.

k

Praktik Kompensasi dan Restitusi di Indonesia

⊆ 13.01 by makalah hukum | .

PENGANTAR AWAL
Dalam setiap terjadinya tindak pidana atau pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), korban bisa dipastikan
selalu mengalami kerugian baik materiil maupun immaterial. Dilatarbelakangi hal tersebut, maka Undangundang
No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlidungan Saksi dan Korban (UU PSK) yang diundangkan pada 11
Agustus 2006 juga memberikan perlindungan berupa pemberian ganti rugi yaitu kompensasi dan restitusi.
Kompensasi diberikan oleh negara kepada korban pelanggaran HAM yang berat, sedangkan restitusi
merupakan ganti rugi pada korban tidak pidana yang diberikan oleh pelaku sebagai bentuk
pertanggungjawabannya.
Sebenarnya, sebelum UU PSK diundangkan, sudah ada beberapa peraturan di Indonesia yang mengatur
pemberian kompensasi dan restitusi. Namun, kenyataannya aturan itu tidak implementatif. Pengaturan
pemberian ganti rugi itu misalnya bisa dilihat pada KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), KUHAP
(Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), dan juga UU No 26 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
yang kemudian melahirkan PP No 3 tahun 2002 tentang Pemberian Kompensasi dan Restitusi bagi korban
pelanggaran HAM. Namun berdasarkan catatan, sangat jarang ada korban pidana yang mendapatkan ganti
rugi. Dan untuk kasus HAM, belum pernah ada korban pelanggaran HAM yang mendapat kompensasi.
Meskipun pemberian kompensasi dan restitusi sudah diatur dalam UU PSK, tetapi hak korban tersebut
belum bisa terwujud karena instrumen pendukungnya belum terwujud. Salah satu yang sangat vital adalah
terbentuknya LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) paling lambat 11 Agustus 2007. Lembaga
inilah yang akan memberikan perlindungan bagi saksi dan korban, termasuk dalam proses pemberian
kompensasi dan restitusi. Menurut UU PSK, kompensasi dan restitusi dilakukan setelah ada penetapan dari
pengadilan atas permohonan dari LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).
Seri kertas kerja (Position Paper) Perlindungan Saksi dan Korban mengenai “Praktik Kompensasi dan
Restitusi di Indonesia: Sebuah Kajian Awal” yang disusun oleh Wahyu Wagiman dan Zainal Abidin
berupaya melakukan kajian dan analisa mengenai masalah kompensasi dan restitusi di Indonesia. Kajian
difokuskan pada hal-hal yang berkaitan dengan masalah kompensasi dan restitusi, baik secara teoritis,
yuridis dan praktis. Kajian yang dilakukan juga menganalisa praktik dan pengalaman pengadilan dalam
menerapkan regulasi terkait dengan kompensasi dan restitusi.
Position Paper yang disusun diharapkan untuk menemukan faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan
dalam implementasi kompensasi dan restitusi kepada korban. Selain itu, kajian ini dimaksudkan untuk
memberikan sejumlah rekomendasi untuk mendorong perbaikan regulasi yang akan membuat pemenuhan
kompensasi dan restitusi kepada korban lebih terjamin.
Besar harapan kami bahwa apa yang disampaikan dalam buku ini dapat memberikan wacana bagi publik
mengenai pelaksanaan perlindungan saksi dan korban, terutama terkait dengan pemberian restitusi dan
kompensasi selama ini sekaligus menjadi masukan bagi pemerintah dalam menyusun Peraturan
Pemerintah mengenai Pemberian Kompensasi dan Restitusi.
Pada akhirnya kami memberikan apresiasi yang mendalam kepada Wahyu Wagiman dan Zainal Abidin atas
kesediannya menyumbangkan pikirannya dalam menyusun position paper serta kepada The Asia
Foundation dan Canadian Embassy yang memberikan dukungan atas penerbitan buku ini.
Jakarta, 31 Maret 2007
Indonesia Corruption Watch
6
DAFTAR ISI
Pengantar Awal
Daftar Isi
Bagian I
Pendahuluan
1. Latar Belakang
2. Permasalahan
3. Ruang lingkup dan Tujuan
4. Metode Kajian
5. Sistematika Penulisan
Bagian II
Hak-hak Korban Atas Kompensasi dan Restitusi
1. Pengaturan Tentang Kompensasi dan Restitusi dalam 3 (tiga) regulasi
2. Prosedur Dalam Pemenuhan hak-hak korban
3. Praktik Kompensasi dan Restitusi
a. Pengadilan HAM Timor-Timur
b. Pengadilan HAM Tanjung Priok
c. Pengadilan HAM Abepura
Bagian III
Analisa Pengaturan
Hak Kompensasi dan Restitusi di Indonesia
1. Kesesuaian Hukum Internasional dengan Hukum Nasional
2. Kekeliruan Konsep Yang diadopsi dalam UU No. 13 Tahun 2006
3. Persoalan Prosedur dalam Pemenuhan Hak-hak Korban
a. Putusan Kompensasi dan Restitusi Harus Dalam Amar Putusan
b. Mengenai Orang Yang Berhak Mendapatkan Kompensasi dan Restitusi
c. Jangka Waktu Pengajuan
d. Jumlah Atau Besaran Kompensasi
Bagian IV
Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Kesimpulan
2. Rekomendasi
Daftar Pustaka
LAMPIRAN
• Profil Penulis
• Profil ICW
• Profil Koalisi
7
Bagian I
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Pertengahan 2006, Indonesia memasuki era baru menjanjikan bagi perlindungan dan pemajuan hak asasi
manusia. Hal ini ditandai dengan disahkannya RUU Perlindungan Saksi dan Korban menjadi Undang-
Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). RUU Perlindungan Saksi dan Korban
ini kemudian menjadi UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.1
UU No. 13 Tahun 2006 merupakan regulasi yang sudah lama ditunggu oleh para pencari keadilan. UU ini
diharapkan dapat memecah kebuntuan yang selama ini terjadi dalam perlindungan terhadap saksi dan
korban. Dibentuknya UU Perlindungan Saksi dan Korban dimaksudkan agar setiap orang yang mendengar
sendiri, dan/atau mengalami sendiri suatu perkara pidana merasa aman dari berbagai ancaman saat ia
memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan. UU ini tidak hanya memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban, tetapi juga
terhadap keluarganya yang mendapat ancaman fisik dan psikis dari pihak tertentu.
Selain itu, UU perlindungan saksi dan korban juga memberikan sejumlah hak kepada korban diantaranya
hak mendapatkan bantuan medis dan rehabilitasi psiko sosial.2 Hak lain yang juga dijamin dan diatur dalam
UU ini adalah hak atas kompensasi dan restitusi. Kompensasi diberikan kepada korban pelanggaran HAM
yang berat, sementara restitusi merupakan ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak
pidana. 3
Dengan diundangkannya UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, terbuka kembali
wacana tentang persoalan pemulihan (reparasi) kepada korban, karena sebelum adanya UU No. 13 Tahun
2006, telah ada UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM yang juga mengatur tentang hak
kompensasi dan restitusi kepada korban pelanggaran HAM yang berat.4 Bahkan, pemenuhan hak atas
kompensasi kepada korban pelanggaran HAM yang berat pernah diputuskan dalam Pengadilan HAM.
Namun, sampai saat ini tidak ada satupun korban pelanggaran HAM yang mendapatkan kompensasi
maupun restitusi. Beberapa analisis menyebutkan bahwa terdapat kelemahan dalam pengaturan tentang
hak atas kompensasi dan restitusi ini, baik menyangkut konsepnya maupun prosedurnya5. Dalam
pengalaman pengadilan HAM, menunjukkan bahwa regulasi, termasuk aturan pelaksanaannya, yang
menjadi dasar pemenuhan hak-hak korban justru mempersulit implementasi hak-hak korban pelanggaran
HAM.
Berdasarkan pengalaman pengadilan HAM tersebut, UU No. 13 tahun 2006 yang juga mengatur tentang
kompensasi dan restitusi diharapkan menjadi momentum yang baik untuk memperbaiki kelemahan
mekanisme pemenuhan hak atas kompensasi dan restitusi kepada korban.
Oleh karena itu, penting untuk melakukan kajian yang mendalam tentang konsep kompensasi dan restusi
dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dan praktik-praktik pemenuhan hak atas kompensasi
dan restitusi selama ini.
1 UU ini disyahkan DPR RI pada tanggal 18 Juli 2006 dan diundangkan pada 11 Agutus 2006.
2 Pasal 6 UU No. 13 Tahun 2006.
3 Pasal 7 UU No. 13 Tahun 2006.
4 Pasal 35 UU No. 26 tahun 2000.
5 Lihat Laporan Pemantauan, “Pengadilan Yang Melupakan Korban”, Kelompok Kerja Pemantau Pengadilan HAM,
ELSAM, KontraS dan PBHI, 24 Agustus 2004.
8
2. Permasalahan
Peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah sejak lama mengakui bahwa korban dan atau ahli waris
korban pelanggaran HAM yang berat dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Namun, hak
korban dan atau ahli warisnya tersebut tidak dapat dinikmati dengan serta merta. Ada banyak tahapan yang
harus dilalui sebelum mereka mendapatkan haknya. Mekanisme pengadilan salah satunya. Dalam hal ini
pengadilan “dapat” memberikan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi apabila pelaku dinyatakan bersalah
dan dijatuhi pidana sebagaimana tampak dalam praktik pengadilan di Indonesia. Ketentuan ini tentunya
sangat merugikan dan bertentangan dengan instrumen hak asasi manusia internasional yang mewajibkan
negara untuk memberikan reparasi terhadap korban pelanggaran HAM dan kesewenang-wenangan aparat.
Peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah mengakui bahwa korban dan atau ahli waris korban
pelanggaran HAM yang berat dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Namun, hak korban
dan atau ahli warisnya tersebut tidak dapat dinikmati dengan serta merta. Ada banyak tahapan yang harus
dilalui sebelum mereka mendapatkan haknya. Mekanisme pengadilan salah satunya. Dalam hal ini
pengadilan “dapat” memberikan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi apabila pelaku dinyatakan bersalah
dan dijatuhi pidana sebagaimana tampak dalam praktik pengadilan di Indonesia. Ketentuan ini tentunya
sangat bertentangan dengan instrumen hak asasi manusia internasional yang menyatakan bahwa negara
memiliki tanggungjawab terhadap pemulihan korban pelanggaran HAM dan kesewenang-wenangan aparat.
Tidak hanya masalah mekanisme yang dihadapi korban. Masalah definisi juga seolah menambah
penderitaan korban. Pembuat UU menganggap kompensasi sebagai kebaikan negara karena pelaku tidak
mampu melakukan pembayaran ganti kerugian kepada korban. Korban harus menunggu “kebaikan” negara
sebelum mendapatkan haknya.
Demikian juga dengan prosedur yang harus dilalui. Tidak jelas dan tidak lengkapnya prosedur yang dapat
dilalui korban dan atau ahli warisnya merupakan tantangan tersendiri yang harus dihadapi. Fakta bahwa
tidak ada satu-pun korban yang mendapatkan kompensasi dan rehabilitasi salah satunya disebabkan
ketiadaan peraturan dan prosedur yang jelas bagi korban untuk memperoleh hak-haknya.
Tidak adanya metode penghitungan kerugian juga merupakan kelemahan lainnya berkaitan dengan hak
atas kompensasi dan restitusi. Korban harus menghitung-hitung sendiri jumlah kerugian-materiil dan
immateriil-yang dialami sebelum mereka mengajukannya ke pengadilan. Akibatnya, berbagai macam cara
ditempuh untuk mendapatkan jumlah yang riil yang dapat mengganti seluruh kerugian yang dialami, baik
fisik maupun psikis.
Kelemahan dan kekurangan tersebut tentunya harus diperbaiki. Jangan sampai hal serupa terjadi di masa
yang akan datang. Sebagai bahan pembelajaran, diperlukan suatu kajian yang melihat kelemahan
konseptual dan prosedural hak atas kompensasi dan restitusi , baik dalam peraturan perundang-undangan
maupun praktik.
3. Ruang lingkup dan Tujuan
Kajian tentang kompensasi dan restitusi akan membahas dan menganalisa mengenai masalah kompensasi
dan restitusi, beserta tatacaranya. Kajian akan difokuskan pada hal-hal mendasar yang berkaitan dengan
masalah kompensasi dan restitusi, baik secara teoritis, yuridis dan praktis. Selain itu, kajian ini juga akan
menganalisa praktik dan pengalaman pengadilan dalam menerapkan regulasi terkait dengan kompensasi
dan restitusi.
