.

k

®Reformasi-Pengelolaan-Lingkungan-Hidup

⊆ 16.57 by makalah hukum | .

Pendahuluan

Gerakan mahasiswa dengan dukungan pergerakan rakyat yang massif di kota dan di kampung telah berhasil meruntuhkan rezim otoritarian Orde Baru yang menandai terciptanya sebuah era baru, Era Reformasi. Namun demikian, reformasi yang awalnya disambut oleh ledakan antusiasme dan aspirasi rakyat untuk kehidupan yang lebih demokratis dan berkeadilan, kini mulai kehilangan ruhnya.

Memang terjadi berbagai perubahan yang positif menyangkut hak-hak sipil-politik, seperti kebebasan pers, kebebasan pendirian partai-partai politik, reformasi dalam sistem pemilu, antara lain sistem pemilihan presiden langsung. Namun demikian, berbagai perubahan ini hanya mencerminkan pergeseran kepentingan dan sirkulasi di tingkat elit kekuasaan, dengan mengabaikan aspek akuntabilitas dan representasi kepentingan publik. Ini tercermin dari kegagagalan reformasi mewujudkan janjinya untuk memperbaiki pemenuhan keadilan dan hak-hak dasar rakyat di bidang ekonomi dan sosial.

Momen reformasi dan transisi demokrasi telah dibajak oleh kepentingan elit-elit politik yang tak kalah korupnya dengan elit-elit politik rezim Orde Baru dan memperhamba diri kepada kuasa modal. Elit-elit politik Orde Baru yang bergincu reformis dan elit-elit politik reformis gadungan, senyatanya semakin dalam mengakumulasi pengerukan kekayaan alam, penghancuran lingkungan hidup, pengisapan tenaga-tenaga rakyat, dan menyuburkan kekerasan. Proses-proses penghancuran sumber-sumber kehidupan rakyat ini telah mengakibatkan terjadinya krisis yang tidak terpulihkan.

Krisis politik terjadi karena wakil-wakil rakyat di DPR dan DPRD serta pemerintahan tak lagi memegang kekuasaan nyata pada masyarakat kapitalistik saat ini. Banyak keputusan politik, ekonomi, dan sosial yang mempengaruhi hajat hidup rakyat banyak ditentukan di ruang-ruang petinggi IMF, Bank Dunia, perusahaan-perusahaan multinasional, dan Kartel Negara-negara Kreditor CGI yang jauh dari realitas rakyat.

Krisis ekonomi semakin tak terpulihkan karena semua kekayaan negara dikuasai oleh segelintir elit politik dan modal. Kuasa-kuasa modal internasional telah menekan elit pemerintahan supaya memperoleh kemudahan-kemudahan akses dan penguasaan sumber-sumber kehidupan rakyat, aset negara (perusahaan-perusahaan milik negara), keringanan pajak, dan lain-lain. Perekonomian nasional telah tunduk dan takluk pada sistem kapitalisme global. Paling tidak dalam 4 bulan terakhir, telah disahkan beberapa perundangan-undangan yang memberi akses seluas-luasnya bagi kepentingan modal dalam dan luar negeri atas sumber-sumber kehidupan rakyat, sebagaimana tergambar dalam UU Sumberdaya Air, UU Perkebunan, dan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang perubahan Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Krisis sosial budaya terjadi karena proyek-proyek pembangunan dan perluasan investasi telah meluluhlantakkan basis sosial dan kebudayaan rakyat di seluruh penjuru Nusantara. Konflik sosial antara rakyat dan negara, rakyat dan pemodal, juga antara rakyat dan rakyat semakin marak dan kompleks serta tak terselesaikan. Konflik-konflik sosial meningkat dengan dukungan kekuatan militeristik dari pihak yang lebih berkuasa dan kuat. Ambruknya sistem kebudayaan rakyat menjadikan rakyat tak mampu melakukan reproduksi sosial bagi keberlanjutan kehidupan generasi mendatang.

Krisis ekologi terjadi karena negara, pemodal, dan sistem pengetahuan 'modern' telah mereduksi alam menjadi onggokan komoditi yang bisa direkayasa dan dieksploitasi untuk memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek. Ekspansi sistem monokultur, eksploitasi hutan, industri keruk kekayaan tambang telah mengganggu dan menghancurkan fungsi-fungsi ekologi dan keseimbangan alam. Privatisasi kekayaan alam hanya diperuntukkan semata-mata tujuan komersial, bahkan dengan alasan konservasi sekalipun telah menjauhkan akses dan kontrol rakyat pada sumber-sumber kehidupan (agraria-sumber daya alam). Pada gilirannya, berbagai bencana lingkungan, seperti kebakaran hutan dan lahan, banjir, kekeringan, pencemaran, dan krisis air telah menjadi bencana yang harus diderita oleh rakyat dari tahun ke tahun.

