.

k

Selamat Datang di Blog Kami

⊆ 14.32 by makalah hukum | .


Coke zero
Coke zeros campaign “Life as it should be” is real fun on the Internet. You can direct your own small movie and afterwards send it to all your friends. Coke has found some old b/w film clips that you, as the director, can manipulate by using an easy voice recorder. You can write “the conversation” to your own clip and say what ever you want. Afterwards your movie competes with other movies to be the highest rated. This is living “life as it should be”. Beat your friends to it: http://www.zeroismore.com


Kategori yang tersedia :





SEE TO :






Euthanasia adalah Refleksi Kegagalan Jaminan Kesehatan

⊆ 17.19 by makalah hukum | .

Gonjang-ganjing permohonan euthanasia yang sempat melanda kita, sesungguhnya merupakan refleksi kegagalan negara dalam menyediakan sistem jaminan kesehatan bagi masyarakat. Itu dapat dicermati, setidaknya dari dua kasus permohonan euthanasia terakhir. Secara implisit dapat ditangkap, bukan kehendak menyingkat hidup isterinya yang sungguh-sungguh diharap Hasan Kesuma (10/2004) maupun Rudi Hartono (02/2005). Keduanya sebenarnya sedang bermanuver untuk mengetuk hati pemerintah dan membuka mata kita akan carut marut sistem kesehatan negeri ini. Lantas bagaimana status hukum euthanasia an sich menurut sudut pandang fikih? Untuk menjawab itu, Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal berbincang-bincang dengan KH. Masdar Farid Mas’udi, salah seorang ketua PBNU, sekaligus direktur P3M, Kamis, 24 Februari kamarin.

NOVRIANTONI: Pak Masdar, ada dua kasus permohonan euthanasia yang cukup mengguncang kita dalam beberapa bulan terakhir. Pertama kasus pasangan Hasan Kesuma-Isna Nauli (10/2004), dan kedua Rudi Hartono-Siti Zulaekha (02/2005). Menurut Anda, ini menunjukkan gejala apa?

Masdar Farid Mas‘udiMASDAR FARID MAS‘UDI: Menurut cerita yang saya dengar dari Anda, beberapa kasus permintaan euthanasia itu diduga berawal dari kasus malparktik kedokteran. Ini memang dua hal yang berbeda dan dua perkara yang berdiri sendiri, sekalipun masih ada hubungannya. Kita sekarang fokus soal euthanasia, yaitu usaha untuk menghentikan hidup seseorang dengan alasan-alasan tertentu. Dari sudut pandang agama sudah sangat jelas bahwa soal kehidupan memang sangat dihormati, bahkan dianggap sakral. Makanya, tidak seorang pun berhak menghabisi jatah hidup seseorang, atau membuat orang lain, bahkan dirinya sendiri, teresiko kematian.

NOVRIANTONI: Jadi jatah hidup itu merupakan ketentuan yang menjadi hak prerogatif Tuhan, ya?

MASDAR: Ya, biasanya disebut juga haqqullâh (hak Tuhan), bukan hak manusia (haqqul âdam). Artinya, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa saya menguasai diri saya sendiri, tapi saya sebenarnya bukan pemilik penuh atas diri saya sendiri. Untuk itu, saya harus juga tunduk pada aturan-aturan tertentu yang kita imani sebagai aturan Tuhan. Atau, meskipun saya memiliki diri saya sendiri, tetapi saya tetap tidak boleh membunuh diri.

NOVRIANTONI: Pak Masdar sudah mengambarkan pandangan normatif-keagamaan. Tapi kenyataan sosial yang dihadapi mereka yang mohon euthanasia itu jauh lebih kompleks. Misalnya, ada soal keputusasaan atas sistem kesehatan, ketidakmampuan menopang biaya pengobatan, dan lain-lain. Tanggapan Anda?

MASDAR: Sebenarnya memang ada kecarut-marutan dan ketidakadilan di situ, misalnya soal malpraktik. Sebagian kasus malpraktik memang benar-benar terjadi, tapi tidak diketahui oleh publik yang luas. Sejauh ini, belum ada penyelesaian yang terasa adil atau memenuhi rasa keadilan para korban. Beberapa kasus malpraktik yang terjadi selalu berakhir dengan kekalahan di pihak pasien. Dokter yang diduga bersalah lagi-lagi bisa selamat dari tanggung jawab. Padahal, dugaan (malpraktik) itu saya kira memang terjadi, karena siapa lagi yang melakukan kalau bukan dokter. Ketidakadilan ini mungkin terjadi karena pihak yang memutuskan siapa yang bersalah juga sesama dokter. Artinya, ada aspek subjektivitas dalam proses pengambilan keputusan. Bagaimanapun juga, dokter-dokter itu tetaplah manusia yang punya feeling corps-group atau rasa sebagai satu kelompok. Ini juga persoalan yang harus kita pecahkan, supaya kita tidak terlalu lama membiarkan proses menghakimi diri sendiri. Ketidakadilan misalnya juga terjadi pada kasus pelanggaran yang dilakukan anggota kepolisian. Polisi yang melakukan pelanggaran, justru dihakimi kalangan internal mereka juga. Akibatnya, keputusan hakimnya juga tidak memberikan rasa keadilan publik.

NOVRIANTONI: Pak Masdar, kita tahu permasalahannya sangat kompleks. Ketika akan menetapkan hukum agama, apakah kompleksitas pengalaman manusia itu juga masuk dalam pertimbangan?

MASDAR: Saya kira, pada kasus-kasus tertentu, hukum agama memang berkelindan dengan hukum positif. Sebab, di dalam hukum agama juga terdapat dimensi-dimensi etik dan moral yang juga bersifat publik. Misalnya soal perlindungan terhadap kehidupan, jiwa atau nyawa. Itu jelas merupakan ketentuan yang sangat prinsip dalam agama. Dan hukum positif manapun, prinsip itu juga diakomodir. Makanya, ketika kita melakukan perlindungan terhadap nyawa atau jiwa manusia, sebenarnya kita juga sedang menegakkan hukum agama, sekalipun wujud materinya sudah berbentuk hukum positif atau hukum negara.

NOVRIANTONI: Pak Masdar, persoalan euthanasia ini termasuk kategori soal-soal kontermporer yang belum jelas rumusan hukum fikihnya. Nah, bagaimana merumuskan hukum fikih untuk kasus-kasus seperti ini?

MASDAR: Memang kasus ini persoalan baru. Dulu kita hampir tidak pernah mendengar istilah euthanasia. Sekarang sudah ditemukan alat pacu jantung. Makanya, sekarang seorang pasien bisa saja sudah tidak lagi bisa dikatakan hidup dari sudut kesadaran, tapi jantungnya masih berdegup karena dipacu. Nah, ketika alat pacu jantung itu dilepas, maka jantungnya langsung berhenti. Makanya, perumusan hukum fikih juga harus betul-betul peka terhadap kemajuan dan kompleksitas persoalan seperti itu.

Sebenarnya perbedaan hukum fikih dengan hukum positif adalah kenyataan bahwa hukum positif dikawal oleh kekuasaan. Kalau kita bicara soal euthanasia dari sudut pandang hukum positif, sudah jelas itu tidak dibenarkan. Dalam pandangan hukum Islam atau fikih saya kira sama saja. Artinya, aksi tertentu yang secara sengaja berakibat pada berakhirnya kehidupan seseorang, selalu saja tidak dapat dibenarkan.

NOVRIANTONI: Tapi kondisi yang dialami mereka yang memohon euthanasia akhir-akhir ini terlihat begitu kompleks, kan?

MASDAR: Sebenarnya permintaan euthanasia yang diajukan beberapa orang belakangan ini, erat hubungannya dengan soal beban biaya. Inilah persoalan yang real. Ini artinya, kita tidak bisa bicara tentang kasus euthanasia semata-mata dari sudut boleh atau tidaknya menurut kaca mata agama. Ada aspek lain yang lebih luas dari sekedar itu. Saya pikir, ketika kita menemukan kasus di mana orang harus menyelamatkan hidup, sementara beban biaya sangat berat, dan mereka atau keluarganya tidak mampu, ini sudah menjadi tanggung jawab negara. Pemerintah mestinya berperan di situ. Jangan sampai ada orang yang jatuh bagkrut demi menyelamatkan hidupnya, apalagi sampai tidak mempu membiayai.

NOVRIANTONI: Jadi sebenarnya kasus ini refleksi dari kegagalan negara dalam menjamin kesehatan masyarakat?

MASDAR: Ya, karena kita merasakan bahwa permintaan eutanasia yang muncul dari keluarga yang sedang sakit, sangat terkait dengan soal beban biaya yang tidak tertanggung lagi. Jadi sebenarnya masalah ini hampir tidak ada sangkut-pautnya dengan permintaan memutus nyawa itu sendiri. Faktanya, dalam permintaan euthanasia terakhir, orang yang diminta untuk dieuthanasia ternyata justru bisa sembuh kembali setelah mengalami beberapa alternatif pengobatan. Makanya, secara etis akan menjadi sangat riskan dan kontroversial bila keputusan euthanasia itu diambil.

NOVRIANTONI: Jangan-jangan, kasus ini heboh karena liputan media yang gencar saja. Sekiranya, mereka melakukan “euthanasia” secara sembunyi-sembunyi, misalnya dengan membawa yang sakit parah itu ke rumah, mungkin tidak akan terjadi ribut-ribut seperti ini...

MASDAR: Ya, tentu ada unsur blow-up media yang membuat sesuatu menjadi lebih heboh dari yang semestinya. Tapi menurut saya, tetap harus ada jaminan hukum atau undang-undang yang membantu orang tertentu yang tidak bisa membiayai pengobatan. Negara harus turun tangan membantu kasus-kasus seperti itu, sehingga orang tidak lagi mengambil jalan euthanasia. Saya yakin, sebenarnya negara ini mampu melakukan itu semua asalkan ada kemauan politik yang kuat dari pihak yang punya kewenangan untuk itu. Sejauh ini mungkin belum terlaksana, karena kenyataannya memang tidak ter-cover. Mereka yang mengaku bahwa keluarganya betul-betul tidak mampu, sejauh ini belum mendapat uluran tangan apa-apa. Media juga tidak memberitakan apapun.

NOVRIANTONI: Tapi berkat media juga sebetulnya kasus-kasus seperti ini mendapat cukup perhatian!

MASDAR: Ya, tapi tidak boleh dibiarkan secara sporadis seperti sekarang. Harus ada suatu pendekatan yang sistemik dan lebih meyakinkan. Jaminan sistemik dari pemerintah mesti ada. Jadi jangan hanya karena diliput oleh media, lalu satu dua orang menjadi peduli. Makanya, harus ada jaminan yang positif dan pasti dari negara itu sendiri. Bagi keluarga yang mampu membiayai pengobatan pada penyakit yang akut, otomatis dia menanggung sendiri.

NOVRIANTONI: Pak Masdar, sekarang ada juga beberapa orang yang menyebut bahwa kita sedang berada dalam ancaman euthanasia demografis dengan cepatnya pertumbuhan penduduk. Makanya, muncul usul tentang perlunya fikih kependudukan untuk menanggulangi bunuh diri sosial. Tanggapan Anda?

MASDAR: Ini tema tersendiri lagi. Tapi memang tingkat constrain atau hambatan agama untuk program keluarga berencana dan usaha-usaha pembatasan penduduk di negeri ini tinggal 0,5% saja. Itu sangat sedikit dan nyaris sudah tidak berarti. Fatwa fikih soal kependudukan di negeri ini memang sudah sangat radikal dibandingkan negara-negara lain, apalagi Timur Tengah. Sekarang persoalannya, bagaimana penyelesaian soal kependudukan dari dimensi yang lain (selain pandangan agama), seperti dari tata hukum dan perundang-undangan negara? Pertanyaannya, sejauh mana undang-undang di Indonesia telah menerjemahkan amanat proklamasi berupa jaminan kesejahteraan bagi orang yang tidak mampu, kaum fakir miskin, anak yatim, dan mereka yang mestinya dijamin oleh negara? Kalau kembali ke soal euthanasia, bagaimanapun juga, kasusnya masih bisa dihitung jari. Masak negara tidak mampu menaggulangi keputusasaan beberapa warga negaranya sehingga harus memohon euthanasia?!

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=772


Sistem Hukum Indonesia, Prinsip-prinsip & Implementasi Hukum di Indonesia

⊆ 17.16 by makalah hukum | .

Dalam buku yang berjumlah 137 halaman ini, dikatakan bahwa Hukum Indonesia adalah suatu kebutuhan mendasar yang didambakan kehadirannya sebagai alat pengatur kehidupan baik dalam kehidupan individual, kehidupan sosial maupun kehidupan bernegara. Kebutuhan hakiki bangsa indonesia akan ketenteraman, keadilan serta kesejahteraan (kemanfaatan) yang dihadirkan oleh sistem aturan yang memenuhi ketiga syarat keberadaan hukum tersebut menjadi sangat mendesak pada saat ini, ditengah-tengah situasi transisional menuju Indonesia baru.

Dalam buku ini dijelaskan mengenai sistem hukum sebagai bagian dari sistem norma, maupun sebagai bagaian dari sistem norma yang berlaku di Indonesia.

Sumber Hukum Indonesia adalah segala sesuatu yang memiliki sifat normatif yang dapat dijadikan tempat berpijak bagi dan atau tempat memperoleh informasi tentang sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Sumber Hukum Indonesia adalah: Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Undang-Undang, Traktat/Treaty, Doktrin / Pendapat para ahli hukum.