Kajian bertujuan untuk menemukan faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan dalam
mengimplementasikan kompensasi dan restitusi kepada korban. Selain itu, kajian ini dimaksudkan untuk
9
memberikan sejumlah rekomendasi untuk mendorong perbaikan regulasi yang akan membuat pemenuhan
kompensasi dan restitusi kepada korban lebih terjamin.
4. Metode Kajian
Metode kajian mencakup penelusuran sejumlah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hakhak
atas kompensasi dan restitusi. Kajian akan dilaksanakan dengan melihat dan menganalisa konsep
kompensasi dan restitusi berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang sudah ada maupun praktik
yang telah diterapkan di Indonesia maupun pendapat para ahli hukum hak asasi manusia. Kajian ini juga
akan diperkaya dengan menggunakan referensi dari berbagai instrumen hak asasi manusia universal.
Demikian juga dengan praktik-praktik pengadilan di negara lain.
5. Sistematika Penulisan
Kajian ini akan disusun menjadi empat bab, dimana masing-masing bab akan mempunyai fokus bahasan
yang berbeda-beda sesuai dengan temanya masing-masing, diantaranya:
1. Bagian I. Pendahuluan
o Pengantar
o Permasalahan
o Ruang lingkup dan tujuan
o Metode penulisan
o Sistematika penulisan
2. Bagian II. Kompensasi dan Restitusi
o Definisi, ruang lingkupnya dan tata caranya menurut UU Perlindungan saksi
o Menurut peraturan perundang-undangan lainnya: UU 26/2000 dll
o Praktek selama ini di Indonesia
3. Bagian III. Analisa Masalah berkaitan dengan hak kompensasi dan restitusi
o Beberapa problem utama dan implikasinya.
o Perbandingan pengaturan dan praktik internasional
4. Bagian IV. Penutup dan rekomendasi
10
Bagian II
Hak-hak Korban Atas Kompensasi dan Restitusi
UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban membuka kembali diskursus tentang
pemulihan (reparasi)6 kepada korban, termasuk korban pelanggaran HAM yang berat.7 UU ini mengatur
tentang hak korban untuk mendapatkan kompensasi dan restitusi. Kompensasi diberikan kepada korban
pelanggaran HAM yang berat, sementara restitusi merupakan ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab
pelaku tindak pidana.
Pengaturan dalam UU No. 13 Tahun 2006 sedikit berbeda dengan UU No. 26 tahun 2000 tentang
pengadilan HAM yang juga memberikan pengaturan atas hak kompensasi dan restitusi, dan juga
rehabilitasi, kepada korban pelanggaran HAM yang berat. Untuk implementasi hak-hak korban tersebut,
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi
dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Yang Berat.
Dengan demikian, telah ada dua pengaturan tentang kompensasi dan restitusi. Sementara rehabilitasi yang
juga merupakan hak korban, sebagaimana diatur dalam UU No. 26 tahun 2000 menjadi hak korban
pelanggaran HAM yang berat tidak disinggung dan tidak diatur dalam UU No. 13 Tahun 2006. Istilah
“rehabilitasi” ini sendiri dapat kita lihat dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), yang mempunyai arti yang berbeda dengan pengertian “rehabilitasi” sebagaimana
dalam UU No. 26 Tahun 2000. Dari sisi pengaturan hukum nasional ini, telah memunculkan perbedaaanperbedaan
dalam memahami hak-hak korban, khususnya bentuk-bentuk reparasi tersebut. Tampaknya
pembuat UU tidak secara sistematis melakukan sinkronisasi antar UU sehingga dari sisi istilah muncul
perbedaan.
Dengan demikian terdapat, 3 (tiga) peraturan pokok dalam konteks untuk menganalisa regulasi tentang
kompensasi dan restitusi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Meskipun, terdapat regulasi
yang lain yang juga mengatur tentang hak-hak korban kejahatan (lihat tabel 1). Untuk memperkuat analisa
atas regulasi tersebut, bagian ini juga akan menganalisa praktik-praktik penerapan hak atas kompensasi
dan restitusi di pengadilan HAM.
Table 1:
Regulasi Nasional Tentang Korban
No Regulasi Tentang Keterangan
1. UU No. 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana
1. Mengatur tentang Ganti Kerugian kepada
tersangka, terdakwa atau terpidana
karena ditangkap, ditahan, dituntut dan
diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa
alasan yang berdasarkan UU atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan.
2. Rehabilitasi kepada seseorang karena
pengadilan memutus bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum yang
putusannya telah mempunyai kekuatan
6 Yang dimaksud pemulihan (reparation) dalam tulisan ini adalah hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik
material maupun immaterial bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Dalam hal ini pemulihan merupakan bentuk umum
dari berbagai bentuk pemulihan kepada korban, yang diantaranya mencakup kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
7 Pelanggaran HAM yang berat berdasarkan Undang-undang No. 26 tahun 2000 adalah kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan. Lihat pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
11
hukum tetap.
3. perkara pidana yang menimbulkan
kerugian pada pihak lain dapat
menetapkan untuk penggabungan perkara
gugatan ganti kerugian.
2. Peraturan Pemerintah
No. 27 tahun 1983
Pelaksanaan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara
Pidana
Negara melalui departemen keuangan dibebani
tanggung jawab untuk menyelesaikan
pembeyaran ganti kerugian yang dikabulkan
pengadilan.
3. Keputusan Menteri
Keuangan RI No.
983/KMK.01/1983
Tanggal 31 Desember
1983
Tata Cara Pembayaran
Ganti Kerugian
Ganti kerugian adalah ganti kerugian
sebagaimana dimaksud dalam pasal 95
KUHAP.
4. UU No. 26 Tahun 2000 Pengadilan HAM Mengatur tentang hak atas Kompensasi,
restitusi dan rehabilitasi korban (KRR)
pelanggaran HAM yang berat
5. Peraturan Pemerintah
No. 3 Tahun 2002
Kompensasi, Restitusi dan
Rehabilitasi terhadap
Korban Pelanggaran HAM
yang berat
1. Mengatur tentang tata cara pemberian
KRR korban pelanggaran HAM yang Berat
2. Mengatur tentang bentuk dan besaran
KRR
3. Mengatur tentang pihak yang wajib
membayarkan KRR
6. UU No. 30 Tahun 2002 Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
1. Mengatur tentang hak seseorang yang
dirugikan sebagai akibat penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan, yang
dilakukan oleh KPK untuk mengajukan
gugatan rehabilitasi dan/atau kompensasi.
7. UU No. 15 tahun 2003 Penetapan Peraturan
Perppu No. 1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terrorisme
1. Mengatur tentang hak korban atau ahli
warisnya akibat tindak pidana terorisme
berhak mendapatkan kompensasi atau
restitusi.
2. Kompensasi dan/atau restitusi tersebut
diberikan dan dicantumkan sekaligus
dalam amar putusan pengadilan
3. Pengajuan kompensasi dilakukan oleh
korban atau kuasanya kepada Menteri
Keuangan berdasarkan amar putusan
pengadilan negeri.
4. Pengajuan restitusi dilakukan oleh korban
atau kuasanya kepada pelaku atau pihak
ketiga berdasarkan amar putusan
8. UU No. 13 Tahun 2006 Pelindungan Saksi dan
Korban
1. mengatur tentang hak atas kompensasi
dalam kasus pelanggaran HAM yang
berat.
2. mengatur tentang hak restitusi atau ganti
kerugian yang menjadi tanggung jawab
pelaku tindak pidana.
4. Pengaturan Tentang Kompensasi dan Restitusi dalam 3 (tiga) regulasi.
Sebelum diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, istilah kompensasi dan
restitusi kepada korban kejahatan hanya dinyatakan dengan penggunaan istilah “ganti kerugian”. Pada
awalnya ganti kerugian kepada korban kejahatan, dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
12
Pidana (KUHAP) yang dibebankan kepada pelaku kejahatan. Dalam KUHAP juga dikenal hak untuk
memperoleh ganti kerugian dan rehabilitasi bagi tersangka, terdakwa dan terpidana. Ganti kerugian bagi
tersangka, terdakwa atau terpidana ini ditujukan bagi pihak yang mengalami kesalahan prosedur dalam
proses peradilan pidana. Sementara rahabilitasi diberikan kepada terdakwa yang dibebaskan atau
dilepaskan dalam putusan pengadilan.
Pasal 1 angka 22 KUHAP:
“Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapatkan pemenuhan atas tuntutan yang berupa imbalan
sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU atau
karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam UU ini.”
Pasal 2 angka 23 KUHAP:
“Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat
serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap,
ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam UU ini.”
Dalam KUHAP, ganti kerugian kepada korban tidak cukup diberikan pengaturan yang memadai karena
hanya diatur dalam pasal 98 yang menyatakan bahwa pihak ketiga yang mengalami kerugian, dan ini bisa
dipahami sebagai korban, dapat mengajukan gugatan penggabungan gugatan ganti kerugian.8 Ganti
kerugian kepada korban ini hanya mencakup ganti kerugian yang bersifat materiil, sementara ganti kerugian
yang immaterill para korban harus mengajukan perkara secara perdata.9 Dengan demikian, pengaturan
dalam KUHAP, perlindungan terhadap korban atas hak-haknya tidak mendapatkan cukup pengaturan jika
dibandingkan perlindungan kepada hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana.10
Hak-hak terhadap korban kemudian semakin kuat dan diakui dalam sistem hukum nasional dengan
diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM. UU ini memberikan hak korban
pelanggaran HAM yang berat untuk memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Namun, regulasi ini
hanya ditujukan kepada para korban pelanggaran HAM yang berat, dan bukan untuk keseluruhan korban
tindak pidana.11
Pasal 35 UU No. 26 tahun 2000 menyatakan :
“Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh
kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi”.
Namun, kompensasi dan restitusi korban pelanggaran HAM yang berat ini diletakkan dalam kerangka “ganti
kerugian”. Hal ini terlihat dalam definisi tentang kompensasi dan restitusi dalam UU No. 26 Tahun 2000
maupun dalam PP No. 3 Tahun 2002. Sementara hak rehabilitasi dalam UU 26 tahun 2000 ditunjukkan
kepada para korban dan bukan terhadap para tersangka atau terdakwa sebagaimana diatur dalam KUHAP.
Pasal 1 PP No. 3 Tahun 2002 tentang maksud kompensasi, restitusi dan rehabilitasi:
“Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan
ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.”
8 Penjelasan pasal 98 ayat (1) KUHAP.
9 Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika Jakarta, 2003, hal. 81.
10 Beberapa dekade yang lalu telah dikeluhkan bahwa kepedulian pada tersangka/terdakwa sudah sedemikian tingginya,
sehingga menimbulkan persepsi bahwa ‘the pendulum has swung too far.’ Oleh karenanya sudah tiba saatnya perhatian yang lebih
besar diberikan pula pada pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses peradilan pidana, terutama saksi --termasuk saksi korban.
Lihat Naskah Akademis RUU Perlindungan Saksi dalam Proses Peradilan Pidana, disusun oleh Sentra HAM UI dan Indonesia
Corruption Watch.
11 Pasal 35 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
13
“Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak
ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau
penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.”
“Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau
hak-hak lain.”
UU No. 26 tahun 2000 dan PP No. 3 tahun 2002 juga secara jelas telah mendefinisikan tentang siapa yang
dimaksud dengan korban. Pengertian korban dalam PP No. 3 Tahun 2002:
“Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental
maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hakhak
dasarnya, sebagi akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli
warisnya.”
Berdasarkan ketentuan diatas, ganti kerugian kepada korban pelanggaran HAM yang berat dibebankan
kepada dua pihak yakni pelaku kejahatan dan negara. Pelaku kejahatan atau pihak ketiga dibebankan
untuk mengganti kerugian korban, dan inilah yang didefinisikan dengan “restitusi”. Sementara dalam
kompensasi, pembebanan biaya ganti kerugian kepada korban dilakukan oleh pemerintah ketika pelaku
atau pihak ketiga tidak mampu membayar ganti kerugian secara penuh kepada korban. dengan ketentuan
ini, muncul konsep tanggung jawab negara terhadap korban kejahatan (pelanggaran HAM yang berat).
Hak atas kompensasi dan restitusi kembali diatur dalam UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban. Pasal 7 UU No. 13 tahun 2006, ganti kerugian kepada korban kejahatan menggunakan istilah
kompensasi dan restitusi. Namun, tidak ada penjelasan tentang maksud dari kompensasi dan restitusi.
Pasal 7 UU No. 13 tahun 2006:
(1) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:
a. Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM yang berat;
b. Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.
