.

k

Hukum Haid dan Nifas

⊆ 20.49 by makalah hukum | .

Haidh adalah darah yang dikenal para wanita. Tidak ada batasan tentang waktu maksimal dan minimanya dalam syari'at. Itu semua berpulang pada kebiasaan masing-masing.

Sedangkan nifas adalah darah yang keluar karena melahirkan. Batasan maksimal adalah empat puluh hari. Dari Ummu Salamah radhiallahu’anha ia berkata:

"Dulu para wanita yang nifas pada masa Rasulullah shollallahu’alaihiwassallam menahan diri selama empat puluh hari.”[1]

Jika ia melihat dirinya telah suci (dengan terhentinya darah-pent) sebelum empat puluh hari, maka dia harus mandi dan saat itu ia telah suci. Namun, jika darahnya terus mengalir setelah empat puluh hari, maka dia harus mandi pada hari keempat puluh dan ia suci ketika itu.

Hal-Hal yang Dilarang bagi Wanita yang sedang Haidh dan Nifas

Wanita yang sedang haidh dan nifas dilarang melakukan hal yang dilarang bagi orang yang berhadats. Selain itu juga dilarang:

[1] Shalat

[2] Puasa

Dia harus mengqadha'nya jika telah selesai. Dari Mu'adzah, dia berkata, "Aku bertanya kepada 'Aisyah, 'Kenapa para wanita yang haidh (diwajibkan) mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat?' Dia berkata, 'Ketika kami haid dalam masa Rasulullah shollallahu’alaihi wassallam, kami disuruh mengqadha puasa dan tidak disuruh mengqadha shalat."[2]

[3] Bersetubuh pada kemaluan

Berdasarkan firman Allah Ta'ala:

"Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, 'Haidh itu adalah suatu kotoran. ' Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat danmenyukai orang-orang yang menyucikan diri. "(QS. AI-Baqarah: 222).

Dan sabda Nabi shollallahu’alaihi wassallam:

"Berbuatlah sesuka hatirnu, kecuali bersetubuh”.[3]

[4] Thawafdi Ka'bah

[5] Mernegang Mushaf al Qur-an (Majmu' Fataawa Syaikh Abdul Aziz bin Baz VV452-453)

6. Berdiarn diri di Masjid (lihat Majmu' Fataawa Syaikh al Utsaimin XV 309-319)

7. Thalaq

Hukum Suami yang Menyetubuhi Isterinya yang sedang Haidh

Imam an-Nawawi rohimahullah berkata dalam kitab Syarh Muslim (III/204), "Jika seorang muslirn meyakini halalnya menyetubuhi wanita haidh pada kemaluannya, maka dia telah kafir dan murtad. Namun seseorang melakukannya tanpa meyakini kehalalannya, maka jika dia melakukannya karena lupa atau tidak tahu adanya darah haidh. Atau dia tidak tahu keharamannya atau dia dipaksa, maka dia tidak berdosa dan tidak pula wajib membayar kaffarat. Jika dia sengaja menyetubuhinya dan mengetahui adanya darah haidh serta haramnya perbuatan ini tanpa ada paksaan, maka dia telah melakukan dosa besar. Asy-Syafi'i menetapkannya sebagai dosa besar dan wajib baginya untuk bertaubat. Tentang wajibnya kaffarat, terdapat dua pendapat."

Saya katakan, "Pendapat yang rajih adalah wajib membayar kaffarat."

Berdasarkan hadits Ibnu 'Abbas radhiallahu’anhu, dari Nabi shollallahu’alaihi wassalam tentang seseorang yang menyetubuhi isterinya yang sedang haidh. Beliau bersabda:

"Dia wajib bersedekah sebanyak satu dinar atau setengah dinar."[4]

Diperbolehkannya mernilih dalam hadits tersebut kembali pada pembedaan antara permulaan keluamya darah dan akhimya.

Berdasarkan riwayat dari Ibnu 'Abbas radhiallahu’anhu secara mauquf: "Jika dia melakukannya pada permulaan keluamya darah, maka dia harus bersedekah dengan satu dinar. Dan jika pada akhir keluarnya, maka setengah dinar”.[5]

Istihadhah

Yaitu, darah yang keluar pada selain waktu haidh dan nifas, atau yang bersambung dengan keduanya (tetapi bukan terrnasuk keduanya-Ed,).

