam ketentuan pemidanaan sebagai berikut, bahwa “Tidak dipidana orang tua, wali, dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang yang melakukan tindak pidana pada undang-undang ini, jika dilakukan di bawah tekanan fisik, mental dan/atau dilakukan tanpa maksud atau pengetahuan akan akibat tindakannya” ; “Orang tua, wali dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang yang dengan sengaja melakukan tindak pidana perdagangan orang karena tekanan ekonomi, dipidana dengan pengurangan 1/3 dari pidana pokok”. Dalam penjelasan, ditekankan bahwa yang dimaksud “tekanan ekonomi” adalah tekanan secara ekonomi yang mengancam hak hidup, bukan berkaitan dengan gaya hidup konsumerisme. Tambahan ketentuan ini diusulkan, mengingat fakta menunjukkan orang tua, wali atau korban rentan menjadi “pelaku’ sementara mereka sebenarnya korban dari kondisi kemiskinan struktural. Kondisi ini membuat mereka tidak dapat disamakan pemidanaannya dengan pelaku sesungguhnya yaitu yang terorganisir serta menjadikan hal tersebut sebagai mata pencaharian untuk keuntungan/akumulasi modal.

Hak-hak korban dan kewajiban pemerintah

Dalam bab mengenai hak-hak korban, RUU mengatur pemberian hak-hak korban, yakni hak korban dan ahli waris untuk memperoleh restitusi (pasal 40); rehabilitasi kesehatan, sosial dan atau reintegrasi sosial (pasal 43); memperoleh perlindungan dari perwakilan RI di luar negeri apabila korban berada di luar negeri maupun bagi korban WNA yang berada di dalam negeri berhak memperoleh perlindungan (Pasal 46). Selain itu, dalam pasal 45 ditegaskan bila korban akibat tindak pidana perdagangan orang mengalami trauma atau penyakit yang membahayakan dirinya, sehingga memerlukan pertolongan segera, maka Pemerintah dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari memberikan dana sebagai bantuan sementara untuk memulihkan kesehatan korban.

JKP3 menganggap hak-hak korban di atas perlu lebih diperluas, tidak hanya restitusi (ganti rugi dari pelaku), tetapi juga dalam bentuk kompensasi (dari negara), khususnya bila restitusi gagal diperoleh korban karena berbagai sebab, salah satunya faktor kemiskinan dari pelaku. Adapun hak-hak korban yang diusulkan sebagai berikut:
(1) akses dan bantuan dari kedutaan atau konsulat dan atau perwakilan diplomatik;
(2) bantuan medis, konseling dan bantuan hukum serta layanan lain yang diperlukan;
(3) pengajuan proses hukum baik pidana maupun perdata terhadap pelaku;
(4) akses terhadap kompensasi, restitusi dan rehabilitasi;
(5) mendapatkan informasi mengenai hak-haknya secara hukum dan sosial serta prosedur untuk mengklaim atau mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi;
(6) kerahasiaan identitas dan atau perubahan identitas jika di butuhkan korban dalam rangka melindungi korban dari tindakan diskriminasi dan stigma dalam masyarakat sehingga korban dapat menjalani kehidupannya secara layak;
(7) jaminan untuk tidak ditangkap, ditahan, dipenjara dan atau dituntut sebelum, selama dan sesudah proses hukum, terkait dengan tindak pidana yang dilakukan dalam situasinya sebagai korban, termasuk dan tidak terbatas dalam tindakan pelacuran, kesusilaan, pornografi, peredaran narkoba, dan dalam hal korban tidak memiliki dokumen yang sah, atau dokumen masih dalam proses permohonan dan atau dalam penggunaan dokumen palsu.