Terjadi pembedaan dalam menentukan tanggung jawab pemenuhan hak-hak korban khususnya berkaitan
dengan restitusi. Dalam UU No. 13 tahun 2006, restitusi dapat diberikan kepada semua korban tindak
pidana yang terjadi, dan tidak terbatas pada korban pelanggaran HAM yang berat sebagaimana hak atas
kompensasi. Kedua, restitusi hanya menjadi tanggung jawab pelaku dan tidak menyertakan kewajiban bagi
pihak ketiga, sebagaimana pengertian restitusi dalam UU No. 26 tahun 2000. Sementara hak korban atas
rehabilitasi hanya dinyatakan sebagai bantuan kepada korban dalam hal rehabilitasi psiko-sosial (pasal 6
huruf b).12
Dengan demikian, ada dua pengaturan dan pendefnisian yang sedikit berbeda tentang kompensasi dan
restitusi, yakni yang diatur dalam UU No. 26 tahun 2000 dan UU No. 13 tahun 2006. Sementara istilah
rehabilitasi, dalam ketiga regulasi yakni KUHAP, UU No. 26 tahun 2000 dan UU No. 13 tahun 2006
mempunyai definisi dan maksud yang saling berlainan (lihat tabel 2).
12 Penjelasan pasal 6 huruf b UU No. 13 Tahun 2006: “ yang dimaksud dengan “bantuan rehabilitasi psiko-sosial adalah
bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada Korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan
kembali kondisi kejiwaan korban.
14
Tabel 2:
Hak-hak kepada korban
No Regulasi Hak-hak korban Keterangan
1. Ganti rugi kepada tersangka, terdakwa
atau terpidana
2. Rehabilitasi kepada terdakwa yang
dibebaskan dan dilepaskan oleh
pengadilan
3. Pihak ketiga yang mengalami kerugian
karena adanya kejahatan.
Dimungkikan korban
kejahatan mendapatkan
ganti kerugian atas
kejahatan yang terjadi
pada dirinya
1. UU No. 8 Tahun 1981
Rehabilitasi kepada tersangka atau
terdakwa atas kesalahan prosedur
Rehabilitasi dalam
ketentuan ini diberikan
kepada korban kesalahan
prosedur dan bukan pada
korban kejahatan
Kompensasi:
1. Kompensasi adalah ganti kerugian yang
diberikan oleh negara karena pelaku tidak
mampu memberikan ganti kerugian
sepenuhnya yang menjadi tanggung
jawabnya.
Kompensasi untuk korban
Restitusi :
Restitusi adalah ganti kerugian yang
diberikan kepada korban atau keluarganya
oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa:
1. pengembalian harta milik;
2. pembayaran ganti kerugian untuk
kehilangan atau penderitaan;
3. atau penggantian biaya untuk
tindakan tertentu.
Restitusi untuk korban
2. UU No. 26 Tahun 2000 dan
Peraturan Pemerintah No. 3
Tahun 2002
Rehabilitasi :
Rehabilitasi adalah pemulihan pada
kedudukan semula, misalnya kehormatan,
nama baik, jabatan, atau hak-hak lain.
Rehabilitasi adalah pemulihan pada
kedudukan semula, misalnya kehormatan,
nama baik, jabatan, atau hak-hak lain.
Rehabilitasi untuk korban
Kompensasi bagi korban pelanggaran HAM
yang berat
3. UU No. 13 Tahun 2006
Restitusi bagi korban tindak pidana
Rehabilitasi psiko sosial Bantuan rehabilitasi psikososial
adalah bantuan
yang diberikan oleh
psikolog kepada Korban
yang menderita trauma
atau masalah kejiwaan
lainnya untuk memulihkan
kembali kondisi kejiwaan
korban.
Disamping perbedaan definisi, bentuk ganti kerugian kepada korban dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP, UU No. 26 Tahun 2000 dan UU No. 13 Tahun 2006 juga mempunyai pengaturan yang berbeda.
15
Ganti kerugian kepada korban dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP tidak menjelaskan secara
terperinci mengenai bentuk-bentuk ganti kerugian kepada korban. Hal ini terlihat bahwa pengaturan tentang
adanya ganti kerugian korban dalam KUHAP hanya “ditempelkan” pada pengaturan tentang penggabungan
gugatan dalam perkara pidana. Namun, difahami bahwa kerugian korban kejahatan dalam KUHAP yang
dapat dimintakan gugatan untuk penggantian hanya pada kerugian materiil dan tidak mencakup pada
kerugian immateriil.
Sementara, UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM mengatur lebih rinci tentang bentuk-bentuk
ganti kerugian kepada korban. Bentuk-bentuk ganti kerugian ini dapat dilihat dalam definisi mengenai
restitusi yang merupakan ganti rugi kepada korban atau keluarganya yang mencakup pengembalian hak
milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk
tindakan tertentu. Bentuk-bentuk ganti kerugian tersebut, jika dibebankan kepada negara maka terminolgi
yang digunakan bukan lagi “restitusi” tetapi “kompensasi”. Artinya, bahwa bentuk-bentuk ganti rugi untuk
korban dalam UU No. 26 tahun 2000 adalah sama, baik untuk restitusi maupun kompensasi.
UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban justru tidak memberikan pengaturan tentang
bentuk-bentuk kompensasi dan restitusi kepada korban. Penjelasan UU tersebut juga tidak ditemukan
definisi dan penjelasan mengenai bentuk-bentuk ganti kerugian kepada korban. Tidak dijelaskannya bentukbentuk
kompensasi dan restitusi dalam UU No. 13 tahun 2006, kemungkinan akan diatur kemudian dalam
peraturan pemerintah. Tafsir atas pemahanan ini dapat dilihat dari ketentuan dalam pasal 7 ayat (2) dan (3)
UU No. 13 tahun 2006.
Pasal 7 UU No. 13 tahun 2006, ayat :
(2) Keputusan mengenenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan peraturan
pemerintah.
Berdasarkan regulasi dalam pasal 7 ayat (2) dan (3) diatas, terdapat tiga hal. Pertama, dalam Peraturan
pemerintah yang akan dibentuk juga akan mengatur tentang pengertian “kompensasi” dan “restitusi”
termasuk bentuk-bentuk ganti kerugiannya. Kedua, dari peraturan pemerintah tersebut, hakim dapat
menetapkan dalam keputusannya bentuk ganti kerugian kepada korban. Ketiga, hakim mempunyai
keleluasaaan untuk menetapkan bentuk ganti kerugian kepada korban dalam hal tidak ada regulasi yang
mengatur tentang bentuk-bentuk kompensasi dan restitusi.
5. Prosedur Dalam Pemenuhan hak-hak korban
Pemenuhan hak atas kompensasi dan restitusi sebagaiman diatur dalam UU No. 26 tahun 200 telah
dipraktekkan dalam pengadilan HAM. Hukum acara pengadilan HAM yang digunakan, selama tidak diatur
khusus, mengacu pada ketentuan dalam KUHAP.13 Akibatnya, prosedur pengajukan kompensasi dan
restitusi juga mengacu pada ketentuan dalam KUHAP.
Mekanisme KUHAP dalam pemenuhan hak-hak korban menggunakan mekanisme tuntutan ganti kerugian
dengan permintaan penggabungan perkara pidana dengan klaim kerugian. Pasal 98 ayat (1) KUHAP
mengatur bahwa dalam satu perkara pidana yang menimbulkan kerugian bagi orang lain maka ketua sidang
atas permintaan orang itu dapat menetapkan menggabungan perkara ganti kerugian kepada perkara itu.
Pengertian tentang “orang lain” berdasarkan penjelasan pasal 98 adanya mencakup tentang korban.14
13 Pasal 10 UU No.26 tahun 2000.
14 Pasal 98 ayat (1) KUHAP: “Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara
pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat
menetapkan untuk menggabungkan perkara ganti kerugian kepada perkara pidana itu”.
16
Selain mekanisme KUHAP, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 tahun 2002 juga mengatur tentang
mekanisme atau tata cara pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM
yang berat. Namun, ketentuan dalam PP tersebut merupakan pengaturan yang hanya merujuk pelaksanaan
kompensasi dan restitusi setelah adanya putusan dari pengadilan yakni eksekusi atas putusan
“kompensasi” dan “restitusi” kepada korban.15
Perlu ditambahkan disini bahwa UU No. 13 tahun 2006, dalam pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa korban
melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berhak mengajukan ke pengadilan hak atas
kompensasi atau restitusi. Ketentuan ini memunculkan mekanisme baru dalam prosedur pengajuan hak
atas kompensasi atau restitusi yakni terlibatnya LPSK dalam prosedur pengajuan. Pengaturan tersebut
menunjukkan dua penafsiran, yakni; pertama, bahwa tuntutan ganti kerugian (kompensasi dan restitusi)
hanya bisa diajukan oleh korban melalui LPSK. Kedua, korban dapat mengajukan ganti kerugian melalui
LPSK, dan dapat juga mengajukan ganti kerugian dengan prosedur yang lainnya misalnya KUHAP. Untuk
memastikan prosedur baku, perlu keselarasan dengan regulasi yang lainnya misalnya dengan KUHAP dan
PP No. 3 tahun 2002. Jika tidak ada keselarasan dalam prosedur pengajuan hak atas kompensasi dan
restitusi ini maka kemungkinan akan menimbulkan kebingunan bagi korban, tentang mekanisme yang akan
digunakan dalam mengajukan tuntutan kompensasi dan restitusi.
6. Praktik Kompensasi dan Restitusi
Pengadilan HAM yang telah di gelar di Indonesia menunjukkan perkembangan baru berkaitan dengan
mekanisme pemenuhan hak-hak korban. Ini ditandai dengan adanya mekanisme yang dapat ditempuh
korban untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian. Para korban dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian
secara langsung ke pengadilan ataupun melalui jaksa penuntut umum, dan kemudian tuntutan ganti
kerugian korban ini dilampirkan dalam surat tuntutan pidana.16 Korban juga dapat mengajukan tuntutannya
dengan diwakili oleh penasehat hukum atau pendampingnya, untuk selanjutnya disampaikan kepada jaksa
penuntut umum. Prosedur yang digunakan di Pengadilan HAM ini telah diterima oleh pengadilan sehingga
bisa dimaknai bahwa prosedur ini telah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Pengadilan (KUHAP).
Pada uraian praktik dalam pengadilan ini, akan dipaparkan mengenai perkembangan di pengadilan umum
dan pengadilan HAM. Hal ini diperlukan mengingat ada perbedaan perkembangan yang cukup significant
dalam penerapan konsep kompensasi dan restitusi ini, khususnya perkembangan dalam peradilan
Indonesia.
3.1. Pengadilan HAM Timor-Timur
Pengadilan HAM Ad Hoc Timor-timur memeriksa dan mengadili 18 (delapan belas) orang terdakwa yang
dibagi menjadi 12 (dua belas) berkas perkara17. Secara keseluruhan para terdakwa didakwa dan dituntut
telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi menjelang dan setelah jajak pendapat di tiga
wilayah di Timor-timur, yaitu Dili, Covalima dan Liquisa.
15 Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 PP No. 3 tahun 2002.
16 Tuntutan ganti kerugian korban ini terdapat dalam pengadilan HAM ad hoc dalam kasus pelanggaran HAM yang berat
di Tanjung Priok 1984.
17 Yaitu Abilio Soares; Timbul Silaen; Herman Sedyono dkk (Liliek Koeshadianto, Gatot Subiyaktoro, Achmad Syamsudin
Dan Sugito); Eurico Guterres; Soedjarwo; Endar Priyanto; Adam Damiri; Hulman Gultom; M Noer Muis; Jajat Sudrajat; Tono
Suratman dan Asep Kuswani dkk (Adios Salova, Leonito Martins).
17
Dari 18 orang terdakwa ini, 12 orang dinyatakan bebas dan 6 orang lainnya dinyatakan bersalah melakukan
pelanggaran ham yang berat dan dijatuhi pidana. Namun, putusan pengadilan, baik yang menyatakan
bebas maupun bersalah, semuanya mengakui bahwa peristiwa pelanggaran ham berat Timor-timur telah
mengakibatkan jatuhnya korban penduduk sipil yang banyak, baik harta maupun nyawa, laki-laki dan
perempuan.
Sayangnya, pada Proses Pengadilan HAM Tim-tim ini, walaupun dinyatakan telah jatuh korban, isu atau
masalah hak-hak korban ini sama sekali tidak muncul. Bahkan, tidak ada satupun putusan pengadilan, baik
dalam pertimbangan maupun amar putusannya yang membahas atau mencantumkan mengenai hak
kompensasi dan restitusi. Tidak dibahas atau dicantumkannya mengenai hak-hak korban ini sangat
mengherankan, mengingat pengadilan telah mengakui terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang
berat di Timor-timur menjelang dan setelah jajak pendapat 1999 dan jatuhnya korban dalam peristiwa
tersebut.
Tidak adanya pembahasan ataupun putusan mengenai kompensasi dan restitusi bagi korban tersebut,
kemungkinan besar disebabkan tidak adanya permohonan kompensasi dan restitusi yang diajukan ke
pengadilan sebagaimana yang ketentuan Pasal 35 UU No. 26 tahun 2006. Namun, terlepas dari tidak
adanya permohonan dari penuntut umum maupun korban, tidak diakuinya hak-hak korban dalam
pengadilan ini merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip internasional yang telah diakui oleh
hukum internasional.
