.

k

Kasus Sutet

⊆ 13.28 by makalah hukum | .

Gerakan Minoritas Kreatif

Aloys Budi Purnomo

Peristiwa sosial yang menyentuh nurani kita hari-hari ini adalah aksi mogok makan dan jahit mulut beberapa korban saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET).

Aksi yang dimulai M Safrudin, warga Ciseeng, Bogor, dan Nurdin, warga Cicalengka, Bandung, pada 27 Desember 2005 itu disusul oleh Jajang (Cianjur), Tarman (Sumedang), dan Romli (Bogor). Aksi ini kian menyedot perhatian saat dua perempuan, Saodah (32) dan Manisa (50), mengikuti mereka.

Sebagaimana dicatat Wisnu Dewabrata, mekanisme mogok makan dilakukan sebagai salah satu bentuk perjuangan, baik untuk memprotes ketidakadilan maupun untuk mempertahankan sesuatu yang diyakini, dengan jalan damai (Kompas, 19/1/2006). Dengan demikian, perjuangan mereka bukan sekadar mencari popularitas.

”Times of troubles”

Tidak berlebihan bila ditegaskan kembali, bangsa kita masih berada dalam situasi krisis. Sebagai bangsa, kita sedang menghadapi times of troubles. Masalah demi masalah terkait dengan hidup berbangsa dan bermasyarakat terus terjadi. Yang satu belum terselesaikan tuntas, muncul masalah lain yang tidak kalah berat.

Kekuatan-kekuatan yang seharusnya menyangga ruang publik hidup berbangsa dan bermasyarakat, yakni negara, pasar, dan masyarakat warga, tidak menjalankan perannya secara seimbang. Bahkan, ruang publik hidup berbangsa dan bernegara selalu diwarnai pertikaian, entah ideologis, entah praktis maupun politis. Masyarakat warga yang seharusnya hidup dalam sikap saling percaya dan saling hormat menjadi rusak karena sikap dan semangat komunalisme.

Para pelaku aksi mogok makan dan jahit mulut dapat diterima dalam konteks negara sebagai lembaga publik yang mempunyai kuasa regulatif membangun hidup yang demokratis, ternyata tidak menjalankan fungsi sebagaimana mestinya.

Mereka kurang—atau bahkan tidak—menata hidup bersama dan menyelenggarakan kepentingan umum yang sejahtera. Kenyataannya, negara lebih sering termanipulasi oleh kepentingan kelompok dan golongan daripada menyelenggarakan kesejahteraan umum!

Kasus SUTET menjadi salah satu contoh betapa lembaga publik yang seharusnya menopang negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan umum, justru menjalankan (per)usaha(an)nya dengan mengabaikan fairness, bahkan memenangkan yang kuat, menyengsarakan yang lemah. Inilah akar penyebab times of troubles di Tanah Air kita.

Akar times of troubles di republik ini juga tampak dalam salah urus dalam ruang publik. Salah urus itu termanifestasi pula dalam fakta korupsi yang semakin merajalela, merebaknya aksi kekerasan, maraknya ketidakadilan, dan rusaknya lingkungan hidup.

Interaksi antarporos ruang publik semakin runyam dipicu oleh arus deras globalisasi yang ditopang kekuatan modal besar yang justru memarginalkan kaum kecil, lemah, miskin dan tertindas. Ujung-ujungnya, aspek moral hidup berbangsa dan bernegara rusak karena pengabaian aspek manusiawi kehidupan.

Rakyat tidak diperlakukan sebagai manusia yang bermartabat dan layak dibela. Akibatnya, mereka mencari jalan dan cara untuk mengekspresikan diri di dalam gelombang times of troubles dengan melakukan aksi mogok makan dan jahit mulut demi menuntut keadilan.

Minoritas kreatif

Gelombang kerusakan ruang publik di tengah masa sulit itulah yang akan selalu memunculkan entah pribadi maupun kelompok yang disebut minoritas kreatif. Sebagaimana ditengarai oleh sejarawan Inggris, Arnold J Toynbee dalam masterpiece-nya A Study of History (London, 1961), sejarah hidup manusia akan selalu diwarnai oleh pasang surut kebudayaan tertentu.

Dalam bahaya kehancuran dan kerusakan, sejarah manusia justru diselamatkan dari kehancuran total oleh suatu kelompok yang disebut minoritas kreatif.

Kepekaan akan krisis, times of troubles, dapat mencerahkan sekelompok kecil orang yang kreatif untuk menyadari bahwa krisis dapat diubah menjadi saat yang tepat untuk bangkit dan bergerak, berjuang bersama membangun masa depan yang lebih baik (Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang, Nota Pastoral tentang Arah Dasar Umat Allah Keuskupan Agung Semarang 2006-2010, h 22-23).

Dalam konteks ini, kita dapat menempatkan para pelaku aksi mogok makan dan jahit mulut atas kasus SUTET sebagai bagian tak terpisahkan dari seluruh bangsa Indonesia yang berperan sebagai minoritas kreatif bagi republik ini yang saat ini berada dalam times of troubles.

Gerakan mereka memang tak seberapa dalam konteks seluruh bangsa. Namun, seruan mereka membentuk opini publik bahwa keadilan bagi masyarakat warga, terutama yang kecil, lemah, miskin, dan tertindas, memang harus terus-menerus diperjuangkan di republik ini.

Meski tampaknya tak akan didengar oleh para pengelola dan penentu ruang publik ini, seruan mereka dalam aksi demi keadilan akan dicatat dalam sejarah sebagai seruan kelompok minoritas kreatif.

Persoalan lebih lanjut adalah, adakah kepekaan lebih luas yang menyambut gayung aksi ini menjadi gerakan minoritas kreatif demi masa depan bangsa yang lebih adil dan sejahtera? Jawabannya ada pada kita sebagai bangsa Indonesia!

Aloys Budi Purnomo Rohaniwan; Pemimpin Redaksi Majalah INSPIRASI, Lentera yang Membebaskan, Tinggal di Semarang