Secara lengkap buku ini membahas Sistem Hukum Indonesia, diantaranya hukum kepidanaan, hukum keperdataan, hukum kenegaraan, hukum internasional, hukum agraria, hukum ada.

Buku ini tidak hanya bisa dijadikan acuan bagi mahasiswa fakultas hukum dan para praktisi hukum, tetapi juga bagi masyarakat umum.

Sistem Hukum Indonesia

Prinsip-prinsip & implementasi

Ilhami Bisri, SH, MPd

Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2004

x, 138 hlm; 21 cm

Bibliografi hlm:135


LAPORAN PEMANTAUAN DAN ANALISA PROSES SELEKSI HAKIM AGUNG

⊆ 17.15 by makalah hukum | .

MEMILIH HAKIM AGUNG TERPILIH
Catatan Atas Seleksi Wawancara Calon Hakim Agung


Pengantar


Hakim Agung adalah hakim tertinggi dan sebagai penjaga benteng aspirasi keadilan masyarakat. Mahkamah Agung, menjadi "court of last resort" dan otoritas yang final untuk memutuskan sebuah perkara. Karenanya, sayang jika bangku hakim agung diduduki para pencari kerja, petualang politik atau pengabdi kepentingan sekelompok orang. Hakim Agung yang dicari: hakim agung yang berdiri diatas kepentingan keadilan itu sendiri.

Karena pemikiran tersebut, Yayasan LBH Indonesia merasa perlu untuk terlibat dan melibatkan diri dalam proses seleksi hakim agung yang dilakukan Komisi Yudisial (KY). Peran Yayasan LBH Indonesia yang terbatas, diharapkan dapat berkontribusi terhadap hasil pemilihan hakim agung saat ini. Position paper ini merupakan bentuk pertanggungjawaban publik berkaitan dengan kerja pengawasan dan kampanye yang dilakukan Tim Pemantau Proses Seleksi Hakim Agung Yayasan LBH Indonesia , dengan fokus proses seleksi yang dilakukan KY.

Laporan ini akan memaparkan analisis proses seleksi wawancara dan penilaian atas 16 calon hakim agung yang mengikuti proses wawancara. Data yang menjadi sumber analisis adalah catatan selama proses pemantauan seleksi pada tahap wawancara dan pemberitaan media. Laporan ini bertujuan untuk memberikan masukan kepada KY, bahan pertimbangan bagi Komisi III DPR RI dan juga bagi kepentingan publik untuk menilai proses seleksi wawancara dan kualitas para calon hakim agung selama proses wawancara.

Komisi Yudisial (KY) sendiri telah merampungkan serangkaian proses seleksi untuk memilih calon Hakim Agung dengan selesainya seleksi wawancara yang berlangsung pada 10 – 15 Mei 2007. Seleksi wawancara ini merupakan seleksi tahap akhir setelah sebelumnya dilakukan seleksi administratif, seleksi karya ilmiah, seleksi kesehatan dan seleksi profile assessment. Sampai dengan tahap seleksi wawancara calon hakim agung yang lolos berjumlah 16 orang dengan latar belakang para calon sendiri cukup beragam diantaranya hakim pada Pengadilan Agama, hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara, hakim pada peradilan umum, akademisi, pengacara, mantan jaksa.

Proses selanjutnya setelah seleksi wawancara adalah dipilihnya para calon hakim agung yang kemudian akan diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pada seleksi pertama, 6 November 2006, KY telah meloloskan 6 (enam) orang calon hakim agung ke DPR yang kemudian “dikembalikan” kepada KY karena tidak memenuhi kuota


Pasal 18 ayat 5 UU No. 22/2004 menyatakan KY menetapkan dan mengajukan 3 nama calon hakim agung kepada DPR untuk setiap satu lowongan hakim agung. Mahkamah Agung (MA) yang saat ini membutuhkan 6 hakim agung baru, maka berdasarkan pasal ini, KY seharusnya mengajukan 18 nama.

Persoalan pemenuhan nominal hakim agung di Mahkamah Agung (MA) yang akan dipilih oleh DPR tidak semata-mata karena pemenuhan kuota tetapi harus mengedepankan profesionalitas, integritas dan kualitas para calon hakim agung tersebut. Maka para calon yang nantinya akan dipilih oleh KY dan kemudian diusulkan ke DPR adalah individu-individu yang mempunyai integritas, profesionalitas dan independensi secara personal (personal independence). Hal ini juga sesuai dengan tekad dari KY untuk tidak mengedepankan kuota namun berdasarkan kualitas.

Faktor integritas, profesional dan independensi ini penting sebagai upaya untuk menegakkan hukum yang berkeadilan dan berperan dalam melakukan reformasi peradilan di Indonesia yang saat ini. Sampai saat ini terindikasi masih maraknya judicial corruption dan lemahnya kualitas putusan para hakim agung menyebabkan lembaga peradilan semakin terpuruk. Dipundak para hakim inilah yang peran terbesar untuk menegakkan kembali citra lembaga peradilan.

Namun demikian, berdasarkan pada pemantauan awal, selama proses seleksi wawancara yang dilakukan, para calon hakim agung secara umum tidak cukup memperlihatkan suatu kualitas yang diharapkan untuk menjadi seorang hakim agung.

Para calon masih lemah dalam pemahaman tentang hukum dan peraturan perundang-undangan. Hal ini menimbulkan suatu kekhawatiran bahwa ke depan, jika para calon hakim agung ini pada akhirnya terpilih menjadi hakim agung tidak akan mampu menjawab tantangan penegakan hukum di Indonesia. Maka dari itu, penting untuk dilakukannya suatu assessment atas proses seleksi wawancara yang telah dilakukan, untuk memastikan bahwa para calon yang akan dipilih telah memenuhi standar untuk menjadi hakim agung


A. Singkat tentang Proses Seleksi Calon Hakim Agung

Pada 10 Februari 2007, KY mengumumkan 49 bakal calon hakim agung yang lolos seleksi administratif. Bagi bakal calon tersebut, diminta untuk menyusun karya ilmiah dengan judul: “Implikasi Putusan Bebas Kasus Korupsi dan Illegal Logging dalam Perspektif Hak Asasi Manusia” dan diserahkan kepada Panitia Seleksi KY paling lambat pada23 Februari 2007

Seleksi penilaian karya ilimiah, karya profesi dalam dua tahun terakhir, dan legal case problem solving yang telah dilakukan, kemudian menghasilkan 47 nama bakal calon hakim agung, dan wajib mengikuti seleksi kesehatan dan profile assessment


Pada 13 April KY mengumumkan hasil seleksi dan kepribadian (profile assessment) bakal calon hakim agung di media. Selanjutnya pada 10, 11
dan 15 Mei, 16 bakal calon hakim agung diwawancarai oleh KY. Akhirnya pada 31 Mei 2007, KY mengumumkan 12 nama bakal calon hakim agung yang diserahkan ke DPR

B. Pemantauan dan Catatan atas Metode Wawancara

Proses seleksi untuk memilih Hakim Agung yang diselenggarakan KY, merupakan seleksi kedua yang dilakukan oleh KY. Sebagaimana disebutkan diatas, seleksi kedua ini didasarkan untuk memenuhi permintaan DPR agar KY merekomendasikan calon hakim agung sesuai dengan UU. Artinya setelah pada tahap pertama KY merekomendasikan 6 calon hakim agung, dalam seleksi kedua ini KY seharusnya merekomendasikan 12 calon hakim agung yang kemudian akan dipilih DPR sebanyak 6 orang hakim agung.

Perihal pemenuhan kuota/jumlah ini berimplikasi pada adanya pilihan untuk mengedepankan kuantitas dari sekedar kualitas para calon. Dalam hal terpenuhi 12 calon dan mempunyai kualitas yang baik, maka tidak akan menjadi masalah namun jika ternyata calon yang berkualitas dan berintegritas dari hasil seleksi tidak mencapai 12 akan menimbulkan satu permasalahan baru. Disinilah letak posisi dilematisnya, mendahulukan aspek kuantitas untuk terpenuhinya kuota atau mengedepankan kualitas dari para calon.

Persoalan yang lain adalah proses pencalonan hakim agung, khususnya dari hakim karier yang melalui satu pintu yakni Mahkamah Agung. Hal ini menjadi persoalan karena para calon yang diajukan oleh MA sedari awal adalah calon-calon yang “seharusnya” sudah dianggap terbaik oleh MA. Pada titik itu, KY secara pasif hanya menerima calon-calon yang diajukan oleh MA. Akibat dari sistem satu pintu ini, tidak semua hakim memang berkesempatan mencalonkan diri untuk menjadi hakim agung. Namun demikian, ada juga calon dari hakim karier yang mencalonkan diri meskipun tidak diajukan oleh MA.

Berdasarkan hal tersebut, akhirnya seleksi kedua KY inipun dilaksanakan. Pada tahap pendaftaran jumlah pendaftar sebanyak 59 calon yang yang diusulkan oleh MA maupun oleh masyarakat. Pada tahap seleksi administrasi calon yang lulus adalah 49 orang yang kemudian diwajibkan membuat karya ilmiah. Seleksi selanjutnya adalah seleksi kesehatan dan kepribadian yang diikuti oleh 46 calon kemudian menghasilkan calon yang lulus sebanyak 16 orang calon.

Tahap wawancara adalah 16 calon yang terdiri dari 10 orang dari hakim karier dan 6 calon dari masyarakat (lihat tabel). Proses seleksi wawancara sendiri dilakukan selama 4 hari yakni pada tanggal 10, 11, 14 dan 15 Mei 2007 dengan 4 calon yang diwawancarai setiap harinya.

Latar belakang calon baik dari hakim karier maupun non karier cukup beragam diantara dari para hakim dari peradilan umum, peradilan Tata Usaha Negara, hakim peradilan agama, dan panitera. Sementara calon dari non karier terdiri dari akademisi, pengacara, notaris, dan mantan jaksa. Namun, dari keseluruhan nama-nama tersebut tidak terlihat nama-nama yang cukup menonjol di publik terkait dengan keterlibatan mereka dalam penegakan hukum.

Metode seleksi wawancara yang dilakukan oleh KY dengan melakukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat luas dengan masing-masing pewawancara. Ruang lingkup pertanyaan menjadi sangat luas dan tidak cukup fokus, terlebih jika dikaitkan dengan latar belakang masing-masing calon. Pertanyaan mencakup aspek integritas, moralitas, pengetahuan hukum umum, asas-asas hukum, pengetahuan tentang perundang-undangan, hukum acara, dan pandangan para calon tentang reformasi peradilan dan MA. Pertanyaan juga seringkali dikaitkan dengan paper (karya ilimiah) para calon dan pertanyaan yang sifatnya konfirmasi atas informasi dan data dari para calon tentang harta kekayaan calon dan aktivitas calon dalam menjalankan profesinya.

Metode ini ternyata mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing. Kelebihan dari metode akan menunjukkan kemampuan keseluruhan dari para calon mengenai berbagai aspek yang dianggap penting oleh KY untuk menjadi hakim agung. Sementara kelemahan metode ini adalah pendalaman atas expertise para calon karena masing-masing pewawancara mempunyai spesifikasi pertanyaan yang berbeda. Akibatnya, beberapa pertanyaan khususnya berkaitan dengan klarifikasi tentang kejanggalan data dan informasi dari para calon tidak dapat terelaborasi lebih jauh dan akhirnya hanya dinyatakan akan diklarikasi lebih lanjut. Kelemahan lain dari luasnya cakupan pertanyaan adalah ketidakkonsistenan pertanyaan terhadap para calon sehingga akan menyulitkan untuk menganalisa lebih dalam tentang kemampuan para calon tersebut.

Berdasarkan metode tersebut tampaknya KY bertekad untuk mencari calon hakim yang mengetahui segala aspek hukum dan bukan memfokuskan pada pencarian hakim dengan spesifikasi tertentu. Akan tetapi, KY juga seringkali menanyakan tentang sistem kamar di MA dan bahkan beberapa calon ditanyakan akan memilih spesifikasi atau kamar mana jika menjadi hakim agung. Ketidakjelasan fokus KY ini sedikit banyak menyumbang pada kegagalan para calon untuk secara memadai menjawab pertanyaan yang diajukan selama proses wawancara. Bahwa harus dipahami juga bahwa kemungkinan besar tidak semua calon menguasai keseluruhan teori hukum, UU maupun teknis yuridis peradilan.

Dapat dikatakan, terlihat KY menginginkan bahwa para calon hakim agung adalah calon-calon yang mempunyai kemampuan dalam banyak aspek, selain teknis hukum juga upaya reformasi peradilan dan reformasi di MA. Disinilah “niat baik” KY yang menginginkan adanya calon yang mempunya integritas, kemampuan teknis hukum yang memadai dan kemampuan untuk mereformasi peadilan dan MA menjadikan para calon “tergagap” dalam menjawab pertanyaan. Terlebih, seringkali pertanyaan yang diajukan adalah pertanyaan yang terkait pandangan calon tentang kebijakan-kebijakan MA sehingga jawaban yang diberikanpun terlihat tidak mencerminkan pandangan yang sesungguhnya dari para calon.