3.2. Pengadilan HAM Tanjung Priok
Pengadilan HAM Tanjung Priok memeriksa dan mengadili 14 orang terdakwa yang diduga
bertanggungjawab dalam peristiwa pelanggaran ham Tanjung Priok yang terjadi pada 1984. Dari 14 orang
terdakwa tersebut, 12 orang dinyatakan terbukti bersalah melakukan pelanggaran ham yang berat dan
dijatuhi, dan 2 orang terdakwa lainnya dinyatakan tidak terbukti bersalah18.
Dalam Pengadilan HAM Tanjung Priok praktik mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tersebut
diterapkan secara progresif oleh Pengadilan, terutama dalam Putusan Sutrisno Mascung, dimana dalam
amar putusan pengadilan yang secara tegas mencantumkan mengenai pemberian kompensasi, restitusi
dan rehabilitasi kepada korban pelanggaran HAM berat Tanjung Priok19. Signifikansi diakuinya hak-hak
korban tersebut dapat dilihat dalam pertimbangan yang dikemukakan majelis hakim dalam memberikan
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban, yakni :
1. Terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana oleh pengadilan.
2. Oleh karena terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana, maka secara otomatis, akibat
dari peristiwa (yang dilakukan terdakwa), korban berhak mendapatkan kompensasi, restitusi
dan rehabilitasi.
3. Adanya pengajuan permohonan secara tertulis dari korban dan atau ahli waris korban kepada
ketua majelis hakim yang memeriksa perkara.
18 Yang dinyatakan bersalah adalah R. Butar-butar dan Sutrisno Mascung dkk (Prada Siswoyo, Prada Asrori, Prada
Zulfata, Prada Muhson, Prada Abdul Halim, Prada Sofyan Hadi, Prada Winarko, Prada Idrus, Prada Sumitro, dan Prada Prayogi).
Sedangkan yang dinyatakan tidak bersalah adalah Sriyanto dan Pranowo.
19 Walaupun putusan mengenai kompensasi ini terlebih dahulu diputuskan dalam Perkara No. : 03/Pid.HAM/Ad
Hoc/2003 a.n. terdakwa R. Butar-Butar. Namun, dalam amar putusannya Majelis Hakim tidak menyebutkan kriteria mengenai
korban yang berhak mendapatkan kompensasi, rehabilitasi dan restitusi. Dalam putusannya Majelis Hakim hanya menyebutkan
bahwa karena korban sudah cukup lama menderita, tidak saja korban yang langsung tetapi juga dirasakan oleh keluarga korban
dan ahli warisnya, yaitu para korban yang meninggal dunia dan korban yang menderita luka serta cacat baik itu cacat sementara
ataupun cacat seumur hidup. Oleh karenanya, pengadilan memutuskan untuk memberikan kompensasi kepada korban atau ahli
warisnya yang proses serta jumlahnya ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Lihat putusan No. : 03/Pid.HAM/Ad
Hoc/2003 atas nama terdakwa R. Butar-Butar, 30 April 2004, hal. 59-60.
18
4. Korban (pemohon) belum pernah mendapatkan bantuan apapun, berupa kompensasi, restitusi
dan rehabilitasi dari pihak manapun (baik terdakwa/pelaku maupun dari pihak lainnya).
Namun, ada satu kekurangan mendasar dari putusan kompensasi dan restitusi yang diputuskan Pengadilan
HAM Tanjung Priok tersebut, Pengadilan tidak menerangkan bagaimana metode penghitungan ganti
kerugian yang menghasilkan nominal yang ditetapkan pengadilan. Majelis hakim hanya mempertimbangkan
kerugian materiil dan immateriil yang dialami korban. Kerugian materiil dimaksud adalah hilangnya harta
benda, hilangnya pekerjaan, dan biaya pengobatan. Sedangkan kerugian immateriil berupa stigmatisasi dan
pengungkapan kebenaran selama 20 tahun20. Padahal korban, yang diwakili oleh pendampingnya dari
Kontras, telah menyampaikan metode penghitungan ganti kerugian untuk korban pelanggaran HAM berat
Tanjung Priok ini. Dalam suratnya tertanggal 30 Juni 2004, yang ditujukan kepada Jaksa Agung, korban
dan Kontras mengajukan metode penghitungan ganti kerugian bagi korban pelanggaran HAM berat
Tanjung Priok. Metode yang diajukan tersebut dilakukan bersifat gabungan antara yang individualis dan
kolektif, yang berarti ada penghitungan yang didasari atas kerugian yang dialami per pribadi dan ada
kompensasi yang ingin diterima dan diperoleh secara bersama.
Di samping itu, karakteristik korban dan tipologi kerugian yang dialami korban pun menjadi acuan untuk
melakukan penghitungan terhadap kerugian yang dialami korban ini. Adapun cara untuk menghitung
kerugian materiilnya, metode yang diajukan korban adalah dengan menghitung nilai kerugian (NK) x harga
emas pada tahun 2004 : harga emas tahun (n) x 0,5. kemudian setelah diketahui hasilnya ditambah dengan
6% dari hasil tersebut.
Majelis hakim juga tidak merinci tata cara pemberian dan kapan korban dapat mendapatkan kompensasi
yang diterimanya. Majelis hakim secara sumir hanya menyatakan bahwa “kompensasi diberikan melalui
mekanisme dan tata cara pelaksanaan yang telah diatur oleh PP No. 3 Tahun 2002, serta dilaksanakan
secara tepat, cepat dan layak”21.
Hal ini tentunya akan menimbulkan kesulitan Iinstansi Terkait yang akan mengeksekusi putusan mengenai
kompensasi tersebut, karena tidak jelas siapa yang harus menginisiasinya serta kapan kompensasi tersebut
harus diberikan kepada korban. Dan hal ini terbukti nyata ! Sampai sekarang, ketiga belas orang korban
yang disebutkan dalam amar putusan tersebut, tidak satupun dari mereka yang telah menerima kompensasi
sebagaimana yang diputuskan pengadilan, walaupun mereka telah berjuang kemana-mana untuk
mendapatkan haknya tersebut22.
Bahkan, dalam perkembangan terakhir, korban melalui kuasa hukumnya dari Kontras telah mengajukan
permohonan penetapan eksekusi atas Putusan Pengadilan HAM Adhoc pada tahun 20 Agustus 2004 yang
memutuskan negara harus memberikan kompensasi kepada 13 (tiga belas) orang korban Tanjung Priok
berupa kompensasi materil sejumlah Rp.658.000.000,- dan imateril sejumlah Rp.357.500.000, yang tidak
kunjung dipenuhi23.
Permohonan korban tersebut kemudian ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam penetapannya
hakim tunggal, Ny. Martini Marjan, S.H merujuk pada putusan Mahkamah Agung yang membebaskan para
20 Lebih lengkapnya lihat “Penghitungan Kompensasi Korban Pelanggaran HAM Tanjung Priok”, yang dikeluarkan
Kontras, Jakarta, Juni 2004.
21 Putusan Sutrisno Mascung, dkk hal. 149 para. 2 dan 3
22 Surat dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) No. 250/SK-Kontras/VI/2004 yang ditujukan
kepada Jaksa Agung RI; Kompas, 26 Mei 2004, 18 Juni 2004, 24 Juni 2004, 7 Agustus 2004, 21 Agustus 2004, 6 September 2004,
dan 10 September 2004.
23 Lihat permohonan penetapan eksekusi putusan kompensasi, yang telah didaftarkan pada 31 Januari 2007 dengan No.
Perkara 18/PDT.P/2007 PN Jakarta Pusat
19
terdakwa peristiwa Tanjung Priok. Berdasarkan pertimbangan tersebut hakim menyatakan bahwa tidak ada
kewajiban bagi negara untuk memenuhi apa yang dimohonkan para korban24.
Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu 28 Februari 2007 tersebut seolah mengirim pesan
kepada masyarakat bangsa Indonesia bahwa keadilan buat korban peristiwa Tanjung Priok telah berakhir.
Tidak ada lagi upaya yang dapat dilakukan korban dan keluarganya untuk memperoleh hak dan keadilan
yang selama puluhan tahun diperjuangkan.
3.3. Pengadilan HAM Abepura
Pengadilan HAM Abepura mengadili dua orang terdakwa yang diduga bertanggungjawab dalam peristiwa
Abepura yang terjadi pada 7 Desember tahun 2000. Keduanya dibebaskan pengadilan dengan alasan
peristiwa Abepura bukan merupakan pelanggaran ham berat sebagaimana dimaksud UU No. 26 tahun
2000.
Namun, terdapat satu perkembangan yang menarik untuk dianalisa lebih lanjut terkait hak atas kompensasi
dan restitusi, yaitu adanya gugatan penggabungan perkara ganti kerugian yang diajukan melalui
mekanisme class action oleh korban peristiwa Abepura25. Argumentasi yang diajukan korban terkait upaya
ini adalah adanya dasar hukum dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang memberikan
peluang cukup kuat bagi korban untuk menggunakan mekanisme ini26. Disamping, jumlah korban yang
banyak, sehingga bilamana pengajuan gugatan ini diajukan secara individu, dikhawatirkan proses
peradilannya tidak sesuai dengan prinsip sedehana, cepat, murah.
Berdasarkan argumentasi-argumentasi tersebut, selanjutnya korban mengajukan tuntutan restitusi,
kompensasi, dan rehabilitasi ke Pengadilan HAM Makasar yang mengadili perkara pelanggaran ham
Abepura.
Upaya yang dilakukan korban ini memang dapat dimengerti, mengingat harapan korban yang apabila
permohonan penggabungan perkara ini digabungkan, mereka berharap untuk sesegera mungkin
mendapatkan hak-hak reparasi tanpa melalui prosedur dan proses gugatan perdata biasa yang
dianggapnya memakan waktu yang relatif lama.
Namun demikian, langkah maju yang diupayakan ini ternyata tidak mendapat apresiasi yang cukup
memadai dari majelis hakim yang memeriksa gugatan tersebut. Dalam penetapannya, majelis hakim27
menolak gugatan yang diajukan oleh korban melalui tim penasehat hukumnya. Majelis hakim beralasan
24 Media Indonesia Online, “Upaya 13 korban pelanggaran berat HAM Tanjung Priok untuk mendapat ganti rugi dari
pemerintah kembali kandas”, 29 Februari 2007.
25 Yang mewakili anggota masyarakat yang mengalami kerugian akibat peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
berat (gross violation of human rights) yang terjadi pada tanggal 7 Desember 2000 di Abepura, Propinsi Papua Barat, yang
kemudian lebih dikenal sebagai Peristiwa Abepura, 7 Desember 2000. Dalam hal ini tidak hanya bertindak secara pribadi,
melainkan juga bertindak untuk dan atas nama serta mewakili kepentingan anggota masyarakat lainnya yang jumlahnya lebih dari
100 orang dengan kesamaan fakta dan dasar hukum dikarenakan sudah menjadi korban dan mengalami kerugian akibat Peristiwa
Abepura, 7 Desember 2000.
26 Alasan-alasan ini diantaranya disandarkan pada ketentuan pasal 98 sampai dengan pasal 101 KUHAP. dan Pasal 1
huruf a Peraturan Mahkamah Agung RI No. 2 tahun 2002 yang menyatakan menyatakan bahwa “Gugatan Perwakilan Kelompok
adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk
diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang-orang yang jumlahnya banyak , yang memiliki kesamaan fakta
atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud”. Serta Pasal 10 UU No. 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM, yang memungkinkan digunakannya KUHAP sebagai dasar hukum beracara di PN HAM.
27 Walaupun salah satu anggota majelis hakim, dalam wawancara dengan Tim Monitoring pada tanggal 16 dan 23
Agustus 2004 di Makasar, menyatakan bahwa hak-hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi merupakan hak yang harus
diberikan kepada setiap korban pelanggaran HAM berat karena tanpa adanya hak ini maka ada satu kewajiban yang tidak
dilaksanakan kepada korban.. Pemenuhan hak-hak ini harus semaksimal mungkin diupayakan ditengah keterbatasan peraturan
tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini.
20
bahwa peraturan perundang-undangan yang ada tidak mengatur secara jelas bagaimana prosedur gugatan
ganti kerugian dalam perkara pelanggaran HAM berat. Penolakan majelis hakim tersebut disertai dengan
saran kepada Korban, agar pengajuan kompensasi, restitusi dan rehabilitasinya disampaikan secara
langsung kepada majelis hakim melalui jaksa penuntut umum pada waktu Korban diperiksa sebagai saksi di
pengadilan. Selanjutnya jaksa penuntut umum akan mengajukannya pada waktu dilakukan penuntutan.