Menurut catatan Bakornas sejak tahun 1998 (setahun setelah jatuhnya Soeharto hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia dengan korban sekitar 2000 orang. Di mana 85% dari bencana tersebut, merupakan bencana banjir dan longsor. Hal ini menunjukkan bahwa bencana terbesar yang terjadi justru bencana yang bisa diatasi, diantisipasi kejadian dan resikonya. Bencana banjir dan tanah longsor adalah bencana yang terjadi bukan hanya karena faktor alamiah alam, namun lebih dikarenakan campur tangan manusia terhadap penghancuran lingkungan hidup. Sebagian besar adalah "bencana buatan" yang terencana secara sistematis akibat lemahnya tanggung jawab otoritas negara, buruknya kebijakan, dan tidak konsistennya penegakan hukum. Sumber daya alam kita yang terkuras habis secara serakah hanya dinikmati oleh segelintir orang, tetapi harus dibayar mahal oleh sebagian besar manusia yang lain.

Kemiskinan adalah Titik Temu Ketiadaan Kedaulatan dan Keadilan

Krisis politik, krisis ekonomi, krisis sosial budaya, dan krisis ekologi ini, mencerminkan terjadinya defisit nilai kedaulatan serta keadilan (intra dan antar-generasi) yang kemudian bertemu dalam defisit kesejahteraan. Defisit kedaulatan ini nampak dalam fenomena semakin hilangnya hak menentukan nasib sendiri, baik di tataran negara bangsa maupun di tataran satuan-satuan politik yang lebih kecil. Yang terkecil di antaranya adalah dalam tataran desa, bahkan keluarga. Sedangkan defisit keadilan adalah narasi tentang ketimpangan distribusi manfaat dari tanah, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, baik intra maupun trans-generasi. Kemiskinan kemudian menjadi indikator terjadinya defisit kedaulatan dan keadilan. Kemiskinan ini terjadi akibat merosotnya tingkat kesejahteraan rakyat serta ketahanan dan keberlanjutan kehidupan rakyat. Sehingga kemiskinan kemudian dapat didefinisikan sebagai hilangnya potensi ketahanan dan keberlanjutan fisik serta potensi ketahanan dan keberlanjutan sosial atau keduanya dapat disatukan sebagai hilangnya potensi ketahanan dan keberlanjutan lingkungan hidup.

UU 23/1997 mendefinisikan lingkungan hidup sebagai kesatuan ruang dengan segala benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Sehingga, secara eksplisit, dapat dinyatakan bahwa tingkat kelangsungan perikehidupan dan kesejahteran manusia ditentukan oleh kualitas lingkungan hidup.

Dengan demikian, dalam pengertian lingkungan hidup tercakup pula apa yang didefinisikan sebagai sumberdaya alam: “Sumber daya alam adalah semua benda, daya, keadaan, fungsi alam, dan makhluk hidup, yang merupakan hasil proses alamiah, baik hayati maupun non-hayati, terbarukan maupun tidak terbarukan.” (menurut naskah akademis RUU PSDA versi 19 Nov 2002) serta Agraria yang didefinisikan sebagai seluruh bumi, air, ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (menurut UU No.5 Tahun 1960).

Defisit kedaulatan dan keadilan yang bermuara pada kemiskinan rakyat merupakan hasil pergeseran relasi antara negara, modal, dan rakyat. Di satu sisi, posisi rakyat semakin terpinggirkan, sedangkan posisi modal semakin dominan dengan dukungan negara. Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah negara memberikan akses yang sangat besar kepada modal untuk menguasai sumber-sumber kehidupan; tanah, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya melalui kebijakan deregulasi, liberalisasi, dan privatisai. Hak Menguasai Negara kemudian dimanipulasi untuk sebesar-besarnya akumulasi modal, bukan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Manipulasi ini dimungkinkan karena masih kuatnya karakter yang sentralistik dalam perundang-undangan yang mengaturnya.