Selanjutnya, untukkewajiban pemerintah, dalam RUU tercantum pada bab hak-hak korban dan masalah pencegahan. Antara lain, RUU ini menegaskan kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak korban atas restitusi, rehabilitasi, integrasi sosial dan memberikan dana bantuan sementara untuk pemulihan kesehatan, memberikan perlindungan serta mengusahakan kepulangan bagi korban WNI yang berada di luar negeri maupun korban WNA. Selain itu pemerintah juga diwajibkan membentuk rumah perlindungan sosial bagi korban serta gugus tugas untuk pemberantasan trafiking yang diketuai oleh seorang mentri melalui Peraturan Presiden.

JKP3 memberi masukan dengan memperluas peran pemerintah, terutama yang terkait dengan hak-hak korban, di mana Pemerintah di semua tingkatan wajib memperlakukan korban sesuai dengan standar hak-hak asasi manusia yang mencakup tapi tidak terbatas pada:
1. Menjamin akses korban untuk memperoleh semua bentuk layanan dan bantuan mencakup medis, konseling, hukum dan layanan lain yang diperlukan
2. Memberikan perlindungan dan mekanisme yang diperlukan untuk memperoleh perlindungan bagi korban maupun keluarga dan atau orang dekat korban, sebelum, selama dan sesudah proses hukum dari segala bentuk intimidasi, ancaman pembalasan dari pelaku dan jaringannya dan atau orang yang memiliki kewenangan terhadap mereka.
3. Memastikan proses peradilan tidak merugikan dan bias terhadap hak korban, serta konsisten terhadap upaya perlindungan fisik dan mental korban. Secara minimum pemerintah harus memastikan:
~ Beban pembuktian sebelum dan selama proses peradilan pada terdakwa, dan bukan pada korban,
~ Jaksa penuntut umum setidaknya menyediakan satu orang ahli yang dapat menjelaskan penyebab konsekuensi dan akibat tindak pidana perdagangan orang terhadap korban, atau berkonsultasi dengan ahli-ahli dalam persiapan proses peradilan.
~ Metode investigasi pemeriksaan, pengumpulan dan analisa terhadap alat bukti harus meminimalkan sikap-sikap yang merendahkan korban atau merefleksikan tindakan yang bias gender.
~ Tidak relevan mengajukan bukti berupa sejarah masa lalu korban, khususnya riwayat seksual dan atau riwayat lain seperti prostitusi atau pekerja domestik.
~ Korban memperoleh informasi mengenai peranan, ruang lingkup, jangka waktu, dan kemajuan proses hukum serta proses pengalihan kasus mereka.
4. Menjamin kerahasiaan dan atau perubahan identitas korban jika diperlukan.
5. Menjamin terpenuhinya hak korban atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi serta informasi mengenai prosedur untuk mengklaim atau mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi serta informasi lainnya.
6. Membentuk satuan polisi dan jaksa penuntut umum yang terlatih, memahami isu gender serta memiliki sensitifitas korban yang diperlukan dalam penanganan kasus perdagangan orang
7. Mengambil semua langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin akses keadilan bagi korban terlepas dari status keimigrasian dan atau legalitas dari kerja yang mereka lakukan.
8. Jaminan akses dan bantuan dari kedutaan atau konsulat dan atau perwakilan diplomatik
9. Dalam hal tersangka atau terdakwa memiliki kekebalan diplomatik, pemerintah dengan itikad baik wajib mengupayakan langkah-langkah untuk menembus kekebalan tersebut dan atau mengeluarkan diplomat tersebut dari wilayah RI dengan tetap menjamin pemenuhan keadilan bagi korban melalui mekanisme hukum yang bisa disediakan.

Demikianlah hal-hal penting dari perkembangan advokasi RUU PTPPO maupun substansi kritisi RUU yang di lakukan oleh JKP3. Secara keseluruhan RUU versi kedua DPR ini sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, meski beberapa hal perlu lebih disempurnakan lagi. Sehingga, diharapkan kelak menjadi UU yang bisa efektif di lapangan dan terutama menjadi terobosan dalam sistem hukum di Indonesia, dan khusunya memberi jalan bagi korban guna memperoleh akses keadilan yang diharapkan.

Medan, 2 November 2006