C. Deskripsi Umum Atas Jawaban Para Calon: Masih Standar dan Tidak Ada Yang Menonjol

Selama proses seleksi wawancara, tidak secara jelas fokus pertanyaan diajukan kepada para calon dan ini merupakan kritik terbesar selama proses wawancara ini. Cukup sulit untuk mengklasifikasikan pertanyaan-pertantayaan yang diajukan selama proses wawancara. Hal ini diakibatkan, sebagaimana disebutkan diatas, pertanyaan yang diajukan sangat luas dan selama proses wawancara juga diakukan pertanyaan-pertanyaan untuk mengkonfirmasi karya ilmiah para calon dan hasil investigasi mengenai data para calon.

Namun demikian, klasifikasi ini coba dilakukan bersadaskan atas beberapa aspek, yakni integritas calon, pemahaman dan pandangan calon tentang pemberantasan korupsi, pengetahuan calon tentang hak asasi manusia, pengetahuan dan pemahaman calon tentang aspek hukum umum, peraturan perUUan dan hukum acara, dan juga pandangan calon tentang reformasi hukum dan reformasi di Mahkamah Agung (MA). Berikut adalah deskripsi atas pandangan para calon selama proses wawancara:

1. Aspek integritas dan profesionalitas para calon

Para calon hakim agung yang diwawancarai mayoritas menjawab pertanyaan dengan jawaban yang ideal tentang integritas hakim. Aspek-aspek ini menyangkut aspek kebersihan para calon berdasarkan track record-nya dimasa lalu, kemandirian hakim, dan aspek pribadi para calon.

Dalam aspek integritas para calon ini, penting untuk menguji tentang latar belakang para calon khususnya beberapa aktivitas calon ketika menjalankan profesinya. Terdapat calon-calon yang tidak jelas terklarifikasi tentang data-data calon terkait dengan aktivitas calon pada masa lalu. Para calon ini, misalnya terhadap calon Resa Bayun Sarosa yang pernah menangani kasus di MA yang penuh dengan kejanggalan , calon Khalilurrahman yang terkait dengan isu iuran mobil selama menjabat dan gelar tidak sah , dan calon Satri Rusad terkait dengan kejujuran dalam membuat karya ilmiah dan sejumlah kasus yang pernah ditanganinya pada masa lalu. Demikian pula, calon Akmad Ubbe yang menggunakan mobil dinas dari BPHN meskipun telah berpindah ke Dephukham. Para calon yang diklarifikasi tentang aktivitasnya dimasa lalu memang memberikan klarifikasi namun tidak cukup meyakinkan.

Dalam hal kemandirian hakim, hampir semua calon menyatakan bahwa hakim harus mandiri dan terlepas dari segala bentuk tekanan. Para calon sebagian besar juga menyatakan bahwa hakim dalam memutus perkara harus berdasarkan pada hati nurani. Para calon juga berkomitmen untuk terus menegakkan kemandirian meskipun ada resiko atas pilihan sikap yang mandiri tersebut. Tampak bahwa sebagian besar calon mempunyai komitmen untuk menghasilkan putusan yang sesuai dengan hati nurani, profesionalitas, dan moralitas. Calon Mukhtar Zamzami secara tegas menyatakan bahwa untuk menjaga integritasnya dari segala bentuk intervensi bertekad untuk tidak melakukan kontak dengan pihak yang berperkara.

Pandangan para calon tentang hadiah, yang hal ini bisa dikaitkan dalam perspektif calon terkait integritasnya, mempunyai pandangan yang cukup beragam. Secara umum tidak sepakat adanya hadiah jika dikaitkan dengan perkara yang ditangani, dan dapat bertoleransi dengan hadiah yang tidak ada sangkut pautnya dengan perkara. Terdapat juga beberapa calon yang sepakat agar toleransi terhadap segala bentuk hadiah dilhilangkan.



2. Aspek pandangan calon hakim tentang pemberantasan korupsi dan Hak Asasi Manusia

Menilai pandangan calon tentang korupsi dan hak asasi manusia cukup sulit mengingat selama proses wawancara, pertanyaan terkait dengan isu koruspi tidak cukup banyak dilakukan. Demikian pula mengenai hak asasi manusia yang ditanyakan sebagai implikasi atas adanya korupsi dan illegal logging. Hal ini tampaknya akibat dari kewajiban untuk membuat karya ilmiah yang terkait dengan hal tersebut.

Paradigma calon tentang korupsi dikaitkan dengan regulasi tentang hadiah yang dikeluarkan oleh MA dan sikap para calon tentang hadiah tersebut. Para calon pada umumnya menjawab secara ideal dan hampir kesemuanya calon yang ditanyai menyatakan bahwa hadiah seharusnya ditolak jika ada keterkaitan dengan perkara.

Tidak ada suatu rumusan atau pandangan calon yang cukup kuat mengindikasikan tentang pemberantasan korupsi. Beberapa calon memang menyatakan bahwa para koruptor perlu dihukum berat atau ditingkatkan hukumannya. Bahkan ada calon yang menyatakan setuju dengan hukuman mati bagi para koruptor.

Terkait dengan pemahaman tentang korupsi itu sendiri, beberapa calon menyatakan bahwa korupsi sangat berbahaya dan menghisap kesejahteraan rakyat disamping merugikan ekonomi dan keuangan negara. Sementara putusan yang membebaskan para koruptor adalah putusan yang tidak responsif terhadap penderitaan rakyat.

Isu pemberantasan korupsi juga dikaitkan dengan keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Beberapa calon mendapat pertanyaan mengenai latarbelakang lahirnya KPK dan dalam hal apa KPK dapat mengambil alih suatu perkara korupsi. Meskipun tidak banyak yang mengetahu detail mengenai tugas dan kewenangan dari KPK namun secara umum calon hakim agung setuju terhadap keberadaan lembaga anti korupsi tersebut.

Berkaitan dengan korupsi di peradilan (judicial corruption) atau praktek mafia peradilan tidak semua calon hakim agung memiliki pengetahuan yang memuaskan. Meskipun sudah dinilai sebagai realitas yang sering terjadi dan dapat ditemui disemua tahapan peradilan namun terdapat calon yang tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan judicial corruption.
Mengenai hak asasi manusia, rata-rata calon hakim agung tidak cukup menguasai tentang hak asasi manusia. Kelemahan pengetahuan tentang Hak Asasi Manusia ini diperparah dengan ketidaktahuan para calon tentang intrumen hukum HAM, termasuk konvenan dan konvensi internasional yang telah diratifikasi.

Meski pertanyaan tentang HAM ini bukan pertanyaan yang selalu ditanyakan kepada para calon, disamping memang pertanyaan tentang HAM tidak spesifik, rata-rata para calon tidak mampu menjelaskan secara mendalam tentang aspek HAM ini. Tidak ada niliai lebih dari para calon tentang aspek hak asasi manusia, bahkan terdapat para calon yang seringkali keliru menjelaskan tentang hak asasi manusia, misalnya pengertian tentang pelanggaran HAM yang berat.

3. Aspek Pengetahuan tentang pengetahuan hukum umum, asas-asas hukum, perundang-undangan termasuk hukum acara

Aspek pengetahuan tentang hukum secara umum, teknis yuridis termasuk pengetahuan tentang perundang-undangan dan hukum acara dari para calon tidak cukup memuaskan. Terlebih jika dikaitkan bahwa calon hakim agung nantinya seyogyanya diharapkan tahu akan segala permasalahan hukum untuk mencapai standar bahwa hakim seharusnya tahu akan hukum (ius curia novit).

Bahwa terdapat perbedaan yang cukup menonjol terkait dengan pemahaman para calon tentang aspek hukum acara. Para hakim dari karier terlihat cukup menguasai tentang teknis yuridis dan pengetahuan tentang hukum acara. Sementara para calon non karier masih jauh dari pemahaman tentang teknis yuridis, khususnya hukum acara. Terlihat hanya calon Robert Sahala Gultom adalah calon dari non karier yang mempunyai cukup kemampuan tentang teknis yuridis dan hukum acara yang memadai. Kelemahan pengetahuan tentang hukum acara dari calon non karier ini semakin dipertegas ketika salah satu calon yaitu, Prof. Sudjito justru menolak menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar hukum acara dan perundang-undangan dengan menyatakan menolak menjawab pertanyaan yang legalistik. Sementara calon dari hakim karier Satri Rusad mengaku tidak cukup memahami tentang hukum pidana karena sejak tahun 1982 ditugaskan menjadi panitera pengganti di MA dan kemudian berkonsentrasi pada hukum Tata Negara.

Pengetahuan tentang perundang-undangan para calon juga tidak ada yang menonjol, khususnya terhadap UU yang relatif baru misalnya UU Korupsi, UU kepailitan, UU Pencucian Uang dan UU HAM, dan lainnya. Bahkan terdapat calon yang lupa atau tidak mengetahui tentang UU MA dan UU Kekuasaan kehakiman. Meski demikian, harus juga dikatakan bahwa latar belakang para calon mempengaruhi pengetahuan tentang perundang-undangan ini, sesuai dengan lingkup pekerjaannya selama ini. Para calon hakim karier misalnya cukup memahami bidangnya masing-masing, misalnya calon Mukhtar Zamzami yang cukup fasih tentang peradilan agama dan segala peraturannya dan calon Suparno yang cukup kenal dengan hukum ekonomi saat ini. Sementara calon hakim non karier juga demikian, cukup bisa menjawab pertanyaan tentang perundang-undangan yang terkait dengan latar belakang keilmuannya, diantaranya adalah Achmad Ubbe yang cukup mengetahui tentang hukum adat dan calon Sutjito yang mengetahui tentang hukum agraria. Sementara calon dari non karier lainnya tidak mempunyai pemahamanan yang menonjol, diantaranya calon Resa Bayun Saroso dan calon Mulyoto yang ternyata tidak cukup punya pengetahuan tentang aspek hukum khususnya dalam bidang yang digelutinya.

Aspek lain yang juga disampaikan oleh para calon adalah mengenai asas-asas hukum umum maupun teori hukum. Para calon dengan latar belakang akademisi cukup mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dengan teori hukum. Dr. Anang Husni adalah salah satu calon yang menonjol dalam memahami tentang teori hukum ditengah kelemahannya tentang pengetahuan peraturan perundang-undangan dan hukum acara. Demikian pula dengan calon Sudjito yang lebih menyukai menjawab pertanyaan tentang teori hukum daripada menjawab pertanyaan tentang teknis yuridis.

4. Aspek pandangan para calon tentang reformasi peradilan dan MA

Salah satu aspek penting yang selalu ditanyakan selama proses wawancara adalah pemahanan dan pandangan para calon tentang reformasi peradilan dan permasalahannya, termasuk solusi yang ditawarkan oleh para calon. Banyaknya pertanyaan tentang reformasi peradilan pada umumnya dan MA khususnya tampaknya ditujukan untuk menjadikan para hakim sebagai ujung tombak dalam reformasi peradilan dan MA.

Dalam aspek ini, para calon mempunyai pandangan yang cukup berbeda-beda. Perbedaaan pandangan para calon ini tidak terlepas dari latar belakang para calon. Para calon yang hakim karier sebagian besar menyatakan bahwa persoalan tunggakan perkara di MA menjadi persoalan besar saat ini, hal ini terlihat dari pandangan calon Abdul Wahid Oscar , Robert Sahala Gultom dan Suparno. aspek lainnya dalam reformasi peradilan adalah terkait dengan pengembalian supremasi hukum, pencapaian putusan yang berkeadilan yang sampai saat ini belum tercapai, dan perombakan sifat dapat dari aparat penegak hukumnya sendiri, dan transparansi peradilan khususnya terhadap akses kepada putusan yang dihasilkan.

Solusi yang ditawarkan para calon juga sangat beragam, pada satu sisi terdapat calon-calon dengan solusi yang cukup konkrit terkait dengan permasalahan dalam peradilan dan MA, dan disisi lain banyak juga calon yang memberikan solusi yang masih dalam tataran konsep besar. Calon hakim yang mempunyai jawaban cukup konkrit adalah calon Suparno, Wahid Oscar, Zaharuddin Utama dan Satri Rusad yang melihat bahwa untuk menyelesaikan tunggakan perkara perlu ada pembatasan dan percepatan penyelesaian perkara, perlunya keterbukaan putusan dan bisa diakses publik dan juga transparansi putusan. Tampak usulan para calon yang “agak” konkrit ini muncul dari calon dari hakim karier.

Para calon dari hakim non karier lebih banyak menyoroti aspek besar refomasi peradilan diantaranya keinginan untuk mencapai adanya keputusan yang berkeadilan yang disampaikan oleh Achmad Ubbe dan Mahdi Soroinda Nasution , gagasan reformasi yang secara total baik aspek subtansi, struktur, kultur dan juga paradigma nya yang disampaikan oleh Anang Husni dan Sutjito. Calon Robert Sahala Gultom juga secara tegas menyatakan bahwa perlu ada perombakan sikap dari aparat penegak hukum dan perlunya peradigma baru dalam penanganan kasus.

Khusus terhadap calon Resa Bayun Sarosa dan Mulyoto yang tidak mempunyai konsep khusus tentang reformasi peradilan dan MA.

D. Menilai Intergritas dan Kualitas Para Calon : Pilihan Yang Sulit

Dalam menilai integritas dan kualitas para calon selama proses wawancara secara komprehensif cukup sulit mengingat bahwa tidak ada kesamaan mengenai pertanyaan yang diajukan, meskipun pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat diklasifikasikan dalam beberapa isu-isu penting. Berdasarkan isu-isu penting tersebut, jawaban para calon akan menjadi landasan dalam penilaian terhadap para calon.