Alasan yang dikemukakan majelis hakim tersebut secara yuridis formal memang dapat dipahami. Namun,
apabila ditelisik secara komprehensif, seharusnya kelemahan regulasi tidak menjadikan hak-hak korban
menjadi diacuhkan, bahkan diabaikan. Hal ini seharusnya dijadikan majelis hakim untuk melakukan
terobosan-terobosan hukum dalam mengemban tugas-tugasnya, sekaligus menjamin bahwa hak-hak
korban akan terpenuhi. Dengan demikian, akses Korban untuk menuntut hak-haknya akan terbuka dan
tercapai semaksimal mungkin.
21
Bagian III
Analisa Pengaturan
Hak kompensasi dan Restitusi di Indonesia
Sampai saat ini belum ada korban pelanggaran HAM yang berat di Indonesia yang mendapatkan hak atas
kompensasi dan restitusi sebagaimana dapat dilihat dari hasil pengadilan HAM yang telah digelar. Bagian
ini akan menguraikan analisa terhadap kendala-kendala dalam penerapan hak atas kompensasi dan
restitusi di Indonesia, serta kelemahan substansial dari ketentuan tentang kompensasi dan restitusi..
1. Kompensasi dan Restitusi Bagi Korban “Gross Violation of Human Rights” Dalam
Hukum Internasional
Setiap korban pelanggaran HAM berhak atas hak untuk tahu (rights to know), hak atas keadilan (rights to
justice), dan hak atas keadilan pemulihan (rights to reparation)28. Berdasarkan ketiga hak ini, korban dan
juga keluarga memiliki hak untuk mempelajari tentang kebenaran atau mengetahui tentang kebenaran apa
yang terjadi kepada mereka, untuk memiliki akses terhadap pemulihan yang efektif, dan juga memiliki hak
untuk keadilan di dalam bentuk penuntutan dan juga penghukuman terhadap pelaku.29
Negara mempunyai kewajiban untuk menuntut dan menghukum secara setimpal para pelakunya serta tidak
memberikan amnesti kepada para pejabat atau aparat negara sampai mereka dituntut di depan pengadilan.
Negara, juga berkewajiban untuk memberikan pemulihan kepada korban30.
Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah merupakan kejahatan yang masuk dalam
kategori kejahatan luar biasa (extraordinary crimes). Terhadap terjadinya kejahatan ini memunculkan
kewajiban negara untuk memberikan reparasi kepada korban. Kewajiban untuk memberikan reparasi
kepada korban merupakan tanggung jawab negara yang telah terangkai dalam berbagai instrumen hak
asasi dan ditegaskan dalam putusan-putusan (yurisprudensi) komite-komite hak asasi manusia
internasional maupun regional.31 Kewajiban yang diakibatkan oleh pertanggungjawaban negara atas
pelanggaran hukum hak asasi manusia internasional memberikan hak kepada individu atau kelompok yang
menjadi korban dalam wilayah negara itu untuk mendapatkan penanganan hukum yang efektif dan
pemulihan yang adil, sesuai dengan hukum internasional.32
Salah satu instrumen penting yang menjadi landasan untuk memenuhi kewajiban reparasi kepada korban
adalah Prinsip-prinsip Dasar dan Pedoman Hak Atas Pemulihan untuk Korban Pelanggaran Hukum HAM
Internasional dan Hukum Humaniter (Basic Principles and Guidelines on the Right to Remedy and
Reparation for Victims of Violations of International Human Rights and Humanitarian Law 1995); dan
28 Torture Survivors’ : Perceptions Of Reparation (Preliminary Survey), First Published 2001 By The Redress Trust, Hal
15.
29 Keterangan Prof. Douglass Cassel dihadapan Mahkamah Konstitusi, tanggal 4 Juni 2006.
30 Redress, Op Cit hal 27.
31 Seperti misalnya Velásquez Rodríguez vs Honduras, Series C No. 7 Compensatory Damages, Judgment of July 21,
1989; Velásquez Rodríguez vs Honduras, Series C No. 9, Interpretation of the Compensatory Damages Judgment, Judgment of
August 17, 1990; Aloeboetoe Et. al. Case vs Suriname, Series C No. 15, Reparations, Judgment of September 10, 1993; Blake
Case, Series C No. 57, Interpretation of the Judgment of Reparations, Judgment of October 1st, 1999. lebih lengkapnya lihat
Reparation : A Sourcebook For Victims Of Torture And Other Violations Of Human Rights And International Humanitarian Law, The
Redress Trust, 2003.
32 Lebih jauh mengenai hak-hak korban, lihat Theo Van Boven, “Mereka Yang Menjadi Korban, Hak Korban atas
Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi, ELSAM, 2002.
22
Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan
(Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crimes and Abuses of Power). 33
Suatu negara itu tidak hanya saja harus memberikan pemulihan, tetapi mereka juga harus menjamin bahwa
paling tidak hukum domestiknya memberikan suatu perlindungan dengan standar yang sama dengan apa
yang menjadi tanggungjawab atau kewajiban internasional34. Negara harus memberikan atau menyediakan
untuk korban dari pelanggaran HAM atau pelanggaran hukum perang dengan suatu akses yang efektif dan
setara untuk memperoleh keadilan dan juga harus memberikan atau ganti rugi yang efektif bagi korban,
termasuk di dalamnya reparasi.35
Kewajiban untuk memberikan reparasi kepada korban merupakan kewajiban yang tidak perlu dikaitkan
dengan ada atau tidaknya proses yudisial (pengadilan). Artinya bahwa reparasi kepada korban pelanggaran
HAM berhak mendapatkan pemulihan baik ada pelaku yang dibawa ke pengadilan atau tidak. Hal ini sejalan
dengan definisi korban pelanggaran HAM bahwa seseorang itu dapat dianggap sebagai korban, tanpa
peduli apakah pelakunya itu berhasil di identifikasikan atau tidak, ditangkap atau tidak, dituntut atau tidak,
dan tanpa mempedulikan tentang hubungan persaudaraan antara si korban dengan si pelaku. Jadi
merupakan suatu prinsip dasar bahwa apa yang disebut sebagai korban itu tidak bisa dipengaruhi apakah si
pelakunya itu dapat diidentifikasi atau tidak. Berdasarkan hukum internasional korban itu menjadi korban
apabila haknya dilanggar. Ketika kejahatan atau kekerasan tersebut dilakukan, maka pada saat itulah orang
tersebut memperoleh status sebagai korban.
Berdasarkan atas ketentuan dalam Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and
Reparation for Victims of Violations of International Human Rights and Humanitarian Law dinyatakan bahwa
para korban diberi lima hak reparasi yaitu36:
a. Restitusi
b. Kompensasi
c. Rehabilitasi
d. Kepuasan (satisfaction)
e. Jaminan ketidakberulangan (non reccurence)
Berdasarkan studi Theo Van Boven , bentuk-bentuk reparasi tersebut dirinci secara detail dan jelas tentang
apa yang dimaksud dengan restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasan dan jaminan ketidakberulangan
(lihat tabel). Restitusi misalnya ke hak milik atau juga nama baik dari si korban. Kompensasi merujuk pada
bentuk uang bagi kerugian-kerugian. Rehabilitasi di dalamnya termasuk jasa medis atau juga jasa
psikologis. Tindakan-tindakan untuk memuaskan (satisfaction) termasuk di dalamnya adalah pengakuan
oleh publik bahwa ini memang merupakan tanggungjawab Negara dan dan juga permintaan maaf secara
umum yang dilakukan oleh pejabat dalam jabatan yang cukup tinggi. Jaminan bahwa ini tidak akan terulang
lagi atau non repetisi dengan adanya reformasi tertentu dalam hukum dan regulasi. (lihat tabel 3)
33 Dalam Kongres PBB ini diajukan rancangan resolusi tentang perlindungan Korban ke Majelis umum PBB yang
kemudian menjadi Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34 tertanggal 29 November 1985 tentang “Declaration of Basic Principles of
Justice for victim of Crime And Abuse of Power”. Himbauan Resolusi Kongres PBB ke 7 dan resolusi MU PBB No. 43/34 yang
menyatakan bahwa “Goverment should review their practises, regulations and laws to consider restitution as an available
sentencing options in criminal cases, in addition to other criminal sanction”.
34 Bringing The International Prohibition Of Torture Home : National Implementation Guide For The Un Convention
Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment The Redress Trust, January 2006, Hal 84
35 Lihat Keterangan Naomi Roth Arriaza, ahli hukum ham internasional dan transititional justice dari California University,
USA. Lengkapnya lihat Risalah Sidang Perkara No. 006/PUU-IV/2006 Perihal Pengujian Uu No 27 Tahun 2004 Tentang Komisi
Kebenaran Dan Rekonsiliasi Terhadap UUD 1945 2 Agustus 2006.
36 Torture Survivors’, Op Cit hal 13
23
Tabel 3
Bentuk reparasi kepada korban Instrumen HAM Internasional
No Hal Bentuknya
1. Restitusi (restitution) Haruslah diberikan untuk menegakkan kembali, sejauh
mungkin, situasi yang ada bagi korban sebelum terjadinya
pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Restitusi mengharuskan, antara lain, pemulihan kebebasan,
kewarganegaraan atau tempat tinggal, lapangan kerja atau hal
milik.
Kompensasi akan diberikan untuk setiap kerusakan yang
secara ekonomis dapat diperkirakan nilaianya, yang timbul dari
pelanggaran hak asasi manusia, seperti:
1. Kerusakan fisik dan mental
2. Kesakitan, penderitaan dan tekanan batin
3. Kesempatan yang hilang, termasuk pendidikan
4. Hilangnya mata pencaharian dan kemampuan mencari
nafkah
5. Biaya medis dan biaya rehabilitasi lain yang masuk akal,
termasuk keuntungan yang hilang
6. Kerugian terhadap reputasi dan martabat
7. Biaya dan bayaran yang masuk akal untuk bantuan hukum
atau keahlian untuk memperoleh suatu pemulihan
2.
Kompensasi (compensation)
8. Kerugian terhadap hak milik usaha, termasuk keuntungan
yang hilang
Haruslah disediakan, yang mencakupi:
1. Pelayanan hukum
2. Psikologi, perawatan medis, dan pelayanan atau perawatan
lainnya
3. Rehabilitasi
3. Tindakan untuk memulihkan martabat dan reputasi (nama
baik) sang korban
Tersedinya atau diberikannya kepuasan dan jaminan bahwa
perbuatan serupa tidak akan terulang lagi di masa depan
dengan mencakupi:
1. Dihentikannya pelanggaran yang berkelanjutan
2. Verifikasi fakta-fakta dan pengungkapan kebenaran
sepenuhnya secara terbuka
3. Keputusan yang diumumkan demi kepentingan korban
4. Permintaan maaf, termasuk pengakuan di depan umum
mengenai fakta-fakta dan penerimaan tanggung jawab,
5. Diajukannya ke pengadilan orang-orang yang
bertanggungjawab atas pelanggaran
6. Peringatan dan pemberian hormat kepada para korban
4.
Jaminan kepuasan dan
ketidakberulangan
7. Dimasukkannya suatu catatan yang akurat menganai
pelanggaran HAM dalam kurikulum dan bahan-bahan
pendidikan
24
8. Mencegah berulangnya pelanggaran dengan cara seperti:
a. Memastikan pengendalian sipil yang efektif atas militer
dan pasukan keamanan
b. Membatasi yurisdiksi mahkamah militer
c. Memperkuat kemandirian badan peradilan
d. Melindungi profesi hukum dan para pekerja hak asasi
manusia
e. Memberikan pelatihan hak asasi manusia pada semua
sektor masyarakat, khususnya kepada militer dan
pasukan keamanan dan kepada para pejabat penegak
hukum.
1.1. Kesesuaian Hukum Internasional Dengan Hukum Nasional
Sebagai mana disebutkan dalam uraian sebelumnya, hak atas kompensasi dan restitusi baik dalam UU No.
26 tahun 2000 merupakan hak dari korban pelanggaran HAM yang berat. Sementara dalam UU No. 13
tahun 2006 hak kompensasi hanya ditujukan pada korban pelanggaran HAM yang berat. Pelanggaran HAM
yang berat sebagaimana dinyatakan dalam pasal 7 UU No. 26 tahun 2000 adalah kejahatan Genosida dan
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan.