Reformasi Pengelolaan Lingkungan Hidup

Telah disebutkan pada bagian kedua bahwa kemiskinan dapat didefinisikan sebagai hilangnya potensi ketahanan dan keberlanjutan ekologi serta potensi ketahanan dan keberlanjutan sosial. Adapun ketahanan dan keberlanjutan ekologi mengacu kepada ketersediaan daya dukung tanah, air, udara, dan keanekaragaman kehidupan dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Sedangkan, ketahanan sosial mengacu kepada daya dukung kelembagaan sosial, baik pada aspek politik, ekonomi, dan budaya. Sehingga reformasi pengelolaan lingkungan hidup harus mengacu kepada upaya penguatan ketahanan dan keberlanjutan ekologi dan sosial ini.


Ada empat prasyarat untuk mewujudkan hal tersebut, yakni:

Mengembalikan Mandat Negara Sebagai Benteng Hak Asasi Manusia dengan Peran-peran Proteksi, Prevensi, dan Promosi

Pembukaan UUD 1945 menegaskan bahwa Negara Republik Indonesia didirikan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahtaraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa negara, seperti tercantum dalam pembukaan UUD 1945 merupakan benteng Hak Asasi Manusia dengan peran-peran Proteksi-Prevensi dan Promosi. Demikian pula di tingkat internasional, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), di mana Indonesia menjadi salah satu anggotanya, didirikan untuk menciptakan dunia yang adil dan damai dengan cara memajukan hak asasi manusia. Konsekuensi logis dari peran Indonesia sebagai anggota PBB serta amanat UUD 1945 untuk ikut dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial harus segera meratifikasi konvensi internasional di bidang hak asasi manusia, yakni hak sipil politik (hak asasi manusia generasi pertama) dan konvensi hak ekonomi-sosial-budaya (hak asasi manusia generasi kedua).

Selain itu, kini telah berkembang hak asasi manusia generasi ketiga walaupun belum mencapai tingkat kematangan untuk dituangkan dalam konvensi PBB tentang hak asasi manusia. Hak generasi ketiga ini mencakup hak atas pembangunan, hak atas perdamaian, dan hak atas lingkungan hidup. Untuk itu, pemerintah Indonesia harus terlibat dalam upaya-upaya di tingkat internasional untuk mendewasakan hak asasi manusia generasi ketiga ini. Khususnya, di bidang lingkungan hidup. Sejak tahun 1972, telah dilakukan beberapa konferensi PBB dalam bidang lingkungan hidup. Berbagai deklarasi atau piagam bumi yang telah disepakati, serta berbagai konvensi internasional di bidang lingkungan hidup haruslah menjadi instrumen hukum normatif bagi Indonesia pula untuk menegakkan hak asasi manusia, khususnya hak atas lingkungan hidup.

Secara khusus, di dalam UUD 45 yang menyangkut langsung hak atas lingkungan hidup terdapat di dalam Pasal 28 G ayat 1: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan." Kemudian dalam Pasal 33 ayat 2: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara,” pada ayat 3: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” serta ayat 4: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Dalam bagian sebelumnya, kami paparkan bahwa reformasi pengelolaan lingkungan hidup harus mengacu kepada upaya penguatan ketahanan dan keberlanjutan fisik dan sosial. Jadi, selain berkaitan dengan ketahanan dan keberlanjutan fisik, reformasi lingkungan hidup mencakup pula upaya-upaya untuk memajukan ketahanan dan keberlanjutan sosial. Artinya, menyangkut pula pemajuan hak-hak asasi yang menyangkut bidang politik, ekonomi, dan budaya. Sehingga pemajuan terhadap hak-hak atas lingkungan hidup mencakup pula prasyarat pemenuhan hak-hak politik, ekonomi, dan budaya. Dengan demikian, hak atas lingkungan hidup menegaskan pentingnya memandang upaya-upaya pemajuan hak asasi manusia sebagai upaya-upaya yang sistematis, integral, dan komprehensif. Jadi, hak-hak sipil-politik, hak-hak ekonomi-sosial-budaya, serta hak-hak generasi ketiga tidak bisa dilihat sebagai hirarki, yang satu lebih penting dari yang lain.