Penilaian dilakukan dengan menklasikasikan dalam tiga kategori yakni calon dalam kategori baik, sedang/rata-rata dan kurang baik dari aspek integritas dan kualitasnya. Kategori baik adalah para calon yang mempunyai integritas yang baik terkait dengan aktivitas calon pada masa lalu yang tidak banyak bermasalah, pandangan calon tentang profesi hakim dan kemampuan calon dalam memahami hukum dan reformasi peradilan. Kategori cukup mengacu pada integritas calon yang biasa-biasa saja terkait aktivitas calon yang tidak luar biasa dan kemampuan hukum yang rata-rata. Sementara kategori kurang adalah para calon yang memiliki sejumlah permasalah terkait dengan aktivitas calon dalam mejalankan profesinya dimasa lalu dan pemahaman hukum, teknis yuridis dan pandangan tentang reformasi peradilan yang lemah.

Para calon dalam kategori baik adalah calon Muhktar Zamzami dan Robert Sahala Gultom. Kedua calon ini mempunyai pengetahuan teknis hukum, perundang-undangan dan penguasaan hukum yang cukup baik. Selain itu, kedua calon ini juga terlihat mempunyai integritas untuk menunjukkan kemandirian hakim, bertekat untuk tidak terpengaruh dalam segala bentuk intervensi. Posisi kedua individu ini dimana satu dari hakim karier dan non karier terlihat tidak cukup mempunyai kedekatan dengan Mahkamah Agung sehingga bisa diharapkan untuk dapat mereformasi MA.

Dalam kategori sedang atau rata-rata, terdapat 10 orang calon. 4 (empat ) calon pertama dalam kategori cukup adalah Abdul Wahid Oskar, I Ketut Suradnya , Mahdi Soroinda Nasution dan Suparno. keempat calon ini adalah dari hakim karier, dimana salah satunya yakni Abdul Wahid Oskar mencalonkan diri tanpa melalui MA. Keempatnya mempunyai pengetahuan hukum acara yang cukup, namun sebagai catatan terhadap keempat calon ini adalah kesemuanya hakim karier sehingga besar kemungkinan juga akan tersangkut dengan kasus-kasus yang ditanganinya pada masa lalu. Para calon ini juga mempunyai kelemahan namun tidak begitu mendasar, misalnya calon Abdul Wahid Oskar yang ternyata lupa dalam menjawab tentang UU MA dan UU Kekuasaan keahakiman. Calon lain yakni Soeparno, karena lama di MA terkesan mempunyai pembelaan terhadap institusi MA dengan menyatakan bahwa MA telah melakukan serangkaian program untuk refomasi, dan ini sejalan dengan visinya untuk memperbaiki mekanisme percepatan penyelesaian perkara di MA dengan membatasi putusan yang masuk ke MA.

Para calon dalam kategori cukup lainnya adalah 6 (enam) orang calon yang sedikit dibawah 4 (empat) calon pertama, namun dapat dimasukkan dalam kategori cukup/rata-rata dengan beberapa catatan. Para calon ini adalah dari hakim karier yaitu Bukaidi Zulkifli , Zaharuddin Utama, dan Mohammad Saleh dan calon dari non karier adalah Anang Husni, Achmad Ubbe dan Sudjito. Pada calon dari hakim karier ini memang mempunyai pengetahuan tentang hukum acara namun tidak cukup meyakinkan, dan dari calon non karier sangat lemah pengetahuannya dalam peraturan perundang-undangan dan hukum acara, namun mempunyai cukup pengetahuan dalam bidang hukum umum karena latar belakang mereka yang peneliti dan akademisi. Calon Anang Husni misalnya, cukup baik dalam menjawab tentang teori hukum dan pemahaman hukum dalam tataran teoritis, demikian pula dengan calon Sudjito yang terlihat cukup menguasai bidang pertananya dan filsafat hukum. Catatan terhadap calon Sudjito adalah penolakan calon ini atas pertanyaan teknis hukum dan perundang-undangan dengan alasan yang tidak cukup kuat. Sementara calon Akmad Ubbe hanya memahami aspek hukum adat yang memang selama ini menjadi lingkup penelitiaannya, namun pengetahuan calon ini sangat minim dalam hukum acara.

Kategori kurang terdapat dalam 4 orang calon yakni khalilurrahman, Satri Rusad, Mulyoto dan Resa Bayun Saroso. Para calon ini tidak cukup memadai dalam pengetahuan hukum dan terindikasi bermasalah dengan integritasnya. Selain itu, juga ada beban dengan benyaknya komplain atas aktivitas para calon dalam kategori ini pada masa lalu yang tidak mampu menjawab secara memuaskan. Para calon yang kurang pemahamannya tentang aspek hukum dan tidak cukup mempunyai pengetahuan dalam bidangnya masing-masing. Khalilurrahman yang merupakan calon dari hakim karir tidak cukup memahami hukum acara, demikian juga dengan Mulyoto, yang meskipun seorang notaris tidak mampu menjawab pertanyaan dengan memuaskan tentang aspek pertanahan dan hukum acara. Sementara calon Satri Rusad dan Resa Bayun Sarosa, disamping tidak mempunyai kemampuan tentang hukum pada umumnya, tidak mengetahui hukum acara dan perundang-undangan juga terkait dengan sejumlah kasus yang ditanganinya pada masa lalu. Calon Satri Rusad misalnya, tidak cukup memahami tentang hukum acara dan peraturan perundang-undangan kontemporer, selain terkait dengan banyaknya kasus dalam posisi nya sebagai panitera dan hakim dimasa lalu. Hal ini juga dialami calon Resa Bayun Sarosa, yang terindikasi melakukan praktek kepengacaraan yang menimbulkan tanda tanya dan tidak tidak cukup baik diklarifikasi, dan yang lebih menguatkan, calon ini tidak direkomendasikan untuk dipilih adalah kemampuan hukum, pengetahuan UU adan hukum acara yang jauh dari memadai. Kedua calon ini juga dalam jawabannya kemungkinan besar tidak akan cukup berani dalam memerangi mafia peradilan dan reformasi di MA

E. Kesimpulan dan Rekomendasi

Berdasarkan pada uraian diatas, terdapat dua kesimpulan pokok yakni:

1. Proses seleksi wawacara yang dilakukan oleh KY terkesan tidak mempunyai fokus untuk menilai integritas dan kualitas para calon. Hal ini terlihat dari pertanyaan yang diajuka tidak cukup mempunyai konsistensi antara satu calon dengan calon yang lainnya. Pada satu sisi, metoda ini akan menunjukkan kemampuan para calon mengenai segala aspek hukum, namun disisi lain tidak bisa secara komprehesif menggali potensi para calon khususnya yang mempunyai spesifikasi atau keahlian khusus.
2. Para calon hakim agung secara umum tidak cukup menguasai regulasi, khususnya mengenai peraturan perundang-undangan yang baru dan aspek hukum acaranya. Sementara faktor integritas para calon tidak menggambarkan suatu pemahaman yang nyata, karena para calon menjawab dalam tataran ideal, sementara kasus-kasus yang diklarifikasikan kepada para calon tidak terelaborasi dengan cukup. Hal ini terlihat dari 16 calon, hanya 2 calon yang masuk dalam kategori baik, sementara lainnya sedang dan kurang.

Rekomendasi terhadap kesimpulan diatas, dikaitkan dengan proses seleksi hakim agung adalah :

1. Kedepan KY harus mempunyai suatu standar yang sama dalam melakukan proses seleksi wawancara terkait dengan klasifkasi yang diharapkan. KY perlu mengembangkan instrumen uji kelaikan yang valid, mudah diukur dan dimengerti untuk menjamin obyektivitas.
2. KY dalam memilih calon hakim agung untuk diserahkan ke DPR harus mengedepankan kualitas para calon daripada sekedar memenuhi kuota sebagaimana dimaksud dalam UU. Hal ini untuk menghindari para calon yang tidak layak menjadi hakim agung karena proses fit and proper test di DPR.
3. Dalam hal KY memilih untuk tidak meloloskan calon hakim sesuai dengan permintaan DPR karena pertimbangan kualitas, maka perlu segera dijalin komunikasi antara KY dan DPR untuk mencari solusi atas permasalahan yang muncul


Download laporan lengkap versi pdf klik di sini

Entry by : farm 22/Jun/2007


KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA / KUHP

⊆ 17.12 by makalah hukum | .

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA / KUHP
(Wetboek van Strafrecht)

(S. 1915-732 jis. S. 1917-497, 645, mb. 1 Januari 1918, s.d.u.t.
dg. UU No. 1/1946).

Anotasi:
Sebutan "Kitab Undang-undang Hukum Pidana" ini diberlakukan, diubah dan ditambah dg. UU No. 1/1946 (Berita Republik Indonesia II, 9). Undang-undang ini mengadakan perubahan/tambahan terhadap W.v.S. Ned. Ind., yaitu Hukum Pidana 8 Maret 1942; jadi bukan terhadap Hukum Pidana zaman Jepang, dan bukan pula terhadap W. v. S Ned. Ind. yang sudah diubah dan ditambah oleh pemerintah Belanda sesudah 1945 (S. 1945-135, S. 1946-76, S. 1947-180, S. 1948-169, S. 1949-1 dan 258). Kemudian diubah dan ditambah lagi, berturut turut dengan Undang-undang No. 20 / 1946, 8 / 1951, 8 / Drt /1955, 73/1958, 1/1960, 16/Prp/1960, 18/Prp/1960, 1/Pnps/1965, 7/1974, dan 4/1976.



B U K U P E R T A M A :
ATURAN UMUM.

BAB 1. BATAS-BATAS BERLAKUNYA ATURAN PIDANA DALAM
PERUNDANG-UNDANGAN.

Pas. 1.
(1) Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya. (AB. 1 dst., 15.)
(2) Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan baginya.

Pasal 2.
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia. (AB. 4, 5, 25; KUHP 7 dst.; Sv. 12.)

Pasal 3.
(s.d.u. dg. UU No. 411976.) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia. (AB. 25; KUHP 8 dst., 95.)

Pasal 4.
(s.d.u. dg. S. 1926-359, 429, S. 1930-31, S. 1931 -240, S. 1938-593.) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan:
1o. (s. d. u. dg. UU No. 1/1 946.) salah satu kejahatan berdasarkan pasal 104, 106, 107, 108, 110, 111 bis-1 o, 127, dan 131;
2o. suatu kejahatan tentang mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun tentang meterai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia; (KUHP 244 dst., 253 dst.)
3o. pemalsuan surat utang atau sertifikat utang atas tanggungan Indonesia, suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut; atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak palsu; (KUHP 264 dst., 272 dst.)
4o. (s. d. u. dg. UU No. 4 / 1976.) salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf l, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil. (RO. 129; KUHP 9; Sv. 13 dst.)

Pasal 5.
(1) (s.d.u. dg. S. 1930-31, S. 1931-240.) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warganegara yang di luar Indonesia melakukan: (AB. 4.)
1o. salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451;
2 o. salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara tempat perbuatan dilakukan diancam dengan pidana. (KUHP 6, 76 2.)
(2) Penuntutan perkara seperti termaksud dalam nomor 2o dapat dilakukan juga bila tertuduh menjadi warganegara sesudah melakukan perbuatan. (Ned.ond. 1 dst.; AB. 4; KUHP 9; Sv. 13.)

Pasal 6.
Berlakunya pasal 5 ayat (1) nomor 2' dibatasi sedemikian rupa, sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, bila menurut perundang-undangan negara tempat perbuatan dilakukan, terhadapnya tidak diancamkan pidana mati.

Pasal 7.
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat yang di luar Indonesia melakukan salah satu tindak pidana seperti termaksud dalam Bab XXVIII Buku Kedua. (KUHP 2 dst., 9, 92; Sv. 13.)

Pasal 8.
(s.d.u. dg. S. 1928-230, S. 1935-492, 565.) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi nakhoda dan penumpang perahu Indonesia, yang di luar Indonesia, sekalipun di luar perahu, melakukan salah satu tindak pidana seperti termaksud dalam Bab XXIX Buku Kedua, dan Bab IX Buku Ketiga; demikian pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal di Indonesia, maupun dalam Ordonansi Perkapalan. (KUHD 309, 311 dst., 341, 341d; KUHP 2 dst., 9, 93, 95; Sv. 13; S. 1934 – 78 jis. S. 1935-89, 565, S. 1937-629, 630, S. 1935-492 jis. S. 1935-565, S. 1937-591, S. 1938-1, 2.)

Pasal 9.
Berlakunya pasal 2- 5, 7, dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum internasional. (AB. 15.)

BAB II. PIDANA.


Pasal 10.
Pidana terdiri atas: (KUHP 69.)
a. pidana pokok:
1o. pidana mati; (KUHP 6, 11, 67.)
2o. pidana penjara; (KUHP 12-17, 24 dst., 27 dst., 32 dst., 38, 42, 67; Inv. Sw. 2 dst.)
3o pidana kurungan; (KUHP 18-33, 38, 41 dst.; Inv. Sw. 2 dst.)
4o. pidana denda; (KUHP 30-33, 38, 42.)
5o. (s.d. t. dg. UU No. 2011946.) pidana tutupan;
b. pidana tambahan:
1o. pencabutan hak-hak tertentu; (KUHP 35 dst., 38, 47 3.)
2o. perampasan barang-barang tertentu; (ISR. 145; KUHP 39-42.)
3o pengumuman putusan hakim. (KUHP 43, 473.)