Merujuk pada hukum internasional, setidaknya terdapat dua ketidaksesuaian dengan hukum internasional
yakni mengenai mengenai penggunaan istilahnya, yakni perbedaan dalam menggunakan kata
“kompensasi” dan “restitusi”. Penggunaan terminologi kompensasi dan restitusi dalam hukum nasional
memiliki definisi yang sangat terbatas. UU No. 26 tahun 2000 maupun UU No. 13 tahun 2006 hanya
mengenal bentuk-bentuk pemulihan, tetapi tidak mengenai hak atas pemulihannya itu sendiri. Hak atas
pemulihan yang dimaksud disini adalah hak menunjuk pada semua tipe pemulihan baik material maupun
non material bagi para korban pelanggaran HAM. Pemulihan itu kita kenal dengan istilah kompenasi,
restitusi dan rehabilitasi. Pemulihan dengan demikian merupakan bentuk umum dari berbagai bentuk
pemulihan kepada para korban. Dengan demikian, maksud dari pemulihan ini adalah usaha memperbaiki
masa lalu dan menetapkan norma-norma untuk masa depan.
Meskipun telah mengakui hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat, perlu untuk meletakkan kembali
dan menyesuaikan maksud dari hak-hak atas pemulihan sesuai dengan norma dan hukum internasional.
1.2. Kekeliruan Konsep yang diadopsi dalam UU No. 13 Tahun 2006
Pasal 1 ayat (4) PP No. 3 tahun 2002, menyebutkan bahwa kompensasi adalah ganti kerugian yang
diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi
tanggung jawabnya. Definisi ini sama dengan definisi yang terdapat dalam Pasal 35 UU No. 26 tahun 2000.
Yang kemudian konsep kompensasi ini dimasukkan juga menjadi salah satu hak korban dalam Pasal 7 UU
No. 13 tahun 2006.
Dari pengertian ini, “kompensasi” dapat ditafsirkan bahwa ganti kerugian kepada korban diambil alih oleh
negara dari kewajiban pelaku atau pihak ketiga untuk membayar ganti kerugian. Sehingga harus dibaca
bahwa untuk adanya kompensasi, harus terlebih dahulu ada pelaku yang dinyatakan bersalah dan dipidana
serta diperintahkan untuk membayar ganti kerugian kepada korban. Tetapi, karena pelaku tidak mampu
membayarnya, yang bisa disebabkan karena korbannya terlalu banyak atau jumlahnya ganti kerugian yang
terlalu besar, maka negara akan mengambilalih tanggungjawab pelaku ini. Pengertian inilah yang tampak
terlihat dalam praktek di pengadilan HAM di Indonesia.
Definisi kompensasi seperti ini menyempitkan makna kompensasi, terutama yang terkait dengan tanggung
jawab negara atas pemulihan terhadap korban. Dan tentunya sangat berbeda jauh dengan prinsip-prinsip
25
hukum HAM internasional37, dimana disana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kompensasi adalah
kewajiban yang harus dilakukan negara terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia (yang berat)
untuk melakukan pembayaran secara tunai atau diberikan dalam berbagai bentuk, seperti perawatan
kesehatan mental dan fisik, pemberian pekerjaan, perumahan, pendidikan dan tanah38.
Jadi, pengertian dari kompensasi itu diberikan kepada korban bukan karena pelaku tidak mampu. Tetapi
sudah menjadi kewajiban negara (state obligation) untuk memenuhinya ketika terjadi pelanggaran hak
asasi manusia yang berat dan mengakibatkan adanya korban.
Dengan demikian, bagaimana mungkin ketentuan yang secara konseptual saja sudah salah, bisa
diterapkan secara efektif. Dan hasilnya sudah kita lihat dari tiga Pengadilan HAM yang sudah dilaksanakan
di Indonesia. Tidak ada satupun korban yang mendapatkan kompensasi. Pengalaman pengadilan ham ad
hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur menunjukkan bahwa keputusan-keputusan dalam
kasus-kasus tersebut menyatakan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat dan ada korban sebagai
akibat pelanggaran HAM tersebut tetapi karena pelaku tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya, secara
otomatis tidak ada kewajiban untuk membayar ganti kerugian kepada korban.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa pemenuhan hak-hak korban atas kompensasi dan restitusi
digantungkan dengan adanya kesalahan pelaku. Dalam arti, korban baru akan mendapatkan kompensasi
dan restitusi apabila pelakunya dinyatakan bersalah oleh pengadilan39. Apabila peristiwa pelanggaran hak
asasi manusia-nya terbukti, dan pelaku dinyatakan bersalah, maka korban berhak atas kompensasi.
Apabila tidak terbukti, maka korban-pun tidak berhak mendapatkan kompensasi (dan atau restitusi).
Pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok telah secara nyata menerapkan dan mengadopsi kekeliruan dalam
memahami konsep kompensasi dan restitusi. Hal ini tampak dari adanya prasyarat yang harus terpenuhi
agar korban mendapatkan kompensasi dan restitusi yaitu dinyatakan bersalah dan dipidananya pelaku40.
Padahal, sudah menjadi prinsip hukum ham internasional bahwa korban pelanggaran hak asasi manusia
berhak mendapatkan kompensasi (dan restitusi) tanpa harus menunggu apakah pelakunya dipidana atau
tidak.
.
Pengalaman membuktikan bahwa tidak ada satupun korban yang mendapatkan kompensasi karena tidak
ada pelaku yang dihukum atau terbukti. Padahal, dari pengalaman yang ada, banyak terjadi peristiwa
pelanggaran ham berat-nya terbukti ada dan terdapat korban, tetapi pelaku (terdakwa) tidak bisa dimintai
pertanggungjawabannya.
2. Persoalan Prosedur dalam Pemenuhan Hak-hak Korban
Disamping kekeliruan pengadopsian konsep hak atas pemulihan korban, UU No. 26 tahun 2000 juga
menimbulkan sejumlah permasalahan, terutama yang berkaitan dengan prosedur dalam pemenuhan hakhak
korban. Hal ini terkait dengan adanya klausul yang menyatakan bahwa korban dapat memperoleh hakhaknya
dengan melalui proses pengadilan. Padahal prosedur yang tersedia di pengadilan tersebut tidak
37 Theo Van Boven, Op Cit
38 Dalam hal ini kompensasi diberikan untuk setiap kerusakan atau kerugian yang secara ekonomis dapat diperkirakan
nilainya, sebagai akibat dari pelanggaran hak asasi manusia, seperti : kerugian fisik dan mental; kesakitan, penderitaan dan
tekanan batin; kesempatan yang hilang (lost opportunity), misalnya pendidikan dan pekerjaan; hilangnya mata pencaharian dan
kemampuan mencari nafkah; biaya medis dan biaya rehabilitasi lain yang masuk akal; kerugian terhadap hak milik atau usaha,
termasuk keuntungan yang hilang; kerugian terhadap reputasi atau martabat; biaya-biaya lain yang masuk akal dikeluarkan untuk
memperoleh pemulihan.
39 Permohonan Hak Uji Materiil terhadap Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi, Tim Advokasi Kebenaran Dan Keadilan, 25 April 2006, hal 17.
40 Putusan No. 01/Pid. HAM/Ad Hoc/2003/PN.JKT.PST atas nama Sutrisno Mascung, dkk, 20 Agustus 2004, hal. 143-
145.
26
disiapkan secara jelas dan lengkap. Akibatnya, prosedur yang tersedia tersebut malah semakin
menjauhkan hak korban atas kompensasi dan restitusi.
2.1. Putusan Kompensasi dan Restitusi Harus Dalam Amar Putusan
Salah satu masalah mendasar berkaitan dengan pemberian kompensasi dan restitusi adalah adanya
klausul yang menyatakan bahwa Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi harus dalam amar putusan
Pengadilan41.
Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa korban baru akan mendapatkan kompensasi dan restitusi
ketika sudah ada putusan Pengadilan HAM yang berkekuatan tetap, yakni ketika tidak ada lagi upaya
hukum yang dapat ditempuh, semua upaya hukum sudah ditempuh, mulai dari banding, kasasi dan
peninjauan kembali. Sehingga, putusan kompensasi tidak bisa segera dieksekusi atau dilaksanakan.
Akibatnya korban tidak dapat segera melakukan pemulihan, dan semakin panjang pulalah jalan yang harus
ditempuh oleh korban untuk mendapatkan hak-haknya.
Ketentuan ini tentunya sangat kontradiktif dengan tujuan kompensasi ini, yakni untuk memulihkan korban ke
keadaan semula (restitutio in integrum)42 dan prinsip dalam PP No. 3 tahun 2002 yang menyatakan bahwa
pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi harus dilaksanakan secara tepat, cepat dan layak.43
Bisa dibayangkan berapa lama waktu harus dilalui korban untuk memperoleh hak-haknya, mulai dari
terjadinya pelanggaran ham yang berat; penyelidikan oleh Komnas HAM; penyidikan dan penuntutan oleh
Kejaksaan Agung; proses PN tingkat pertama, banding dan kasasi. Belum lagi kalau ada PK. Ada
kemungkinan tiga sampai lima tahun korban baru mendapatkan kompensasi. Atau bahkan puluhan tahun
seperti yang terjadi dalam kasus Tanjung Priok.
Sebaiknya pengajuan kompensasi ini tidak harus menunggu sampai putusan berkekuatan hukum tetap.
Pengajuan dapat dilakukan sesaat setelah korban dipanggil Komnas HAM sebagai saksi (korban) dalam
pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Karena sejak penyelidikan, Komnas HAM sudah dapat
mengidentifikasi siapa-siapa yang menjadi saksi dan atau korban. Jadi, prosesnya tidak harus menunggu
putusan yang berkekuatan hukum tetap.
2.2. Mengenai Orang Yang Berhak Mendapatkan Kompensasi dan Restitusi
UU No. 26 tahun 2000, UU 13 tahun 2006 dan PP No. 3 tahun 2002 menentukan bahwa korban dan atau
ahli warisnya sebagaimana dimaksud dalam peraturan ini berhak atas kompensasi dan restitusi. Hal ini
dapat dimengerti, mengingat merekalah yang paling menderita akibat terjadinya kejahatan. Namun, harus
diperhatikan perkembangan lain saat ini yang menunjukkan ketika terjadinya kejahatan, tidak hanya korban
dan keluarganya. Tetapi juga orang-orang terdekat korban atau yang mendampingi korban dan keluarganya
juga terkadang terkena dampak. Sehingga harus diberikan peluang bagi orang-orang terdekat atau
pendamping yang memberikan bantuan dan perlindungan kepada korban dapat memperoleh “penggantian”
atas biaya yang dikeluarkan ataupun kerugian yang dialaminya ketika mendampingi korban dan
keluarganya.
2.3. Jangka Waktu Pengajuan
Salah satu masalah penting yang luput dari perhatian pembuat UU berkaitan dengan masalah kompensasi
dan restitusi adalah tidak diatur dan tidak ditentukannya jangka waktu pengajuan permohonan kompensasi
dan restitusi. Apakah sesaat setelah terjadi pelanggaran ham berat? Setelah penyelidikan oleh Komnas
41 Pasal 35 ayat (2) UU No. 26 tahun 2000 jo Pasal 6 ayat (1) PP No. 3 tahun 2002
42 Torture Survivor’s, Op Cit, hal 28
43 Lihat Pasal 2 ayat (2) PP No. 3 tahun 2002.
27
HAM? Setelah penyidikan dan penuntutan oleh Jaksa Agung atau pada saat persidangan di pengadilan?.
Inilah masalah-masalah pokok yang paling banyak muncul selama persidangan di tiga pengadilan ham
yang telah dilaksanakan.
Untuk pengadilan HAM Timor-timur misalnya, isu kompensasi dan restitusi sama sekali tidak muncul dalam
persidangan, baik dari pihak korban, jaksa penuntut umum maupun hakim. Hal ini disebabkan karena PP
No. 3 tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Bagi Korban Pelanggaran HAM Berat
dikeluarkan setelah berlangsungnya persidangan44. Sehingga, para pihak yang berkepentingan, dalam hal
ini korban, jaksa penuntut umum dan hakim, tidak dapat langsung memahami dan menginternalisasi
ketentuan yang terdapat didalamnya. Akibatnya, hakim dan jaksa penuntut umum, terutama jaksa penuntut
umum jaksa sebagai garda terdepan dalam memperjuangkan hak-hak korban, sekali lagi tidak mampu
memaknai signifikansi dan pentingnya hak-hak pemulihan bagi korban45.
Untuk kasus Tanjung Priok dan Abepura, tidak ada ketentuan mengenai jangka waktu ini disikapi para
korban dengan mengajukan permohonan secara langsung ke pengadilan pada saat mereka diperiksa
sebagai saksi di pengadilan. Mekanisme ini sebenarnya cukup baik, mengingat korban dapat secara
langsung meminta apa yang diinginkan kepada majelis hakim yang memeriksa perkaranya. Yang menjadi
masalah adalah, yang memiliki kesempatan untuk mengajukan permohonan kompensasi dan atau restitusi
hanyalah para korban yang dipanggil pengadilan untuk memberikan keterangan sebagai saksi. Sedangkan
yang tidak dipanggil, mereka tidak memiliki peluang untuk mengajukan permohonan.
