.

k

Hukum dan otonomi daerah

⊆ 20.59 by makalah hukum | .

Oleh: PROF.DR.SOLLY LUBIS, S.H.
KlLAS BALIK
Sejak tahun 1970-an saya ikuti perkembangan garis politik dan perundangundangan
mengenai pemerintahan daerah ini, bahkan retreat kemasa awal kemerdekaan,
menelusuri pergeseran dan variasi policy dan peraturan perundang-undangan, dan
akhirnya dampaknya kepada daerah-daerah Itu sendiri, baik dari segi politik, maupun
ekonomi dan termasuk dunia usaha di daerah-daerah itu. Setelah mengalami turut
melakukan penelitian tentang pengukuran kemampuan daerah-daerah tingkat II di tahun
80-an dengan bertolok ukur pada UU no 5 tahun 1974, turut pula memberi bahan
kontribusi untuk persiapan lahirnya PP No. 45 Tahun 1992, yang mengatur pemerintahan
daerah dengan titik berat di tingkat II, akhirnya menyongsong kelahiran UU No. 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan plus UU No. 25 tahun 1999 tentang Hubungan Keuangan
antara Pusat dan Daerah dan mengikuti seminar / diskusi mengenai otonomi daerah.
namun sampai akhir-akhir ini. saya melihat kehidupan daerah dengan otonominya ini,
seperti berjalan di tempat 1.
Wacana tentang desentralisasi dan kebijakan otonomi daerah terus
mengggelinding, kata Tri Widodo W. Utomo. Saking ramainya perdebatan tentang
imselementasi dan implikasi otonomi banyak orang melupakan hakekat otonomi itu
sendiri, kata Tri Widodo 2.
Semenjak lahirnya Negara Kesatuan R.I. tahun 1945 Otonomi Daerah telah
menjiwai ketatanegaraan Indonesia (ps. 18 UUD 1945). Bukti realitasnya beberapa UU
tentang Pemerintahan Daerah berotonomi telah diterbitkan, menyusul dan berorientasi
kepada perkembangan sosial politik yang terjadi di wilayah dan daerah-daerah di
Indonesia dalam kurun waktu 5 (lima) dekade, yang terdiri dari:
- UU No. 1 Tahun 1945, tentang Komite Nasional Daerah,
- UU No. 22 Tahun 1948, Undang-Undang Pokok tentang Pemerintahan Daerah,
- UU No. 1 Tahun 1957, tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah,
- UU No. 18 Tahun 1965, tantang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah,
- Tap MPRS No. XXI Tahun 1966, tentang pemberian otonomi seluas-luasnya
Kepada Daerah, (tetapi tidak pernah ditindak lanjuti oleh rejim Orde Baru),
- UU No. 5 Tahun 1974, tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah,
- Tap MPR No. XV Tahun 1998,
- UU No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah,
- UU No. 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan
Pusat dan Daerah.
1 Disertasi M. Solly lubis, Pengesaran garis politik dan perundang-undangan mengenai pemerintahan di Daerah dan
Garis besar pelaksanaaln di Sumatera Utara (USU Medan. 14 Desember 1983).
2 Tri Widodo W. Utomo. Otonomi dan Ancaman Otoritarianisme di Daerah. Artikel dalam Surat kabar Harian Kompas,
Jakarta. 01 April 2003.
Dengan diikuti oleh berbagai UU, PP, Penpres / Keppres dan Peraturan Menteri sebagai
aturan pelaksanaan dari UU tersebut pada masanya 3.
Satu kalimat sloganis-retorikal yang sampai sekarang masih tetap kabur
pengertiannya, ialah “Pusat itu adalah pusatnya Daerah dan Dearah-Daerah itu adalah
Daerahnya Pusat”. Slogan ini dikembang-kembangkan di masa berlakunya UU No. 5
tahun 1974 tentang Pemerintahan di daerah yang mengandalkan prinsip otonomi daerah
yang nyata dan bertanggung jawab. Namun yang terjadi ialah Pemerintahan (Pusat)
terus-menerus mengeksploitir semua sumberdaya di daerah di bawah satu sistem
kekuasaan yangi oligarkhis-cronyis, sehingga negara ini bergeser kepada mode:
monarchie dan oligarchie secara terselubung (Vencopte monarehieen oligarehie).