Pasal 11.
Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali pada leher terpidana, dan mengikatkan tali itu pada tiang gantungan, kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri. (Sv. 339; IR. 329; RBg. 630.)

Pasal 12.
(1) Pidana penjara lamanya seumur hidup atau selama waktu tertentu.
(2) Pidana penjara selama waktu tertentu sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.
(3) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya boleh dipilih hakim antara pidana mati, pidana penjara seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; demikian juga dalam hal batas lima belas tahun dilampaui sebab tambahan pidana karena gabungan (concursus), pengulangan (residive) atau karena yang ditentukan pasal 52. (KUHP 57, 104, 106, 1072, 1082, 1112, 1242, 1302, 1402, 187-3', 1942 196 –3',198 – 2', 200 –3', 2022 , 2042 , 339 dst., 486 dst.)
(4) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari duapuluh tahun.

Pasal 13.
Para terpidana yang dijatuhi pidana penjara dibagi-bagi atas beberapa kelas. (KUHP 29.)

Pasal 14.
Terpidana yang dijatuhi pidana penjara wajib melakukan segala pekerjaan yang diperintahkan kepadanya berdasarkan ketentuan pelaksanaan pasal 29. Dg. S. 1926-251 jo. 486, ditambahkan pasal 14a-f, mb. tgl. 1 Januari 1927.

Pasal 14a.
(1) Bila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak terrnasuk pidana kurungan pengganti denda, maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali bila di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain karena terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis, atau karena terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan dalam perintah itu.
(2) Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara perkara mengenai penghasilan dan persewaan negara, bila menjatuhkan pidana denda, tetapi hanya bila ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan sangat memberatkan bagi terpidana. Dalam menerapkan ayat ini, kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan negara, bila terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhi pidana denda, tidak diterapkan ketentuan pasal 30 ayat (2).
(3) Perintah tentang pidana pokok juga mengenai pidana tambahan, bila hakim tidak menentukan lain.
(4) Perintah itu tidak diberikan, kecuali bila hakim berkeyakinan setelah menyelidiki dengan cermat bahwa dapat dilakukan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan untuk dipenuhinya syarat-syarat khusus bila sekiranya ditetapkan.
(5) Perintah tersebut dalam ayat (1) harus disertai hal-hal atau keadaan keadaan yang menjadi alasan perintah itu.

Pasal 14b.
(1) Masa percobaan bagi kejahatan dan pelanggaran yang tersebut dalam pasal 492, 504, 505, 506, dan 536 paling lama tiga tahun dan bagi pelanggaran yang lain paling lama dua tahun.
(2) Masa percobaan mulai pada saat putusan telah menjadi tetap dan sudah diberitahukan kepada terpidana menurut cara yang ditentukan dalam undang undang.
(3) Masa percobaan tidak dihitung selama terpidana ditahan dengan sah.

Pasal 14C.
(1) Dengan perintah yang dimaksud dalam pasal 14a, kecuali bila dijatuhkan pidana denda, hakim, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi.
(2) Bila hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau pidana kurungan atas salah satu pelanggaran berdasarkan pasal 492, 504, 505, 506, dan 536, maka boleh ditetapkan syarat-syarat khusus yang lain mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan atau selama sebagian dari masa percobaan.
(3) Syarat-syarat tersebut di atas tidak boleh mengurangi kemerdekaan beragama atau kemerdekaan berpolitik bagi terpidana.

Pasal 14d.
(1) Yang diserahi mengawasi agar syarat-syarat itu dipenuhi ialah pejabat yang berwenang menyuruh menjalankan putusan, bila kemudian ada perintah untuk menjalankan putusan.
(2) Bila ada alasan, hakim dalam perintahnya dapat mewajibkan lembaga yang berbentuk badan hukum dan berkedudukan di Indonesia, atau pemimpin suatu rumah penampungan yang berkedudukan di situ, atau pejabat tertentu, agar memberi pertolongan dan bantuan kepada terpidana dalam memenuhi syarat-syarat khusus.
(3) Aturan-aturan lebih lanjut mengenai pengawasan dan bantuan tersebut diatas serta mengenai penunjukan lembaga dan pemimpin rumah penampungan yang dapat diserahi memberi bantuan itu ditetapkan dengan undang-undang. (S. 1926-487.)

Pasal 14e.
Atas usul pejabat dalam pasal 14d ayat (1), atau atas permintaan terpidana, hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama, selama masa percobaan, dapat mengubah syarat-syarat khusus atau lama berlakunya syarat syarat khusus dalam masa percobaan. Hakim juga boleh memerintahkan orang lain daripada orang yang diperintahkan semula, agar memberi bantuan kepada terpidana, dan juga boleh memperpanjang masa percobaan satu kali, paling banyak dengan separuh dari waktu yang paling lama dapat ditetapkan untuk masa percobaan.

Pasal 14f.
(1) Tanpa mengurangi ketentuan pasal di atas, maka atas usul pejabat tersebut dalam pasal 14d ayat (1), hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama dapat memerintahkan agar pidananya dijalankan, atau memerintahkan agar atas namanya diberi peringatan kepada terpidana, yaitu bila terpidana selama masa percobaan melakukan tindak pidana dan karenanya ada pemidanaan yang menjadi tetap, atau bila salah satu syarat yang lain tidak dipenuhi, ataupun bila terpidana sebetum masa percobaan habis dijatuhi pemidanaan yang menjadi tetap, karena melakukan tindak pidana sebelum masa percobaan mulai berlaku. Sewaktu memberi peringatan, hakim harus menentukan juga bagaimana cara memberi peringatan itu.
(2) Perintah agar pidana dijalankan tidak dapat diberikan lagi sesudah masa percobaan habis, kecuali bila sebelum masa percobaan habis terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana dalam masa percobaan dan penuntutan itu kemudian berakhir dengan pemidanaan yang menjadi tetap. Dalam hal itu, dalam waktu dua bulan setelah pemidanaan menjadi tetap, hakim masih boleh memerintahkan supaya pidananya dijalankan, karena melakukan tindak pidana tadi.

Pasal 15.
(s. d. u. dg. S. 1926-251 jo. 486.)
(1) Bila terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, yang sekurang kurangnya harus sembilan bulan, maka kepadanya dapat diberikan pelepasan bersyarat. Bila terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap sebagai satu pidana.
(2) Sewaktu memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa percobaan, serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan.
(3) (s.d. u. dg. S. 1939-77.) Lama masa percobaan itu sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani, ditambah satu tahun. Bila terpidana ada dalam tahanan yang sah, maka waktu itu tidak termasuk masa percobaan. (KUHP 15a4, 15b, 17; S. 1917-749.)

Pasal 15a.
(s. d. t. dg. S. 1926-251 jo. 486.)
(1) Pelepasan bersyarat harus disertai dengan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik.
(2) Selain itu, juga boleh ditambahkan syarat-syarat khusus mengenai kelakuan terpidana, asalkan syarat-syarat khusus itu tidak mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik bagi terpidana.
(3) Pengawasan atas pemenuhan segala syarat itu diserahkan kepada pejabat tersebut dalam pasal 14d ayat (1).
(4) Juga dapat diadakan pengawasan khusus atas pemenuhan syarat-syarat itu, yang semata-mata harus bertujuan untuk memberi bantuan kepada terpidana.
(5) (s.d.u. dg. S. 1939-77.) Selama masa percobaan, syarat-syarat itu dapat diubah, atau dicabut, atau dapat juga diadakan syarat-syarat khusus baru; juga dapat diadakan pengawasan khusus. Pengawasan khusus itu dapat diserahkan kepada orang lain daripada orang yang semula diserahi. (KUHP 16 2; S. 1917-749 pasal 12 jo. S. 1939-77 pasal II.)
(6) Orang yang dilepaskan dengan bersyarat itu diberi surat pas yang memuat syarat-syarat yang harus dipenuhinya. Bila hal-hal yang tersebut dalam ayat di atas dijalankan, maka orang itu diberi surat pas baru. (KUHP 17; S. 1917-749.)

Pasal 15b.
(s.d.t. dg. S. 1926-251, 486; s.d.u. dg. S. 1939-77; UU No. 1/1946.)
(1) Pelepasan bersyarat dapat dicabut, bila orang yang diberi pelepasan bersyarat selama masa percobaan melakukan hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya. Bila ada sangkaan keras bahwa hal-hal di atas dilakukan, Menteri Kehakiman dapat menghentikan pelepasan bersyarat tersebut untuk sementara waktu. (KUHP 16 2,3.)
(2) Waktu selama terpidana dilepaskan bersyarat sampai menjalani pidana lagi, tidak terhitung dalam waktu pidananya.
(3) Pelepasan bersyarat tidak dapat dicabut kembali bila sudah lewat tiga bulan sejak berakhirnya masa percobaan, kecuali bila sebelum waktu tiga bulan lewat terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana dalam masa percobaan, dan tuntutan berakhir dengan putusan pidana yang menjadi tetap. Pelepasan bersyarat masih dapat dicabut dalam waktu tiga bulan setelah putusan menjadi tetap berdasarkan pertimbangan bahwa terpidana melakukan tindak pidana selama masa percobaan.

Pasal 16.
(s. d. u. dg. S. 1939-77; UU No. 1/1946.)
(1) Ketentuan pelepasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari pengurus penjara tempat terpidana, dan setelah mendapat keterangan dari jaksa tempat asal terpidana. Ketentuan itu tidak boleh ditetapkan sebelum ditanya pendapat Dewan Reklasering Pusat, yang tugasnya diatur oleh Menteri Kehakiman.
(2) Ketentuan mencabut pelepasan bersyarat, demikian juga hal-hal yang tersebut dalam pasal 15a ayat (5), ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari jaksa tempat asal terpidana. Ketentuan itu tidak boleh ditetapkan sebelum ditanya pendapat Dewan Reklasering Pusat.
(3) Selama pelepasan bersyarat masih dapat dicabut, maka atas perintah jaksa di tempat tinggalnya, orang yang dilepaskan dengan bersyarat dapat ditahan guna menjaga ketertiban umum, bila ada sangkaan yang beralasan bahwa orang itu selama masa percobaan telah berbuat hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya. Jaksa harus segera memberitahukan penahanan itu kepada Menteri Kehakiman.
(4) Waktu penahanan paling lama enam puluh hari. Bila penahanan disusul dengan penghentian untuk sementara atau pencabutan pelepasan bersyarat, maka orang itu dianggap meneruskan menjalani pidananya mulai pada hari ia ditahan. (KUHP 15, 17; S. 1917-749.)

Pasal 17.
(s.d. u. dg. S. 1926-251 jo. 486.) Contoh surat pas dan peraturan pelaksanaan pasal 15, 15a, dan 16 diatur dengan undang-undang. (S. 1917-749.)

Pasal 18.
(1) Pidana kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun. (KUHP 97.)
(2) Bila ada pemberatan pidana karena gabungan atau pengulangan atau karena ketentuan pasal 52, maka pidana kurungan dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan. (KUHP 65, 488.)
(3) Pidana kurungan sama sekali tidak boleh lebih lama dari satu tahun empat bulan.

Pasal 19.
(1) Orang yang dijatuhi pidana kurungan wajib menjalankan pekerjaan yang diperintahkan kepadanya, sesuai dengan aturan-aturan pelaksanaan pasal 29.
(2) Orang yang dijatuhi pidana kurungan diserahi pekerjaan yang lebih ringan daripada orang yang duatuhi pidana penjara.

Pasal 20.
(1) (s.d. u. dg. S. 1.925-28; UU No. 1/1946.) Hakim yang menjatuhkan pidana penjara atau pidana kurungan paling lama satu bulan; boleh menetapkan bahwa jaksa dapat memberi izin kepada terpidana untuk bergerak dengan bebas di luar penjara sehabis waktu kerja.
(2) Bila terpidana yang mendapat kebebasan itu tidak datang pada waktu dan tempat yang telah ditentukan untuk menjalani pekerjaan yang dibebankan kepadanya, maka selanjutnya ia harus menjalani pidananya seperti biasa, kecuali kalau ketidakdatangannya itu bukan karena kehendak sendiri.
(3) Ketentuan dalam ayat (1) tidak diterapkan kepada terpidana bila pada waktu melakukan tindak pidana belum ada dua tahun sejak ia habis menjalani pidana penjara atau pidana kurungan.

Pasal 21.
(s. d. u. dg. S. 1920-812; UU No. 1/1946.) Pidana kurungan harus dijalani di daerah di mana terpidana berdiam ketika putusan hakim dijalankan, atau bila tidak mempunyai tempat kediaman, di daerah di mana ia berada, kecuali bila Menteri Kehakiman atas permintaan terpidana membolehkan dia menjalani pidananya di daerah lain.

Pasal 22.
(1) Terpidana yang sedang menjalani pidana hilang kemerdekaan di suatu tempat yang digunakan untuk menjalani pidana penjara atau pidana kurungan, atau kedua-duanya, segera setelah pidana hilang kemerdekaan itu selesai, kalau diminta, boleh menjalani pidana kurungan di tempat itu juga.
(2) Pidana kurungan, yang karena sebab di atas dijalani di tempat yang khusus untuk menjalani pidana penjara, tidak berubah sifatnya oleh karena itu. (KUHP 28, 41 5.)