Disamping, pengajuan secara langsung ke pengadilan, korban juga menyampaikan permohonannya melalui
jaksa penuntut umum. Ini dilakukan korban dengan harapan pada waktu jaksa penuntut umum mengajukan
tuntutan, akan disertakan permohonan kompensasi dan restitusi yang dimohonkan para korban. Berbagai
cara yang ditempuh korban ini dilakukan untuk memenuhi ketentuan Pasal 35 UU No. 26 tahun 2000 jo PP
No. 3 tahun 2000 yang menentukan bahwa kompensasi dan restitusi (harus) dicantumkan dalam amar
putusan.
2.4. Jumlah Atau Besaran Kompensasi
Secara umum PP No. 3 tahun 2002 hanya menetapkan pihak yang berhak mendapatkan kompensasi dan
restitusi serta Instansi Pemerintah Terkait yang berwenang melakukan pembayaran. Tetapi sama sekali
tidak menyinggung persoalan jumlah atau besaran kompensasi dan restitusi yang dapat diajukan atau
diklaim oleh korban. Akibatnya, sebagaimana terjadi di Pengadilan HAM Tanjung Priok, korban dan
keluarganya, melakukan penghitungan sendiri terhadap jumlah kerugian yang dialami, baik kerugian materiil
maupun immateriil. Kerugian materiil adalah kerugian yang bisa dihitung dengan uang. Hal itu mencakup
kerugian harta benda, pekerjaan, pengobatan, dan transportasi. Sedangkan, kerugian immateriil atau
kerugian yang tidak bisa dihitung dengan uang mencakup stigmatisasi, pengungkapan kebenaran, dan
trauma psikologis46.
Menurut pihak korban, acuan untuk menghitung formulasi penghitungan kerugian materiil didasari pada
Keputusan Mahkamah Agung Nomor 74 K/FIP/1969 pada 14 Juni 1969 mengenai Penilaian Uang
Dilakukan Dengan Harga Emas. Lalu, didasari pula Keputusan Mahkamah Agung Nomor 63 K/PDT/1987
pada 15 Agustus 1988 mengenai Pembayaran Ganti Kerugian Yang Didasari Pada 6 Persen Per Tahun.
Sehingga, dari situ, muncul sebuah rumus yakni nilai kerugian dikalikan harga emas tahun 2004 dibagi
44 PP No. 3 tahun 2002 dikeluarkan pada tanggal 13 Desember 2002. Sedangkan proses persidangan telah
dilangsungkan sejak Februari 2002.
45 Lihat Progress Report Pengadilan HAM Tanjung Priok # 6, “Kompensasi, Restitusi dan Rehabiltasi Pelanggaran HAM
yang berat” Jakarta, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 30 April 2004.
46 KCM, Kompensasi untuk Korban Priok Rp20 Miliar Lebih, 18 Juni 2004
28
harga emas tahun N (tahun peristiwa terjadi-red). Hasilnya dikali 0,5. Setelah diketahui hasilnya,
ditambahkanlah enam persen dari hasil tersebut. Sehingga, rumus ditambah enam persen dari rumus
menghasilkan nilai kerugian secara total.
Metode penghitungan kerugian ini kemudian diserahkan korban, melalui Kontras kepada Kejaksaan Agung
untuk dijadikan bahan pertimbangan ketika menyusun tuntutan hukum (requisitor) mengenai kompensasi
dan restitusi.
Sedangkan untuk peristiwa Abepura, metode yang digunakan dalam menghitung kerugian ini adalah
dengan menggunakan pendekatan kerugian yang secara riil dialami serta biaya-biaya lain yang
dikeluarkan, misalnya pembunuhan secara kilat; penyiksaan; meninggal dalam tawanan polisi; mereka yang
mengalami cacat tetap, dan mereka yang harta miliknya dirusak. Kerugian, kerusakan dan penderitaan
yang dialami ini kemudian dinyatakan dalam jumlah uang yang dituntut. Beberapa dari jumlah ini adalah
jumlah aktual biaya yang dikeluarkan oleh korban: biaya rumah sakit dan biaya kerusakan harta benda.
Jumlah lain adalah jumlah simbolis, yang kebanyakan merupakan hitungan adat, termasuk dalam hal ini
adalah kerugian karena nafkah tidak lagi dapat diusahakan karena cacat tetap, biaya perdamaian.
Kesemuanya ini dihitung secara persis sesuai dengan yang dialami47.
Berbagai metode penghitungan kerugian muncul sebagai dampak langsung dari tidak jelasnya pengaturan
mengenai kompensasi dan restitusi sebagaimana terdapat dalam PP No. 13 tahun 2002.
Sebaiknya, dalam membuat peraturan perundangan yang berkaitan dengan kompensasi dan restitusi,
Pemerintah memasukkan juga ketentuan atau klausul yang mengatur mengenai metode penghitungan ganti
kerugian dan hal-hal yang dapat di-cover dalam kompensasi dan restitusi yang dapat diklaim oleh korban
47 Berita Abepura, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kasus Abepura, Vol. II/BA/VIII/05
29
Bagian IV
Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Kesimpulan
Pengakuan atas hak-hak korban kejahatan telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Hal ini terlihat dari pengaturan hak “ganti rugi” kepada korban dalam UU No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, dan UU No. 13 tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Namun, adanya berbagai peraturan tersebut di atas mengakibatkan adanya kerancuan dalam penggunaan
istilah kompensasi dan restitusi, yang apabila tidak diselaraskan akan berimplikasi pada benturan regulasi
dan menyebabkan ketidakjelasan dalam implementasinya.
Dalam UU No. 26 Tahun 2000 disebutkan bahwa korban pelanggaran HAM mempunyai hak atas
kompensasi dan restitusi, yang juga diatur dalam peraturan pelaksanaannya yakni Peraturan Pemerintah
No. 3 Tahun 2002 tentang Tata Cara Pemberian Kompensasi, restisusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban
Pelanggaran HAM yang berat. Namun demikian, sampai dengan saat ini belum ada satupun korban
pelanggaran HAM yang berat mendapatkan hak atas kompensasi dan restitusi. Hal ini diakibatkan karena
adanya kelemahan baik mengenai konsep kompensasi dan restitusi maupun mengenai prosedur
pemenuhannya. Kelemahan-kelemahan tersebut dapat dilihat dari serangkaian praktek penerapan
ketentuan tentang kompensasi dan restitusi dalam pengadilan HAM, dan dikomparasikan dengan ketentuan
dalam hukum internasional.
Bahwa sejak tahun 2006 telah muncul UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang
juga mengatur tentang hak korban pelanggaran HAM atas kompensasi dan hak korban atas restitusi.
Namun, pengaturan dalam UU No. 13 Tahun 2006 tersebut ternyata tidak memberikan pengertian yang
memadai tentang maksud dari kompensasi dan restitusi. Dalam UU tersebut hanya dinyatakan bahwa
pengaturan tentang pemberiaan kompensasi dan restitusi akan diatur dalam peraturan pemerintah. Hal ini
berarti UU No. 13 tahun 2006 mengulangi kesalahan konsep kompensasi dan restitusi, ketidakjelasan
prosedur dan kegagalan dalam penerapan hak-hak tersebut. Akibatnya korban akan semakin jauh dalam
mendapatkan atas pemulihan yang efektif sebagaimana dipersyaratkan dalam berbagai instrumen
internasional.
2. Rekomendasi
Berdasarkan atas kesimpulan diatas, penting untuk meluruskan kembali konsep tentang kompensasi dan
restitusi kepada korban, khususnya korban pelanggaran HAM yang berat. meluruskan konsep disini berarti
memberikan pengertian yang jelas dan sesuai dengan norma-norma internasional dan menjamin prosedur
yang efektif bagi korban dalam memperoleh hak-hak nya.
UU No. 13 tahun 2006, yang memberikan mandat pembentukan peraturan pemerintah sebagai
pelaksanaan dari hak kompensasi dan restitusi harus mengatur tentang pengertian kompensasi dan
restitusi yang lebih sesuai dengan norma internasional, termasuk bentuk-bentuk kompensasi dan restitusi
bagi korban. Berkaitan dengan prosedur, peraturan pemerintah harus dirumuskan dengan
mempertimbangkan aspek kemudahan dan prosedur yang efektif bagi korban dalam mengajukan hak atas
pemulihan kepada mereka.
30
Rekomendasi berkaitan dengan pengaturan tentang kompensasi dan restitusi:
1. Kompensasi harus dirumuskan sebagai hak korban tanpa adanya keterkaitan dengan dihukumnya
pelaku. Hal ini untuk memastikan bahwa kompensasi diberikan oleh negara dalam hal tidak
ditemukannya pelaku, atau bebasnya pelaku karena tidak dapat dimintai pertanggungjawaban,
namun telah jelas ada korban atas kejahatan yang terjadi.
2. Bentuk-bentuk kompensasi dan restitusi harus juga dirumuskan secara jelas sebagai panduan oleh
korban maupun penegak hukum lainnya dalam menentukan bentuk kompensasi dan restitusi.
Termasuk disini adalah besaran ganti kerugian dalam bentuk uang harus juga ada panduan dan
rumusan yang jelas. Dalam hal ini kompensasi diberikan untuk setiap kerusakan atau kerugian
yang secara ekonomis dapat diperkirakan nilainya, sebagai akibat dari pelanggaran hak asasi
manusia, seperti: kerugian fisik dan mental; kesakitan, penderitaan dan tekanan batin; kesempatan
yang hilang (lost opportunity), misalnya pendidikan dan pekerjaan; hilangnya mata pencaharian
dan kemampuan mencari nafkah; biaya medis dan biaya rehabilitasi lain yang masuk akal;
kerugian terhadap hak milik atau usaha, termasuk keuntungan yang hilang; kerugian terhadap
reputasi atau martabat; biaya-biaya lain yang masuk akal dikeluarkan untuk memperoleh
pemulihan.
3. Pengajuan kompensasi dan restituis dapat diajukan oleh korban baik secara individual maupun
kelompok secara langsung maupun melalui perwakilan korban yakni pendamping korban,
penesehat hukum korban maupun lembaga perlindungan saksi.
4. Pengajuan kompensasi dan restitusi tidak terbatas pada orang-orang terdekat korban atau yang
mendampingi korban dan keluarganya juga terkadang terkena dampak. Sehingga harus diberikan
peluang bagi orang-orang terdekat atau pendamping yang memberikan bantuan dan perlindungan
kepada korban dapat memperoleh “penggantian” atas biaya yang dikeluarkan ataupun kerugian
yang dialaminya ketika mendampingi korban dan keluarganya.
5. Pengajuan kompensasi dan restitusi dapat dilakukan sesaat setelah korban dipanggil pihak
penyelidik sebagai saksi (korban) dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Karena sejak
penyelidikan, sudah dapat diidentifikasikan siapa-siapa yang menjadi saksi dan atau korban. Jadi,
prosesnya tidak harus menunggu putusan yang berkekuatan hukum tetap.
31
Daftar Pustaka
Buku
1. Naskah Akademis RUU Perlindungan Saksi dalam Proses Peradilan Pidana, disusun oleh Sentra HAM
UI dan Indonesia Corruption Watch, 2001.
2. Theo Van Boven, “Mereka Yang Menjadi Korban, Hak Korban atas Restitusi, Kompensasi, dan
Rehabilitasi, ELSAM, 2002
3. The Redress Trust, Bringing The International Prohibition Of Torture Home : National Implementation
Guide For The Un Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or
Punishment, January 2006
4. The Redress Trust, Reparation : A Sourcebook For Victims Of Torture And Other Violations Of Human
Rights And International Humanitarian Law, 2003
5. The Redress Trust, Torture Survivors’ : Perceptions Of Reparation (Preliminary Survey), 2001
6. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika Jakarta, 2003.
Laporan
7. Laporan Pemantauan, “Pengadilan Yang Melupakan Korban”, Kelompok Kerja Pemantau Pengadilan
HAM, ELSAM, KontraS dan PBHI, 24 Agustus 2004
8. Penghitungan Kompensasi Korban Pelanggaran HAM Tanjung Priok, Kontras, Jakarta, Juni 2004
9. Progress Report Pengadilan HAM Tanjung Priok # 6, “Kompensasi, Restitusi dan Rehabiltasi
Pelanggaran HAM yang berat” Jakarta, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 30 April
2004.
10. Surat dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) No. 250/SK-Kontras/VI/2004
yang ditujukan kepada Jaksa Agung RI.