Penataan Ulang Relasi antara Negara, Modal, dan Rakyat

Dengan menempatkan negara sebagai benteng Hak Asasi Manusia, maka dalam penataan ulang relasi negara, modal, dan rakyat, terutama dalam lapangan perekonomian, rakyat harus ditempatkan sebagai kepentingan yang utama. Sedangkan, negara sepenuhnya berperan sebagai instrumen kepengurusan dan penyelenggara kebijakan yang ditujukan untuk melindungi dan memajukan hak asasi manusia. Pengertian tentang hak menguasai negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang serta atas bumi, air, dan kekayaan alam untuk sepenuh-penuhnya kemakmuran rakyat, memiliki legitimasi apabila ditundukkan kepada kepentingan hak asasi warganya. Sehingga kepentingan rakyat atau hak asasi rakyat, terutama dalam hal akses terhadap bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dijadikan sebagai sarana utama dan tujuan akhir dari hak menguasai negara. Dengan demikian, maka peran modal bersifat sekunder dan komplementer, bukan substitusi pengelolaan oleh rakyat.

Ini bertentangan dengan kenyataan yang berlangsung selama ini bahwa dengan alasan hak menguasai negara, pemerintah dengan sewenang-wenang meniadakan hak rakyat atas bumi, air, dan kekayaan alam tersebut dengan memberikan konsesi yang seluas-luasnya kepada kepentingan modal. Jelas, dengan mengabaikan hak-hak rakyat dalam penguasaan dan pengelolaan bumi, air, dan kekayaan alam, maka sebenarnya hak menguasai negara kemudian tidak akan dapat memenuhi tujuan akhirnya, yakni sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pertama, untuk mendekatkan kepentingan negara dengan kepentingan rakyat yang beragam dan spesifik menurut karakteristik politik, ekonomi, sosial, budaya, serta kondisi alamnya, maka hak menguasai negara harus didesentralisasikan ke tingkat kesatuan politik yang lebih kecil, baik itu propinsi, kabupaten atau kotamadya bahkan hingga tingkat desa.

Kedua, hak menguasai negara harus pula dikontrol, baik oleh wakil-wakil rakyat di parlemen maupun melalui mekanisme-mekanisme demokrasi langsung. Demokrasi langsung dapat dilakukan melalui penyerapan aspirasi yang disampaikan melalui berbagai sarana demokrasi yang dimungkinkan (selain melalui parlemen), juga melalui mekanisme persetujuan rakyat secara langsung atau hak veto atas proyek-proyek pembangunan dan ekonomi lainnya. Demokrasi langsung menjadi penting karena wakil-wakil rakyat atau partai-partai politik saat ini masih diragukan dalam hal akuntabiltias dan representasinya.

Penyelesaian Konflik Agraria-Sumberdaya Alam

Seperti telah disampaikan di atas, reformasi pengelolaan lingkungan hidup harus mengacu kepada upaya penguatan ketahanan dan keberlanjutan ekologi dan sosial, di antaranya melalui reformasi kebijakan yang berkaitan dengan perundangan-undangan dan reformasi kelembagaan. Namun demikian, proses ini sama sekali tidak boleh mengabaikan fakta bahwa selama ini ada hak-hak rakyat yang telah dilanggar serta konflik-konflik yang sangat intens dan meluas di bidang Agraria dan Sumberdaya Alam atau Lingkungan Hidup yang harus segera diselesaikan. Harus ada pemulihan terhadap hak-hak rakyat, serta penyelesaian konflik-konflik yang potensial menjadi ‘bom waktu’ bagi keberlanjutan ekologi dan sosial. Selain itu, hanya melalui penyelesaikan konflik sebagai upaya menyeimbangkan neraca kedaulatan dan keadilan ini, negara akan memperoleh legitimasi dan dukungan untuk melakukan pembaharuan pengelolaan lingkungan hidup.

Adapun reformasi ini akan mencakup reformasi di bidang perundang-undangan dan reformasi kelembagaan negara.

Penyelesaian Persoalan Utang Luar Negeri, Mengembangkan Kemandirian, dan Basis Perekonomian Rakyat

Saat ini, beban utang luar negeri atau ketergantungan terhadap utang luar negeri telah memasuki stadium kritis, karena telah menyebabkan defisit kedaulatan. Utang luar negeri telah dijadikan alat oleh negara-negara kreditor dan lembaga-lembaga keuangan internasional, untuk mendiktekan kebijakan-kebijakan di bidang perekonomian yang menguntungkan perusahaan-perusahaan transnasional. Melalui tema-tema deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi, negara memberikan atau dipaksa memberikan akses yang sangat besar kepada kepentingan modal internasional untuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Tidak saja akses rakyat yang semakin marginal, tetapi juga pemerintah ditekan untuk menurunkan standar keamanan dan regulasi lingkungan hidup.