Pasal 23.
Orang yang dijatuhi pidana kurungan boleh memperbaiki nasibnya dengan biaya sendiri, menurut aturan-aturan yang akan ditetapkan dengan undang undang. (KUHP 29; S. 1917-708, Gestichtenr. pasal 93 dst.)

Pasal 24.
Orang yang dijatuhi pidana penjara atau pidana kurungan boleh diwajibkan bekerja, baik di dalam maupun di luar tembok penjara orang-orang terpidana. (KUHP 14, 19, 29; Gestichtenr. 36 ter, 57 dst.)

Pasal 25.
Yang tidak boleh diserahi pekerjaan di luar tembok penjara tersebut ialah:
1o. orang-orang yang dijatuhi pidana penjara seumur hidup;
2o. para wanita;
3o. orang-orang yang menurut pemeriksaan dokter tidak boleh melaksanakan pekerjaan demikian. (KUHP 24; Gestichtenr. 57 4.)

Pasal 26.
Bila mengingat keadaan diri atau status sosial terpidana, hakim menimbang ada alasan, maka dalam putusan ditentukan bahwa terpidana tidak boleh diwajibkan bekerja di luar tembok penjara orang-orang terpidana. (KUHP 24 dst.; Gestichtenr. 36 4.)

Pasal 27.
Lamanya pidana penjara selama waktu tertentu dan pidana kurungan dalam putusan hakim dinyatakan dengan hari, minggu, bulan, dan tahun; tidak boleh dengan pecahannya. (KUHP 97.)

Pasal 28.
Pidana penjara dan pidana kurungan dapat dilaksanakan di tempat yang sama, asal di bagian-bagian terpisah. (Gestichtenr. 36.)

Pasal 29.
(1) Hal menunjuk tempat untuk menjalani pidana penjara, pidana kurungan, atau kedua-duanya, demikian juga hal mengatur dan mengurus tempat tempat itu, hal membagi-bagi para terpidana dalam beberapa kelas, hal mengatur pekerjaan, upah kerja, dan hal perumahan para terpidana yang berdiam di luar penjara, hal mengatur pemberian pengajaran, penyelenggaraan ibadat, hal tata tertib, hal tempat untuk tidur, hal makanan dan pakaian, semuanya itu diatur dengan undang-undang sesuai dengan kitab undang-undang ini.
(2) (s. d. u. dg. UU No. 1 / 1 946.) Bila perlu, Menteri Kehakiman menetapkan anggaran rumah tangga untuk tempat-tempat orang terpidana. (Sv. 14, 19; S. 1917-708.)

Pasal 30.
(1) (s.d.u. dg. UU No. 18/Prp/1960.) Pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh lima sen.
(2) (s. d. u. dg. S. 1926-251 jo. 486.) Bila pidana denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan. (KUHP 41, 97; Sv. 3382 ; Ldg. 53 8.)
(3) (s. d. u. dg. S. 1926-251 jo. 486.) Lama pidana kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan paling tinggi enam bulan. (Sv. 97.)
(4) (s.d.u. dg. UU No. 18/Prp/1960.) Dalam putusan hakim, lamanya pidana kurungan pengganti ditetapkan sebagai berikut; bila pidana dendanya tujuh rupiah lima puluh sen atau kurang, dihitung satu hari; bila lebih dari tujuh rupiah lima puluh sen, tiap-tiap tujuh rupiah lima puluh sen dihitung paling banyak satu hari, demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen. (KUHP 97; Inv. Sw. 4'.)
(5) (s. d. u. dg. S. 1926-251 jo. 486.) Bila ada pemberatan pidana denda yang disebabkan oleh gabungan atau pengulangan, atau karena ketentuan pasal 52, maka pidana kurungan pengganti paling lama delapan bulan.
(6) Pidana kurungan pengganti sama sekali tidak boleh lebih dari delapan bulan. (KUHP 682 , 702.)

Pasal 31.
(1) Terpidana dapat segera menjalani pidana kurungan pengganti tanpa menunggu batas waktu pembayaran denda. (KUHP 302.)
(2) Ia setiap waktu berhak membebaskan dirinya dari pidana kurungan pengganti dengan membayar dendanya.
(3) (s. d. u. dg. S. 1926-251 jo. 486.) Pembayaran sebagian dari pidana denda, sebelum atau sesudah mulai menjalani pidana kurungan pengganti, membebaskan terpidana dari sebagian pidana kurungan yang seimbang dengan bagian yang dibayarnya. (KUHP 30, 33, 41'; Inv. Sw. 4'.)

Pasal 32.
(1) Pidana penjara dan pidana kurungan mulai berlaku bagi terpidana yang sudah di dalam tahanan sementara pada hari ketika putusan hakim menjadi tetap, dan bagi terpidana yang lain pada hari ketika putusan hakim mulai dijalankan. (Sv. 332 dst., 335 dst., 338.)
(2) Bila dalam putusan hakim dijatuhkan pidana penjara dan pidana kurungan atas beberapa tindak pidana, dan kemudian putusan itu bagi kedua pidana tadi menjadi tetap pada waktu yang sama, sedangkan terpidana sudah ada dalam tahanan sementara karena kedua atau salah satu tindak pidana itu, maka pidana penjara mulai berlaku pada saat ketika putusan hakim menjadi tetap, dan pidana kurungan mulai berlaku setelah pidana penjara habis.

Pasal 33.
(1) Hakim dalam putusannya boleh menentukan bahwa waktu selama terpidana menjalani tahanan sementara sebelum putusan menjadi tetap, seluruhnya atau sebagian dipotong dari pidana penjara selama waktu tertentu, dari pidana kurungan, atau dari pidana denda yang dbatuhkan kepadanya; dalam hal pidana denda, dipakai ukuran menurut pasal 31 ayat (3).
(2) (s.d.t. dg. S. 1934-558, 587.) Waktu selama seorang terdakwa ada dalam tahanan sementara yang tidak berdasarkan surat perintah, tidak dipotong dari pidananya, kecuali bila pemotongan itu dinyatakan khusus dalam putusan hakin.
(3) (s.d. u. dg. S. 1934-558jis. 587 dan S. 1938-278.) Ketentuan pasal ini berlaku juga dalam hal terdakwa dituntut sekaligus karena melakukan beberapa tindak pidana, kemudian dipidana karena perbuatan lain daripada yang didakwakan kepadanya waktu ditahan sementara.

Pasal 33a.
(s.d.t. dg. S. 1933-1; s.d.u. dg. S. 1934-172, 337; UU No. 1/1946.) Bila orang yang ditahan sementara dijatuhi pidana penjara atau pidana kurungan, dan kemudian dia sendiri atau orang lain dengan persetujuannya mengajukan permohonan ampun, maka waktu sejak hari permohonan mulai diajukan hingga ada putusan Presiden, tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana, kecuali bila Presiden, dengan mengingat keadaan perkaranya, menentukan bahwa waktu itu seluruhnya atau sebagian dihitung sebagai waktu menjalani pidana. (S. 1933-2.)

Pasal 34.
Bila terpidana melarikan diri selama menjalani pidana, maka waktu selama di luar tempat menjalani pidana tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana. (KUHP 852.)

Pasal 35.
(1) Hak-hak terpidana yang dapat dicabut dengan putusan hakim dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum yang lain, ialah:
1o. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
2o hak memasuki Angkatan Bersenjata; (KUHP 92'.)
3o. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
4o. hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri; (KUHPerd. 355, 359, 433, 452.)
5o. hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri; (KUHP 37, 91; KUHPerd. 298 dst., 307 dst., 319a dst., 345, 359, 379 dst., 433, 452; S. 1927-31 pasal 1.)
6o. hak menjalankan mata pencaharian tertentu. (KUHP 227; KUHPerd. 3.)
(2) Hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya, bila dalam aturan-aturan khusus telah ditentukan bahwa penguasa lain yang berwenang untuk pemecatan itu. (ISR.117, 150 dst.; RO. 20, 20b; KUHP 36, 92, 227.)

Pasal 36.
Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu, dan hak memasuki Angkatan Bersenjata, kecuali dalam hal yang dijelaskan dalam Buku Kedua, dapat dicabut dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang dilakukan dalam jabatan atau karena kejahatan yang dilakukan terpidana dengan melanggar kewajiban khusus suatu jabatan, atau karena ia memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya. (KUHP 52, 92, 413 dst.)

Pasal 37.
(1) Kekuasaan bapak, kekuasaan wali, wali pengawas, pengampu, dan pengampu pengawas, baik atas anak sendiri maupun atas anak orang lain, dapat dicabut dalam hal pemidanaan:
1o. orang tua atau wali yang dengan sengaja melakukan kejahatan bersama-sama dengan anak yang belum dewasa yang berada di bawah kekuasaannya;
2o. orang tua atau wali yang terhadap anak yang belum dewasa yang berada di bawah kekuasaannya, melakukan kejahatan yang tersebut dalam Bab XIII, XIV, XV, XVIII, XIX, dan XX Buku Kedua. (KUHP 91.)
(2) (s.d.t. dg. S. 1927-456 jo. 421, S. 1931-420.) Pencabutan kekuasaan tersebut dalam ayat (1) tidak boleh dilakukan oleh hakim pidana terhadap orang- orang yang baginya diberlakukan undang-undang hukum perdata tentang pencabutan kekuasaan orang tua, kekuasaan wali dan kekuasaan pengampu. (KUHPerd. 319a, 380, 452 2.)

Pasal 38.
(1) Bila dilakukan pencabutan hak, hakim menentukan lamanya pencabutan sebagai berikut:
1o. dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, lamanya pencabutan hak adalah seumur hidup;
2o. dalam hal pidana penjara selama waktu tertentu atau pidana kurungan, lamanya pencabutan hak paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya;
3o. dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan hak paling sedikit dua tahun dan paling tinggi lima tahun.
(2) Pencabutan hak mulai berlaku pada hari ketika putusan hakim dapat dijalankan. (KUHP 32; Sv. 332 dst.)

Pasal 39.
(1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dengan kejahatan atau yang dengan sengaja digunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.
(2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang dilakukan dengan tidak sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang.
(3) Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang oleh hakim diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita. (ISR. 145; KUHP 40, 45 dst.)

Pasal 40.
Bila seorang berumur di bawah enam belas tahun mempunyai, membawa masuk atau mengangkut barang-barang dengan melanggar aturan-aturan tentang penghasilan dan persewaan negara, aturan-aturan tentang pengawasan pelayaran di bagian-bagian Indonesia yang tertentu, atau aturan-aturan tentang larangan memasukkan, mengeluarkan, dan meneruskan pengangkutan barang-barang, maka hakim dapat menjatuhkan pidana perampasan atas barang-barang itu, juga bila yang bersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya tanpa pidana apa pun.

Pasal 41.
(s. d. u. dg. S. 1926-251 jo. 486.)
(1) Perampasan atas barang-barang yang tidak disita sebelumnya, diganti menjadi pidana kurungan, bila barang-barang itu tidak diserahkan, atau bila harganya menurut taksiran dalam putusan hakim tidak dibayar. (KUHP 30 2; Sv. 3382; Ldg. 538.)
(2) Lama pidana kurungan pengganti ini paling sedikit satu hari dan paling tinggi enam bulan.
(3) (s.d.u. dg. UU NO. 18 / Prp / l960.) Dalam putusan hakim lama pidana kurungan pengganti ini ditentukan sebagai berikut: tujuh rupiah lima puluh sen atai; kurang dihitung satu hari; bila lebih dari tujuh rupiah lima puluh sen, tiap-tiap tujuh rupiah lima puluh sen dihitung paling banyak satu hari, demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen.
(4) Pasal 31 juga berlaku bagi pidana kurungan pengganti ini.
(5) Pidana kurungan pengganti ini juga dihapus, bila barang-barang yang dirampas itu diserahkan. (ISR. 145; Sv. 347.)

Pasal 42.
Segala biaya untuk menjalankan pidana penjara dan pidana kurungan dipikul oleh negara, dan semua pendapatan dari pidana denda dan perampasan menjadi milik negara. (KUHP 43.)

Pasal 43.
Bila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan-aturan umum yang lain, maka ia harus menetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah itu atas biaya terpidana. (KUHP 67, 128, 206, 361, 377, 395, 405; Sv. 338.)

BAB III. HAL-HAL YANG MENGHAPUSKAN,
MENGURANGI ATAU MEMBERATKAN PIDANA.

Pasal 44.
(1) Orang yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
(2) Bila temyala perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai masa percobaan. (Krankz. 16, 27.)
(3) (s. d. u. dg. UU No. 1/1946.) Ketentuan dalam ayat (2) berlaku hanya bagi Mahkamah Agung, Pengadilan tinggi, dan Pengadilan Negeri.

Pasal 45.
Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa yang berumur di bawah enam belas tahun karena melakukan suatu perbuatan, hakim dapat menentukan:
memerintahkan supaya yang bersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, watinya atau pemeliharanya, tanpa dikenakan suatu pidana apa pun;
atau memerintahkan supaya yang bersalah itu diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, bila perbuatan tersebut merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536, dan 540, serta belum lewat dua tahun seiak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di alas, dan putusannya telah menjadi tetap;
atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.