Dokumen Pengadilan
11. Permohonan penetapan eksekusi putusan kompensasi, yang telah didaftarkan pada 31 Januari 2007
dengan No. Perkara 18/PDT.P/2007 PN Jakarta Pusat
12. Permohonan Hak Uji Materiil terhadap Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi, Tim Advokasi Kebenaran Dan Keadilan, 25 April 2006
13. Putusan No. 01/Pid. HAM/Ad Hoc/2003/PN.JKT.PST atas nama Sutrisno Mascung, dkk, 20 Agustus
2004
14. Putusan Perkara No. : 03/Pid.HAM/Ad Hoc/2003 a.n. terdakwa R. Butar-Butar 30 April 2004
15. Risalah Sidang Perkara NO. 006/PUU-IV/2006 Perihal Pengujian Uu No 27 Tahun 2004 Tentang
Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Terhadap UUD 1945 , 2 Agustus 2006
Peraturan Perundangan-undangan
16. UU No. 13 Tahun 2006 tentang Pelindungan Saksi dan Korban
17. UU No. 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Perppu No. 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terrorisme
18. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
19. UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
20. UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
21. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi, Dan
Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat
32
22. Peraturan Mahkamah Agung RI No. 2 tahun 2002 tentang Class Action
23. Keputusan Menteri Keuangan RI No. 983/KMK.01/1983 Tanggal 31 Desember 1983 tentang Tata Cara
Pembayaran Ganti Kerugian
Instrumen HAM
24. Basic Principles and Guidelines on the Right to Remedy and Reparation for Victims of Violations of
International Human Rights and Humanitarian Law 1995
25. Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34 tertanggal 29 November 1985 tentang Declaration of Basic
Principles of Justice for Victims of Crimes and Abuses of Power
Media Massa
26. Media Indonesia Online, “Upaya 13 korban pelanggaran berat HAM Tanjung Priok untuk mendapat
ganti rugi dari pemerintah kembali kandas”, 29 Februari 2007
27. Berita Abepura, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kasus Abepura, Vol. II/BA/VIII/05
28. KCM, Kompensasi untuk Korban Priok Rp20 Miliar Lebih, 18 Juni 2004
29. Kompas, 26 Mei 2004
30. Kompas 18 Juni 2004
31. Kompas 24 Juni 2004
32. Kompas 7 Agustus 2004
33. Kompas 21 Agustus 2004
34. Kompas 6 September 2004
35. Kompas 10 September 2004
33
LAMPIRAN
34
Profil Penulis
Wahyu Wagiman
Menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tahun 2001. Sejak April 2002 bekerja
sebagai peneliti di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Aktif melakukan studi dan riset
berkaitan dengan hukum dan hak asasi manusia.
Zainal Abidin
Menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tahun 2002. Aktif dalam monitoring
terhadap proses Pengadilan HAM Timor Timur. Bersama dengan Koalisi LSM terlibat dalam penyusunan
naskah akademis dan RUU Perlindungan Saksi dan Korban. Saat ini bergabung dengan Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia dan sedang melakukan beberapa penelitian mengenai isu HAM.
35
PROFIL
INDONESIA CORRUPTION WATCH
Bersama Rakyat Membasmi Korupsi
Indonesia Corruption Watch (ICW) lahir pada tanggal 21 Juni 1998 di tengah-tengah gerakan reformasi
yang menghendaki pemerintahan pasca Soeharto yang bersih dan bebas dari KKN. Ide pembentukan
Organisasi Non Pemerintah (Ornop) ini diprakarsai oleh beberapa tokoh masyarakat aktivis Ornop yang
memiliki integritas dan komitmen akan pemerintahan yang demokratis, transparan dan bersih dari KKN.
Pendirian ini bukan tanpa sebab, dilatarbelakangi oleh korupnya pemerintahan Soeharto yang mewariskan
bibit-bibit korupsi, kelompok masyarakat merasa perlu berbicara dan bertindak dalam persoalan ini.
Korupsi tidak saja mendominasi wilayah eksekutif dan legislatif (political corruption), tetapi juga lembaga
yudikatif (judicial corruption), bahkan diwilayah-wilayah sosial seperti bantuan asing, pengungsi dan
bencana alam (humanitarian corruption) tidak terlepas dari praktek korupsi. Pendek kata, nyaris tidak ada
ruang kehidupan yang bebas dari korupsi. Realitas ini diterima masyarakat sebagai bagian dari kebudayaan
yang menyimpang.
Krisis ekonomi yang nyaris melumpuhkan kehidupan masyarakat Indonesia pada tahun 1997, banyak yang
menuding, dipicu atau diperburuk oleh masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Monopoli, proteksi,
dan sumber daya ekonomi yang vital diberikan atas nama kepentingan nasional kepada kerabat dan konco
penguasa. Birokrasi dan hukum hanya melayani penguasa dan mereka yang sanggup membelinya.
Sementara rakyat harus membayar mahal untuk pelayanan umum yang buruk.
Korupsi di tingkat elit ditimbulkan oleh adanya sentralisasi kekuasaan politik dan ekonomi di tangan
presiden, tanpa adanya transparansi dan akuntabilitas publik. Kekuasan presiden tidak bisa dikontrol
karena DPR telah disubordinasi dan kekuataan civil society menjadi tidak berdaya karena mendapat
regimentasi yang begitu dahsyat. Praktis pembagian kekuasaan tidak terjadi dan karenanya checks and
balances dalam hubungan antara negara dan masyarakat sipil menjadi macet.
Korupsi di tingkat birokrasi rendahan terjadi selain sebagai konsekuensi dari korupsi di tingkat elit, tetapi
juga karena gaji pegawai negeri yang rendah dan terbukanya peluang di dalam sistem birokrasi yang
panjang dan sentralistis. Praktik suap-menyuap antara penyelenggara negara dan masyarakat adalah
pemandangan sehari-hari yang membentuk moral korupsi sehingga korupsi dirasakan sulit untuk
diberantas.
Aktor utama korupsi adalah pemerintah dan sektor swasta, dan rakyat banyak adalah korban utamanya.
Karenanya ICW percaya bahwa gerakan anti korupsi harus bertumpu pada pemberdayaan rakyat untuk
mengimbangi kolaborasi pemerintah dan sektor swasta. Hanya dengan cara itu reformasi kebijakan di
bidang hukum, politik, ekonomi, dan sosial yang mendukung pemerintahan yang bersih dari korupsi dapat
diwujudkan.
Karena itu ICW memiliki misi pemberdayaan masyarakat baik dalam memperjuangkan terwujudnya sistem
politik, hukum, ekonomi dan birokrasi yang bersih dari korupsi dan berlandaskan keadilan sosial. Maupun
memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan dan pengawasan kebijakan publik.
Sedangkan dalam menjalankan misi tersebut, ICW mengambil peran untuk memfasilitasi penyadaran dan
pengorganisasian masyarakat dibidang hak-hak warganegara dan pelayanan publik. Penguatan kapasitas
masyarakat dalam proses pengambilan dan pengawasan kebijakan publik. Mendorong prakarsa
36
masyarakat untuk membongkar kasus-kasus korupsi yang terjadi dan melaporkan pelakunya kepada
penegak hukum serta masyarakat luas untuk diadili dan mendapat sanksi sosial. Meningkatkan kapasitas
masyarakat dalam penyelidikan dan pengawasan korupsi. Menggalang kampanye publik guna
mendesakkan reformasi hukum, politik dan birokrasi yang kondusif bagi pemberantasan korupsi. Serta
memfasilitasi penguatan good governance di masyarakat sipil dan penegakan standar etika di kalangan
profesi.
Sekretariat
Jl. Kalibata Timur IV D No. 6 Jakarta Selatan 12740
Telp. 021 7901885, 7994015 Fax. 7994005
Homepage: http//www.antikorupsi.org
Email : icwmail@indosat.net.id
37
The Institute for Criminal Justice Reform, disingkat ICJR merupakan sindikasi individu-individu yang
melakukan kajian independen, memfokuskan diri pada reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia.
Sistem peradilan pidana seperti diketahui menduduki tempat yang sangat strategis dalam kerangka
membangun the Rule of Law. Demokrasi sendiri hanya dapat berfungsi dengan benar apabila ada
pelembagaan terhadap konsep rule of law.
Reformasi sistem peradilan pidana yang berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia harus mewarnai
proses pelembagaan demokrasi yang berjalan. ICJR berusaha mengambil prakarsa mendukung langkahlangkah
tersebut. Memberi dukungan dalam konteks membangun penghormatan terhadap rule of law dan
secara bersamaan membangun budaya hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana.
Secara lebih spesifik, ICJR bertujuan : pertama, memberikan kontribusi dalam perumusan kebijakan yang
lebih baik dibidang peradilan pidana, baik dalam kerangka legalnya maupun dalam kerangka prevensi
kejahatan (crime – preventaton policies); kedua, memberikan kontribusi dalam konteks reformasi institusiinstitusi
yang terkait dengan bekerjanya sistem peradilan pidana, yakni kepolisian, kejaksaan, kehakiman,
pemasyarakatan (correction), dan lembaga perlindungan saksi; ketiga, membantu meningkatkan kapasitas
dan mentransformasi nilai-nilai hak asasi manusia dan kebebsan dasar kedalam institusi-institusi peradilan
pidana; keempat, memberikan wadah dan sarana bagi civil society terlibat secara konstruktif dalam upaya
mereformasi sistem peradilan pidana.
Sekertariat :
Jl Merdeka Barat
Perum Griya kencana Blok AM No 3
Depok II Tengah. Telp: (021) 7700997.
Email: ICJR@gmail.com.
Website: www.criminaljustice.com
ICJR
The Institute For Criminal Justice Reform
38
Profil
KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI
Sejarah
Koalisi Perlindungan Saksi merupakan gabungan dari beberapa LSM/NGO yang fokus pada isu perempuan
dan anak, korupsi dan kejahatan terorganisir, Hak Asasi Manusia, lingkungan, pers, dan buruh migran.
Selain di Jakarta, Koalisi Perlindungan Saksi juga terbentuk di beberapa kota di Indonesia. Koalisi ini
dibentuk dengan tujuan menguatkan jaringan advokasi untuk disahkannya Undang-Undang tentang
Perlindungan Saksi serta advokasi terhadap beberapa kasus-kasus yang menyangkut saksi dan atau
korban.
Beberapa kegiatan telah dilakukan oleh Koalisi Perlindungan Saksi - yang sudah terbentuk sejak tahun
2001- terutama difokuskan pada pembuatan dan penyempurnaan RUU Perlindungan Saksi serta sosialisasi
mengenai pentingnya saksi dan korban mendapatkan perlindungan, melakukan advokasi dalam proses
legislasi RUU Perlindungan Saksi dan Korban di DPR RI, serta mendorong berbagai kebijakan pemerintah
untuk merealisasikan perlindungan saksi dan korban pasca disahkannya UU No. 13 Tahun 2006.
Anggota Koalisi
Indonesia Corruption Watch (ICW), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Komisi Nasional
Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Wahana Lingkungan (WALHI), Lembaga
Bantuan Hukum (LBH APIK), Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), JARI INDONESIA, Aliansi
Jurnalisme Independen (AJI), Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI FH UI), Konsorsium
Buruh Migran (KOPBUMI), Tim Advokasi Pembela Aktivis Lingkungan (TAPAL), P3I (Perhimpunan
Pembela Publik Indonesia), Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Indepensi Peradilan (LeIP), Pusat Studi
Hukum dan Kebijakan (PSHK), Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KONTRAS), Institut
Titian Perdamaian (BAKUBAE), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) JAKARTA, Jaringan Advokasi Tambang
(JATAM), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Migran Care, Institut Perempuan Bandung, Komisi
Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak), DEMOS, Solidaritas Perempuan, Mitra Perempuan, LPHAM,
SANKSI BORNEO, Tranparancy Internasional Indonesia (TII), Masyarakat Anti Korupsi Surabaya
(MARAKs), Bali Corruption Watch (BCW), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Indonesian Court
Monitoring (ICM) Yogyakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, TELAPAK Bogor, SOMASI
Mataram NTB, Forum Indonesia Transparasi Anggaran (FITRA), Pusat Informasi dan Advokasi Rakyat
(PIAR) Kupang, GEMAWAN, LPSHAM Palu, Lembaga Bina Kesadaran Hukum Indonesia (LBKHI)
Yogyakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar.
Sekretariat Koalisi Perlindungan Saksi
1. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam)
Jl. Siaga II No 31 Pejaten Barat Jakarta 12510 Indonesia
Tel : (62-61) 797 2662, 791 92564 Fax : (62-61) 791 92519
Email : elsam@nusa.or.id website : www.elsam.or.id
2. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
Jl. Latuharhari 4 B Jakarta
Telp. 021-3903963 Fax . 021-3903922 Email: komnaspr@indo.net.id
3. Indonesia Corruption Watch (ICW)
Jl. Kalibata Timur IV D No. 6 Jakarta Selatan 12740
Telp. 021 7901885, 7994015 Fax. 7994005
Homepage : http//www.antikorupsi.org Email : icwmail@indosat.net.id
39