Untuk itu, pemerintah harus segera melepaskan ketergantungan terhadap utang luar negeri dan mengutamakan penyiapan prasarana bagi potensi wirausahawan (entreprenuer) lokal dan potensi ekonomi rakyat. Pertama, pemerintah harus berani menuntut pihak-pihak kreditor untuk menghapuskan utang-utang lama yang dikorupsi oleh rezim Orde Baru serta proyek utang luar negeri yang telah merampas hak-hak rakyat dan menghancurkan lingkungan hidup. Rakyat Indonesia dan pemerintah berhak menolak pembayaran utang luar negeri yang sama sekali tidak memberikan manfaat kepada rakyat, atau dinikmati oleh kontraktor-kontraktor, konsultan, para pemasok dari negara kreditor sebagai syarat pencairan utang untuk pembangunan proyek-proyek utang.

Secara moral, penghapusan utang luar negeri adalah tindakan yang dapat dibenarkan. Bahkan, kini telah muncul wacana tentang utang sosial-ekologis negara-negara maju terhadap negara-negara di dunia ketiga. Tesisnya adalah bahwa kemakmuran dan gaya hidup konsumen di negara-negara maju, diperoleh melalui eksploitasi terhadap kekayaan alam di dunia ketiga yang dihisap sejak jaman kolonialisme hingga hari ini. Tesis kedua, kemakmuran dan gaya hidup konsumen di dunia maju harus dibayar dengan kerusakan lingkungan yang harus ditanggungkan kepada rakyat di dunia ketiga. Di antaranya pemanasan global, penipisan lapisan ozon, yang kontributor utamanya adalah konsumsi di negara maju.

Pembaharuan di bidang Kelembagaan

Kelembagaan pemerintah pengelola lingkungan hidup yang ada saat ini tidak mampu berfungsi secara efektif karena sifat kewenangan yang terbatas mengoordinasikan kebijakan sektor dalam bidang lingkungan hidup di tingkat nasional. Dalam penentuan kebijakan, kepentingan lingkungan hidup selalu dimarjinalkan di bawah kepentingan sektor yang berorientasi eksploitasi dan skala besar. Selain itu, kepengurusan lembaga lingkungan hidup yang sentralistis, menambah kompleksitas penanganan masalah penurunan kualitas lingkungan di berbagai daerah. Kementerian Negara Lingkungan Hidup tidak memiliki fungsi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kebijakan dalam rangka menjamin daya dukung lingkungan, menjamin keadilan dan keberlanjutan lingkungan bagi generasi sekarang dan mendatang.

Selain itu, efektifitas kelembagaan pengelolaan sumber daya alam didukung oleh keberadaan peran masyarakat. Peran masyarakat adalah bersumber dari tiga hak dasar masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu hak masyarakat untuk mengakses informasi (public right to access information), hak masyarakat untuk berpartisipasi (public right to participate), dan hak masyarakat untuk mendapatkan keadilan (public right to justice). Dalam Konteks pengelolaan sumber daya alam, ketiga hak dasar masyarakat tersebut mutlak harus dijamin pelaksanaannya.

Dengan demikian, dalam hal penataan kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup, reformasi kelembagaan yang harus dilakukan:

  1. Kelembagaan yang terkait dengan kebijakan makro pengelolaan lingkungan hidup harus diletakkan dalam satu portofolio koordinasi di tingkat nasional. Lingkungan hidup harus dijadikan landasan bagi penyangga dan penjamin keberlanjutan kehidupan Indonesia di masa mendatang dan tidak lagi sebagai penyangga ekonomi.
  2. Menetapkan kelembagaan yang memiliki fungsi perlindungan dan konservasi lingkungan, yang kewenangannya meliputi perencanaan, penetapan baku mutu dan standar pengelolaan lingkungan, mitigasi dampak penurunan kualitas lingkungan, dan rehabilitasi akibat pencemaran. Lembaga ini juga harus mengintegrasikan fungsi pengawasan dan penegakan hukum lingkungan dan memiliki kewenangan penundaan ijin operasi sementara, jika diduga terjadi pelanggaran hukum di bidang lingkungan.
  3. Mengintegrasikan kelembagaan yang memiliki fungsi menjamin akses terhadap pemanfaatan lingkungan secara adil dan berkelanjutan. Sebagai konsekuensinya, perlu dilakukan kaji ulang dan perampingan kelembagaan sektoral yang ada saat ini. Idealnya, seluruh kelembagaan sektoral berada pada satu atap dari mulai perijinan, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan. Lembaga ini harus berkoordinasi dan bersinergi secara erat dengan lembaga di poin kedua.