Pasal 46.
(s.d. u. dg. S. 1925-1 jo. 152.)
(1) Bila hakim memerintahkan supaya anak yang bersalah itu diserahkan kepada pemerintah, maka ia dimasukkan dalam lembaga pendidikan anak negara supaya menerima pendidikan dari pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kepada seorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada suatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal (sosial) yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di kemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain; dalam kedua hal di alas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur delapan belas tahun.
(2) Aturan untuk melaksanakan ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan undang undang. (S. 1917-741.)

Pasal 47.
(1) Bila hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap tindak pidana anak itu dikurangi sepertiga.
(2) Bila perbuatan itu adalah kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka anak itu dijatuhi pidana penjara paling lama lima belas tahun. (KUHP 45.)
(3) Pidana tambahan yang tersebut dalam pasal 10 huruf b, nomor 1o dan 3o, tidak dapat diterapkan. (Sv. 71o; IR. 62; RBg. 498o.)

Pasal 48.
Barangsiapa melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.

Pasal 49.
(1) Tidak dipidana, barangsiapa melakukan tindakan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat dan yang melawan hukum pada saat itu.
(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak boleh dipidana. (KUHP 341 dst.)

Pasal 50.
Orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang undang, tidak boleh dipidana.

Pasal 51.
(1) Orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak boleh dipidana.
(2) Perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah mengira dengan itikad baik bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya. (KUHP 114, 190, 198, 462.)

Pasal 52.
Bila seorang pejabat, karena melakukan tindak pidana, melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena .jabatannya, maka pidananya dapat ditambah sepertiga. (KUHP 12, 18, 30, 36, 92.)

Pasal 52a.
(s. d. t. dg. UU No. 73/1958.) Bila pada waktu melakukan kejahatan digunakan Bendera Kebangsaan Republik Indonesia, pidana untuk kejahatan tersebut dapat ditambah dengan sepertiga.

Anotasi:
Supaya konsisten dengan yang lain, bunyi pasal ini telah diubah tanpa mengubah artinya.

BAB IV. PERCOBAAN.

Pasal 53.
(1) Percobaan untuk melakukan kejahatan dipidana, bila niat untuk itu telah temyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak-selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata disebabkan oleh kemauannya sendiri. (KUHP 154 5, 3024, 3515.)
(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi sepertiganya dalam hal percobaan.
(3) Bila kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan pidana tambahan bagi kejahatan yang telah diselesaikan. (KUHP 54, 86 dst., 1845, 3024 , 3515, 3522.)

Pasal 54.
Percobaan untuk melakukan pelanggaran tidak dipidana. (KUHP 60; Inv.Sw. 46.)

BAB V. PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA.

Pasal 55.
(1) (s. d. u. dg. S. 1925-197jo. 273.) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1o. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan tindak pidana itu;
2o. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan tindak pidana itu. (KUHP 163 bis, 236 dst.)
(2) Terhadap penganjur, hanya tindak pidana yang sengaja dianjurkan saja yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya . (KUHP 51, 514 , 58.)
203, 217, 293, 313, 380.)

Pasal 56.
Dipidana sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan: (KUHP 58, 86.)
1o. mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan itu dilakukan;
2o. mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu. (KUHP 57 dst., 60 dst., 86, 236 dst.)

Pasal 57.
(1) Dalam hal pembantuan melakukan kejahatan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi sepertiganya. (KUHP 434.)
(2) Bila kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(3) Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan pidana tambahan bagi kejahatannya sendiri.
(4) Dalam menentukan pidana bagi si pembantu perbuatan kejahatan, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya. (KUHP 552, 58.)

Pasal 58.
Dalam menggunakan aturan-aturan pidana, keadaan-keadaan pribadi seseorang, yang menghapuskan, mengurangi atau memberatkan pengenaan pidana, hanya diperhitungkan terhadap pelaku atau pembantu yang bersangkutan itu sendiri. (KUHP 552, 57 4.)

Pasal 59.
Dalam hal-hal di mana ditentukan pidana karena pelanggaran terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang temyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran, tidak dipidana. (KUHP 398 dst.)

Pasal 60.
Pembantu dalam melakukan pelanggaran tidak dipidana. (KUHP 54.)

Pasal 61.
(1) Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, penerbitnya selaku demikian tidak dituntut bila dalam barang cetakan disebut nama dan tempat tinggalnya, sedangkan pembuatnya sudah dikenal atau diberitahukan oleh penerbit pada waktu pertama kali ditegur setelah penuntutan dimulai agar memberitahukan nama si pembuat.
(2) Aturan ini tidak berlaku bila pelaku pada saat barang cetakan terbit tidak dapat dituntut atau sudah menetap di luar Indonesia. (ISR. 164; KUHP 56, 62, 78, 483 dst.)

Pasal 62.
(1) Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, pencetaknya selaku demikian tidak dituntut bila pada barang cetakan disebut nama dan tempat tinggalnya, sedangkan orang yang menyuruh mencetak sudah dikenal atau diberitahukan oleh pencetak pada waktu pertama kali ditegur setelah penuntutan dimulai agar memberitahukan nama orang itu.
(2) Aturan ini tidak berlaku bila orang yang menyuruh mencetak pada saat barang cetakan terbit, tidak dapat dituntut atau sudah menetap di luar Indonesia. (ISR. 66, 164; KUHP 56, 61, 78, 484 dst.)

BAB VI. GABUNGAN TINDAK PIDANA.

Pasal 63.
(1) Bila suatu tindak pidana masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; bila pidananya berbeda-beda, maka yang dikenakan adalah yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. (KUHP 69.)
(2) Bila suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.
Anotasi;
Dg. UU No. 11/Pnps/1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi, ayat (2) tersebut dinyatakan tidak berlaku bagi tindak pidana subversi.

Pasal 64.
(1) Bila antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; bila berbeda-beda, maka yang diterapkan adalah yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. (KUHP 64.)
(2) (s.d.u. dg. S. 1926-359jo. 429.) Begitu juga hanya dikenakan satu aturan pidana saja, bila orang dinyatakan bersalah melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsukan atau yang dirusak itu. (KUHP 244 dst., 253 dst., 263 dst,)
(3) (s. d. t. dg. S. 1931-240; s.d. u. dg. UU No. 18/Prp/1960.) Akan tetapi, bila orang yang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam pasal 364, 373, 379, dan 407 ayat (1), sebagai perbuatan berlanjut dan jumlah nilai kerugian yang ditimbulkan lebih dari tiga ratus tujuh puluh lima rupiah, maka ia dikenakan aturan pidana tersebut dalam pasal 362, 372, 378, dan 406.

Pasal 65.
(1) Dalam hal gabungan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana.
(2) Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana-pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu, akan tetapi tidak boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiganya. (KUHP 12, 18, 30, 66 dst., 68, 70; Sv. 167.)

Pasal 66.
(1) Dalam hal gabungan beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka dijatuhkan pidana atas tiap-tiap kejahatan, tetapi jumlahnya tidak boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.
(2) Dalam hal ini pidana denda dihitung menurut lamanya maksimum pidana kurungan pengganti yang ditentukan untuk perbuatan itu. (KUHP 30, 65, 67-70; Sv. 167.)

Pasal 67.
Orang yang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, tidak boleh dijatuhi pidana lain lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang yang telah disita sebelumnya, dan pengumuman putusan hakim.(KUHP 121, 35 dst., 43.)

Pasal 68.
(1) Berdasarkan hal-hal tersebut dalam pasal 65 dan 66, tentang pidana tambahan berlaku aturan sebagai berikut:
1o. pidana-pidana pencabutan hak yang sama dijadikan satu, yang lamanya paling sedikit dua tahun dan paling lama lima tahun lebih dari pidana pokok atau pidana-pidana pokok yang dijatuhkan. Bila pidana pokok hanya pidana denda saja, maka lamanya pencabutan hak paling sedikit dua tahun dan paling lama lima tahun; (KUHP 38.)
2o. pidana-pidana pencabutan hak yang berlain-lainan dijatuhkan sendiri-sendiri bagi tiap-tiap kejahatan tanpa dikurangi;
3o. pidana-pidana perampasan barang-barang tertentu, demikian juga halnya dengan pidana kurungan pengganti karena barang-barang tidak diserahkan, dijatuhkan sendiri-sendiri bagi tiap-tiap kejahatan tanpa dikurangi. (Sv. 167.)
(2) Jumlah pidana kurungan pengganti tidak boleh lebih dari delapan bulan. (KUHP 30, 41.)

Pasal 69.
(1) Perbandingan berat pidana pokok yang tidak sejenis ditentukan menurut urut-urutan dalam pasal 10.
(2) Bila hakim memilih antara beberapa pidana pokok, maka dalam perbandingan hanya yang terberat yang dipakai.
(3) Perbandingan berat pidana-pidana pokok yang sejenis ditentukan menurut maksimumnya masing-masing.
(4) Perbandingan lamanya pidana-pidana pokok yang sejenis, demikian juga yang tidak sejenis, ditentukan menurut maksimumnya masing-masing.

Pasal 70.
(1) Bila ada gabungan seperti tersebut dalam pasal 65 dan 66, baik gabungan pelanggaran dengan kejahatan, maupun pelanggaran dengan pelanggaran, maka untuk tiap-tiap pelanggaran dijatuhkan pidana sendiri-sendiri tanpa dikurangi.
(2) (s.d.u. dg. S. 1931-290.) Untuk pelanggaran, jumlah lamanya pidana kurungan dan pidana kurungan pengganti paling banyak satu tahun empat bulan, sedangkan jumlah lamanya pidana kurungan pengganti paling banyak delapan bulan. (KUHP 30, 41, 68-2'.)

Pasal 70 bis
(s.d.t. dg. S. 1931-240; s.d.u. dg. S. 1934-644.) Dalam menerapkan pasal 65, 66, dan 70, kejahatan-kejahatan berdasarkan pasal 302 ayat (1), 352, 364, 373, 379, dan 482 dianggap sebagai pelanggaran, dengan pengertian, bila dijatuhkan pidana-pidana penjara atas kejahatan-kejahatan itu, jumlahnya paling banyak delapan bulan.

Pasal 71.
Bila seseorang setelah dijatuhi pidana, kemudian dinyatakan bersalah lagi karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini, kalau perkara-perkara itu diadili serentak.

BAB VII. MENGAJUKAN DAN MENARIK KEMBALI PENGADUAN DALAM HAL
KEJAHATAN-KEJAHATAN YANG HANYA DITUNTUT ATAS PENGADUAN.
(KUHP 284, 287, 293, 313, 319-323, 332, 335, 367, 369 dst.
, 376, 394, 404, 411, 485; Sv. 10 dst,; Aut. 31-34.)

Pasal 72.
(1) Selama orang yang terkena kejahatan, yang hanya boleh dituntut atas pengaduan, belum berumur enam belas tahun dan juga belum dewasa, atau selama ia berada di bawah pengampuan yang disebabkan oleh hal lain daripada keborosan, maka yang berhak mengadu ialah wakilnya yang sah dalam perkara perdata. (KUHPerd. 299 dst., 383, 433, 452; KUHP 2843)
(2) Bila tidak ada wakilnya, atau wakil itu sendiri yang harus diadukan, maka penuntutan dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau pengampu pengawas, atau majelis yang menjadi wali pengawas atau pengampu pengawas; juga mungkin atas pengaduan istrinya atau seorang keluarga sedarah dalam garis lurus, atau bila itu tidak ada, atas pengaduan seorang keluarga sedarah dalam garis menyimpang sampai derajat ketiga. (KUHPerd. 310, 370, 452; KUHP 220, 2843; Sv. 8.)

Pasal 73.
Bila yang terkena kejahatan meninggal dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam pasal berikut, maka tanpa memperpanjang tenggang waktu itu, penuntutan dilakukan atas pengaduan orang tuanya, anaknya, atau suaminya (istrinya) yang masih hidup, kecuali kalau temyata bahwa yang meninggal tidak menghendaki penuntutan. (KUHP 2843, 320 dst.)

Pasal 74.
(1) Pengaduan boleh diajukan hanya dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, bila bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam waktu sembilan bulan bila bertempat tinggal di luar Indonesia. (Rv. 12; KUHP 97; Sv. 8, 10.)
(2) Bila yang terkena kejahatan berhak mengadu pada saat tenggang waktu tersebut dalam ayat (1) belum habis, maka setelah saat itu, pengaduan masih boleh diajukan hanya selama sisa yang masih kurang pada tenggang waktu tersebut. (KUHP 293 3.)

Pasal 75.
Orang yang mengajukan pengaduan berhak menarik kembali pengaduannya itu dalam waktu tiga bulan setelah diajukan. (KUHP 97, 2843 .)

BAB VIII. HAPUSNYA KEWENANGAN MENUNTUT PIDANA
DAN MENJALANKAN PIDANA.

Pasal 76.
(1) (s. d. u. dg. S. 1931-240; UU No. 1/1946.) Kecuali dalam hal putusan hakim masih boleh diubah lagi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap.
Dalam pengertian hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut. (KUHP 283; Sv. 356 dst.; S. 1938-529, S. 1932-80.)
(2) Bila putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka tidak boleh diadakan penuntutan terhadap orang itu dan karena tindak pidana itu pula, dalam hal :
1o. Putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau pelepasan dari tuntutan hukum;
2o. Putusan berupa pemidanaan dan pidananya itu telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun atau kewenangan untuk menjalankannya telah hapus karena daluwarsa. (Sv. 389.)