Jika darah tersebut keluar selain waktu haidh dan nifas, maka perkaranya jelas. Namun jika bersambung dengan haidh dan nifas, rnaka ketentuannya sebagai berikut:

Jika seorang wanita memiliki kebiasaan, maka apa yang melebihi kebiasaannya adalah darah istihadhah. Berdasarkan sabda Nabi shollallahu’alaihi wassalam pada Ummu Habibah:

"Berdiamlah selama waktu haidh yang biasa engkau jalani, kemudian mandi dan shalatlah."[6]

Jika dia bisa membedakan kedua darah tersebut, maka darah haidh adalah yang berwarna hitam sebagaimana dikenal. Sedangkan yang selain itu adalah istihadhah. Berdasarkan sabda Nabi shollallahu’alaihi wassalam pada Fathimah binti Abi Hubaisy:

"Jika memang itu darah haidh, maka ia berwarna hitam sebagaimana dikenal. Maka tinggalkanlah shalat. Jika tidak seperti itu, maka berwudhulah. Karena ia adalah penyakit."[7]

Jika ada seorang wanita yang baru baligh lalu mengalami istihadhah sedangkan dia tidak bisa membedakan, maka dikembalikan pada kebiasaan para wanita pada umumnya. Berdasarkan sabda Nabi shollallahu’alaihi wassalam pada Hamnah binti Jahsy:

"Ini adalah salah satu dorongan syaitan. Maka jalanilah haidhmu selama enam atau tujuh hari menurut ilmu Allah kemudian mandilah. Hingga jika kamu menganggap dirimu telah suci dan bersih, maka shalatlah selama dua puluh empat malam atau dua puluh tiga hari. Dan berpuasalah, karena itu sudah mencukupimu. Lakukanlah seperti itu setiap bulan. Sebagaimana para wanita menjalani haidh dan suci berdasarkan waktu haid dan suci mereka.”[8]

Hukum Wanita Istihadhah

Tidak diharamkan bagi wanita yang istihadhah hal-hal yang diharamkan pada wanita haidh. Hanya saja, dia wajib wudhu setiap akan shalat. Berdasarkan sabda Nabi shollallahu’alaihi wassalam kepada Fathimah binti Abi Hubaisy:

"Kemudian berwudhulah pada setiap akan shalat." [9]

Disunnahkan baginya untuk mandi setiap akan shalat sebagaimana disebutkan dalam pembahasan mandi-mandi yang disunnahkan.



[1] Hasan Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 530)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma'buud) (1/501 no. 307), Sunan at-Tirmidzi (1/92 no.39), clan Sunan Ibni Mqjah (1/213 no. 648).

[2] Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (1/265 no. 335)], ini aclalah lafazh clarinya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baan) (1/421 no. 321), Sunan at-Tirmidzi (1/87 no. 130), Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma'buud) (1/444 no. 259), clan Sunan Ibni Majah (1/207 no. 631).

[3] Shahih: [Shahiih Sunan Ibnu Majah (no. 527)], Shahiih Muslim (I/246 no. 302), Sunan Abi Dawud ('Aul1ul Ma'buud) (I/439 no. 255), Sunan at-Tirmidzi (IV /282 no. 4060), Sunan Ibnu Majah (I/211 no. 644), dan Sunan an-Nasa-i (I/152).

[4] Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 523)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma'buud) (I/445 no. 261), Sunan an-Nasa-i (I/153), Sunan Ibnu Majah (I/210 no. 640).

[5] Shahih Mauquuf: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 238)], Sunan Abi Dawud ('Aul1ul Ma'buud) (I/249 no. 262).

[6] Shahili: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 202)] dan Shahiih Muslim (1/264 no. 334 (65)).

[7] Shahih: [Irwaa'ul Ghaliil (no. 204)], Sunan an-Nasa-i (1/185), dan SunanAbi Dawud ('Aunul Ma'buud) (1/470 no. 283).

[8] Hasan: [Irwaa'ul Ghaliil (no. 205)], Sunan Abi Dawud ('Aunu! Ma'buud) (1/ 475 no. 284), Sunan at-Tirmidzi (1/83 no. 128), dan Sunan Ibni Majah (1/205/ no. 627), secara makna yang sama.

[9] Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 507)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma'buud) (1/490 no. 195), dan Sunan Ibni Majah (1/204 no. 624).