Di tingkat daerah, kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup hendaknya menganut prinsip desentralisasi kewenangan berdasarkan fungsi, yang diharapkan dapat mendekatkan proses pengambilan keputusan dari pengambil keputusan kepada kelompok penerima dampak. Bentuk kelembagaan yang diusulkan adalah pemerintahan rakyat (community governance), di mana kelembagaan ini sifatnya ad-hoc, informal, multistakeholder, pendekatan berdasarkan isu dan kepentingan yang dikelola dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kelembagaan formal pemerintah dalam bidang pengelolaan lingkungan menjadi bagian dari pemerintahan rakyat ini.

Pembaharuan Perundang-undangan

Reformasi perundang-undangan diperlukan karena tidak adanya kesamaan cara pandang terhadap lingkungan hidup sebagai penyangga kehidupan, yang berakar pada persoalan pemahaman yang parsial sehingga menimbulkan pendekatan sektoral dan jangka pendek dalam pengelolaannya.

Dari sisi proses penyusunan perundang-undangan, juga tidak memenuhi prasyarat dan prinsip seperti telah disebutkan di atas. Akhirnya, terjadi ketimpangan antara peraturan yang dibuat, implementasi, dan proses penegakan undang-undang yang bersangkutan. Ada kecenderungan eskalasi kerusakan lingkungan akibat lingkungan tidak dimaknai sebagai satu kesatuan yang utuh. Lingkungan hidup dimaknai sebagai satu obyek statis yang hampa dari interaksi dengan manusia. Hak rakyat atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat serta kewajiban negara untuk menjamin hak konstitusional warga negaranya tidak dapat dijabarkan secara baik keterkaitannya.

Reformasi dalam bidang ini membutuhkan tiga undang-undang ‘payung’ bagi terlaksananya reformasi lingkungan hidup, dalam rangka menjamin pemenuhan kewajiban negara terhadap hak konstitusional warga negaranya.

Pertama, kita memerlukan undang-undang untuk melaksanakan reforma agraria atau land reform. Undang-undang ini mutlak diperlukan untuk menghilangkan dan mengatasi ketimpangan dan ketidakadilan akses, kontrol, dan kepemilikan sumberdaya agraria yang bersifat struktural. Jika reforma pertanahan telah selesai dilaksanakan, maka undang-undang ini dapat dicabut.

Kedua, adalah undang-undang yang mengatur pengelolaan agraria atau sumberdaya alam dengan mengacu kepada asas kehati-kehatian (precautionary principle), keadilan antar dan intragenerasi, kepastian hukum (termasuk kepastian usaha), perlindungan masyarakat adat, keterbukaan, keterpaduan antarsektor, dan keberlanjutan. Selain itu, juga memuat hal-hal yang berkenaan dengan aspek-aspek demokrasi pengelolaan Sumber daya alam yang tercermin dalam pengaturan tentang hak dan peran serta masyarakat yang lebih hakiki (genuine) dan terinci dengan menjabarkan prinsip akses informasi, partisipasi publik, dan akses keadilan; kemudian bagaimana pengakuan dan perlindungan secara utuh hak-hak tradisional, wilayah ulayat, hukum adat, dan sistem nilai masyarakat adat dalam pengelolaan SDA. Selain itu, pula diatur bagaimana pengawasan dan akuntabilitas publik, serta transparansi dan keterbukaan manajemen pengelolaan SDA.

Ketiga, undang-undang yang memiliki wewenang untuk perlindungan lingkungan dan sumber-sumber kehidupan rakyat. Undang-undang ini mengatur upaya pencegahan kerusakan, penanganan kerusakan, penegakan hukum/sanksi dan upaya rehabilitasi atau pemulihan lingkungan.

Adapun pengaturan sektoral tetap diperlukan mengingat karakteristik khusus yang dimiliki oleh masing-masing sektor. Namun demikian, pengaturan tersebut harus mengacu pada ketiga rambu peraturan perundangan tersebut. Hal ini untuk mencegah tumpang tindih kewenangan, seperti yang ada pada saat ini. Peraturan sektoral hendaknya hanya mengatur urusan teknis pengelolaan sumberdaya yang bersangkutan.

Sumber: Walhi