Pasal 77.
Kewenangan menuntut pidana hapus, bila si tertuduh meninggal dunia. (KUHP 83, 103; Sv. 391 dst.; IR. 367 dst.; RBg. 681 dst.)

Pasal 78.
(1) Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa :
1o. terhadap semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah satu tahun;
2o. terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
3o. terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun;
4o. terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.
(2) Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan belum berumur delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga. (KUHPerd. 1946; KUHP 80, 84; Sv. 407; IR. 371; RBg. 691.)

Pasal 79.
Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal berikut:
1o. (s.d.u. dg. S. 1926-359 jo. 429.) terhadap pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang daluwarsa itu mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsukan atau mata uang yang dirusak digunakan; (KUHP 244 dst., 253 dst., 263 dst.)
2o. terhadap kejahatan dalam pasal 328, 329, 330, dan 333, tenggang daluwarsa itu dimulai pada hari sesudah orang yang langsung terkena oleh kejahatan dibebaskan atau meninggal dunia;
3o. (s.d.u. dg. S. 1921-560 dan S. 1928 - 376.) terhadap pelanggaran dalam pasal 556 sampai dengaii pasal 558a, tenggang daluwarsa itu dimulai pada hari sesudah daftar-daftar yang memuat pelanggaran-pelanggaran itu dipindah ke kantor panitera suatu pengadilan, menurut aturan-aturan umum yang menentukan bahwa register-register catatan sipil harus dipindah ke kantor tersebut. (KUHPerd. 82; BS. 28 dst.)

Pasal 80.
(1) Setiap tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa, asal tindakan itu diketahui oleh orang yang dituntut, atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam aturan-aturan umum.
(2) Sesudah dihentikan, dimulai lagi tenggang daluwarsa yang baru.

Pasal 81.
Penundaan penuntutan pidana karena adanya perselisihan pra-yudisial, menunda daluwarsa. (KUHP 2845 , 3143, 3324; Sv. 409.)

Pasal 82.
(1) Kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam hanya dengan pidana denda menjadi hapus, kalau maksimum denda dibayar dengan sukarela, demikian pula biaya-biaya yang telah, dikeluarkan bila penuntutan telah dimulai, atas kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh aturan-aturan umum, dan dalam waktu yang ditetapkan olehnya.
(2) Bila di samping pidana denda ditentukan perampasan, maka barang yang dikenai perampasan itu harus diserahkan pula, atau harganya harus dibayar menurut taksiran pejabat tersebut dalam ayat (1). (KUHP 41.)
(3) Dalam hal pidana diperberat karena pengulangan, pemberatan itu tetap berlaku sekalipun kewenangan menuntut pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan lebih dulu telah hapus berdasarkan ayat (1) dan (2) pasal ini.
(4) Ketentuan-ketentuan dalam pasal ini tidak berlaku bagi orang yang belum dewasa, yang pada saat melakukan perbuatan berumur di bawah enam belas tahun. (Sv. 410.)

Pasal 83.
Kewenangan menjalankan pidana hapus bila si terpidana meninggal dunia. (KUHP 77, 103; Sv. 399; IR. 368; RBg. 689.)

Pasal 84.
(1) Kewenangan menjalankan pidana hapus oleh karena daluwarsa.
(2) Lama tenggang daluwarsa mengenai semua pelanggaran adalah dua tahun, mengenai kejahatan yang dilakukan dengan sarana percetakan adalah lima tahun, dan mengenai kejahatan-kejahatan yang lain sama dengan tenggang daluwarsa bagi penuntutan pidana ditambah sepertiga. (KUHP 78.)
(3) Bagaimanapun juga, lama tenggang daluwarsa tidak boleh kurang dari lama pidana yang dijatuhkan.
(4) Kewenangan menjalankan pidana mati tidak terkena daluwarsa.

Pasal 85.
(1) Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada keesokan harinya setelah putusan hakim dapat dijalankan.
(2) Bila seorang terpidana melarikan diri selama menjalani pidana, maka pada keesokan harinya setelah melarikan diri itu mulai berlaku tenggang daluwarsa baru. Bila suatu pelepasan bersyarat dicabut, maka pada keesokan harinya setelah pencabutan mulai berlaku tenggang daluwarsa baru. (KUHP 15, 34; Sv.227.)
(3) Tenggang daluwarsa tertuduh selama penjalanan pidana ditunda menurut perintah dalam suatu peraturan umum, dan juga selama kemerdekaan terpidana dirampas, meskipun perampasan kemerdekaan itu berhubung dengan pemidanaan lain. (Sv. 336 dst., 356 dst., 396 dst.)

BAB IX. ARTI BEBERAPA ISTILAH
YANG DIPAKAI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG.


Pasal 86.
Bila disebut kejahatan, baik dalam arti kejahatan pada umumnya maupun dalam arti suatu kejahatan tertentu, maka di situ termasuk pembantuan dan percobaan melakukan kejahatan, kecuali bila dinyatakan sebaliknya oleh suatu aturan. (KUHP 53, 56.)

Pasal 87.
(s.d.u. dg. S. 1930-31.) Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, bila niat untuk itu telah temyata dari adanya permulaan pelaksanaan seperti tersebut dalam pasal 53. (KUHP 53, 104-108, 130, 140.)

Pasal 88.
Dikatakan ada permufakatan jahat, bila dua orang atau lebih telah sepakat untuk melakukan kejahatan. (KUHP 110, 111 bis, 116, 125, 164, 169 dst., 184 dst., 214, 324 dst., 363,:365, 368 dst., 438 dst., 450 dst., 457 dst., 462, 504 dst.)

Pasal 88 bis
(s.d.t. dg. S. 1930-31.) Yang dimaksud dengan penggulingan pemerintah ialah peniadaan atau pengubahan secara tidak sah bentuk pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. (KUHP 107 dst., 111 bis.)

Pasal 89.
Membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. (KUHP 55, 146 dst., 170, 173, 175, 211 dst., 285, 289, 293, 300, 330, 332, 335, 365, 368, 438 dst., 444, 459 dst.)

Pasal 90.
Luka berat berarti: (KUHP 184, 213 dst., 291 dst., 306, 333 dst., 351 dst., 358, 360, 365, 459 dst.)
- jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak dapat diharapkan akan sembuh secara sempuma, atau yang menimbulkan bahaya maut;
- untuk selamanya tidak mampu menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan yang merupakan mata pencaharian;
- kehilangan salah satu pancaindera;
- mendapat cacat berat;
- menderita sakit lumpuh;
- terganggunya daya pikir selama lebih dari empat minggu;
- gugumya atau terbunuhnya kandungan seorang perempuan.

Pasal 91.
(1) Dalam kekuasaan bapak termasuk pula kekuasaan kepala keluarga.
(2) Yang dimaksud dengan orang tua termasuk pula kepala keluarga.
(3) Yang dimaksud dengan bapak termasuk pula orang yang menjalankan kekuasaan yang sama dengan bapak.
(4) Yang dimaksud dengan anak termasuk pula orang yang berada di bawah kekuasaan yang sama dengan kekuasaan bapak.

Pasal 92.
(1) (s.d. u. dg. S. 1931-240; UU No. 1/1946.) Yang dimaksud dengan pejabat termasuk pula orang-orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan -aturan umum, demikian juga orang-orang yang bukan karena pemilihan, menjadi anggota badan pembentuk undang-undang, badan pemerintahan, atau badan perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh Pemerintah atau atas nama pemerintah; demikian juga semua anggota dewan subak, dan semua kepala rakyat Indonesia asli dan kepala golongan Timur Asing, yang menjalankan kekuasaan yang sah.
(2) Yang dimaksud dengan pejabat dan hakim termasuk juga hakim wasit; yang dimaksud dengan hakim termasuk juga orang-orang yang menjalankan peradilan administratif, serta ketua-ketua dan anggota-anggota pengadilan agama.
(3) Semua anggota Angkatan Bersenjata juga dianggap sebagai pejabat. (KUHP 7, 52, 168, 209-217, 228, 294, 316, 3562, 413 dst., 552 dst.)

Pasal 92 bis
(s.d.t. dg. S. 1938-276.) Yang dimaksud dengan pengusaha ialah tiap tiap orang yang menjalankan perusahaan. (KUHD 6.)

Pasal 93.
(1) Yang dimaksud dengan nakhoda ialah orang yang memegang kekuasaan di atas kapal atau yang mewakilinya.
(2) Yang dimaksud dengan Penumpang ialah semua orang yang berada di atas kapal, kecuali nakhoda.
(3) Yang dimaksud dengan anak buah kapal ialah semua perwira atau kelasi yang berada di atas kapal. (KUHD 341, 341d; KUHP 8, 325 dst., 438, 444 dst., 560 dst.)

Pasal 94.
Dicabut dg. UU No. 1/1946.

Pasal 95
(s.d.u. dg. S. 1935-492, 565.) Yang dimaksud dengan kapal Indonesia ialah kapal yang mempunyai surat laut atau pas kapal, atau surat izin sebagai pengganti sementara menurut aturan-aturan umum mengenai surat laut dan pas kapal di Indonesia. (Bdk. dg. Staatsblad yang diberitahukan dalam KUHP pasal 8.)

Pasal 95a.
(s.d.t. dg. UU No. 4 / 1976.)
(1) Yang dimaksud dengan "Pesawat udara Indonesia" adalah pesawat udara yang didaftarkan di Indonesia.
(2) Termasuk pula pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara asing yang disewa tanpa awak pesawat dan dioperasikan oleh Perusahaan penerbangan Indonesia.

Pasal 95b.
(s.d.t. dg. UU No. 4 / 1976.) Yang dimaksud dengan "dalam penerbangan" adalah sejak saat semua pintu luar pesawat udara ditutup setelah naiknya penumpang (embarkasi) sampai saat pintu dibuka untuk penurunan penumpang (disembarkasi).
Dalam hal terjadi pendaratan darurat penerbangan dianggap terus berlangsung sampai saat penguasa yang berwenang mengambil alih tanggungiawab atas pesawat udara dan barang yang ada di dalamnya.

Pasal 95c.
(s.d.t. dg. UU No. 4 / 1976.) Yang dimaksud dengan "dalam dinas" adalah jangka waktu sejak pesawat udara disiapkan oleh awak darat atau oleh awak pesawat untuk penerbangan tertentu, hingga setelah 24 jam lewat sesudah setiap pendaratan.

Pasal 96.
(1) (s.d.u. dg. S. 1934-172, 337.) Yang dimaksud dengan musuh termasuk juga pemberontak. Demikian juga, di situ termasuk negara atau kckuasaan yang akan menjadi lawan perang. (KUHP 124, 126.)
(2) Yang dimaksud dengan perang termasuk juga permusuhan dengan daerah daerah swapraja, demikian juga perang saudara. (KUHP 121, 123, 129, 363, 438.)
(3) Yang dimaksud dengan masa perang termasuk juga waktu selama perang sedang mengancam. Demikian juga dikatakan masih ada masa perang, segera sesudah diperintahkan mobilisasi Angkatan Bersenjata dan selama mobilisasi itu berlaku. (KUHP 122 dst., 126 dst., 29, 236 dst., 363, 387 dst.)

Pasal 97.
Yang dimaksud dengan hari ialah waktu selama dua puluh empat jam; yang dimaksud dengan bulan adalah waktu selama tiga puluh hari. (KUHP 12, 18, 27, 30.)

Pasal 98.
Yang dimaksud dengan waktu malam ialah waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit. (KUHP 167 dst., 363, 365.)

Pasal 99.
Yang dimaksud dengan memanjat termasuk juga masuk melalui lubang yang memang sudah ada tetapi bukan untuk jalan masuk, atau masuk melalui lubang di dalam tanah yang dengan sengaja digali; demikian juga menyeberangi selokan atau parit yang digunakan sebagai batas penutup. (KUHP 167 dst., 235, 363, 365.)

Pasal 100.
Yang dimaksud dengan anak kunci palsu termasuk juga segala perkakas yang bukan peruntukkan untuk membuka kunci. (KUHP 167 dst., 235, 363, 365.)

Pasal 101.
Yang dimaksud dengan temak ialah semua binatang berkuku satu, binatang memamah biak, dan babi. (KUHP 363, 373, 379, 407, 494, 501, 549, 551.)

Pasal 101 bis
(s.d.t. dg. S. 1931-240.)
(1) Yang dimaksud dengan bangunan listrik ialah bangunan-bangunan yang gunanya untuk membangkitkan, mengalirkan, mengubah, atau memberikan tenaga listrik; demikian juga alat-alat yang berhubungan dengan itu, yaitu alat-alat penjaga keselamatan, alat-alat pemasang, alat alat pendukung, dan alat-alat peringatan.
(2) Bangunan-bangunan telegrap dan telepon tidak termasuk bangunan listrik.

Pasal 102.
Dicabut dg. S. 1920-382.

ATURAN PENUTUP.


Pasal 103.
(s.d.u. dg. S. 1931-240.) Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain diancam dengan pidana, kecuali bila oleh undang-undang ditentukan lain. (Sv. 391 dst.; IR. 367 dst.; RBg. 681 dst.; Inv. Sw. 4.)

sumber : FH Unej
sumber lain, antara lain
1. www.unmiset.org
2. www.asiamaya.com