Sesudah muncul era reformasi dan mencuat eforia demokrasi, justeru bukan hanya
PP No. 45/1992 yang ber-ide titik berat otonomi di daerah tingkat II tadi yang kandas di
tengah jalan, tetapi UU yang menjadi induknya itu yakni UU No. 5 tahun 1974 dengan
gaya politik pragmatis dijungkirbalikkan, lalu diganti dengan UU No. 22 tahun 1999.
Yang ideal itu bagaimana :
Mencari format konstitusionalisme dengan pendekatan paradigmatik
Kita harus berfikir ulang dan menata ulang secara paradigmatik. Paradigma
filosofis, kebijakan politis, dan peraturan perundang-undangan mengenai sistem
pemerintahan dan pemerintahan daerah khususnya, adalah tiga dimensi yang bertalian
erat satu sama lain, antara ketiganya ini sudah semenjak tahun 1945 susul menyusul
adanya, dalam rangka mencari satu format atau model pemerintahan dan otonomi daerah
yang sesuai dengan tuntutan perkembangan politik di Indonesia, baik dalam skala lokal,
nasional, regional maupun global.
Silih berganti UUD, begitu pula induk, policy (misalnya GBHN), disusul peraturan
perundang-undangan mengenai pemerintahan dan otonomi daerah, tokh sampai hari ini
belum juga ditemukan satu format yang dinilai mantap dan menjanjikan bagi bangsa ini,
terlebih-Iebih bagi masyarakat di daerah. Justeru gerakan disentegrasi dan separatisme
yang bemunculan dimana-mana.
Semuanya ini sebaiknya kita pulangkan kepada pernyataan pokok yakni apa latar
belakang semua itu ? Di mana letak akar pemasalahannya. Di UUD-kah, di GBHN-kah
atau di UU dan lainnyakah ? atau di dalam niat dan tekad serta mental dan perilaku
penguasanya di Pusat atau di Daerah-Daerah itukah? Atau di semuanya itukah?
Setelah melihat kembali jauh ke belakang berdasarkan pengalaman dan
pengamatan di lingkungan pemerintahan itu, lalu menganalisa dari segi-segi
3 Sumitro Maskun: Perpektif Dunia Usaha Dalam Era Otonomi Daerah, makalah dalam Seminar sehari di
selenggarakan lkatan Magister Manajemen, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 31 Maret 2001 di
Medan.
teoretiskonsepsional maupun praktis-operasional, akhimya saya berpendapat dan
berkeyakinan, bahwa di setiap mata rantai itu masih perlu dibenahi kembali.
Dalam situasi yang demikian, maka UUD-Iah sebagai Konsep Dosen Sistem
mengenai Nasional. yang akan menjadi sumber paradigma dasar yang ideal, untuk
membuahi semua masalah pemerintahan. Termasuk Pemerintahan dan Otonomi Daerah.
Menurut sepanjang pengamatan saya, bangsa ini sedang mencari-cari dan berusaha
menemukan satu format konstitusionalisme yang baru bagi dirinya, untuk kepentingan
penataan ulang sistem manajemen kehidupan bangsa ini di semua bidang politik
ekonomi, sosial budaya dan Hamkam, termasuk mengenai Pemerintahan dan otonomi
Daerah.
Konstitusionalisme yang saya maksud bukan konstiutsi dalam makna rumus UUD ansich,
tetapi ialah isme, ism, pandangan, pemahaman, serta ide atau doktrin untuk
mendapatkan satu rumusan bentuk dan pola baru mengenai manajemen kehidupan
bangsa ini dengan semua sub-sistemnya, dan ingin ditata kembali menurut paradigma
yang jelas, baik paradigma di tataran filosofis maupun politis dan yuridis.
Hilaire Barnett mengatakan: “Coustutionalisme is the doctrine which governs the
legitimacy of government action. By constituonalisme is meant - in relation to constituons
written and unwitten conformity with the broad philosophical values within a state 4.
Pasal 33 UUD 1945 yang memberikan pesan dan amanat kebijakan (political
messages) mengenai format perekonomian nasional (disusun sebagai usaha bersama di
antara semua aktor ekonomi) berdasarkan asas kekeluargaan (brotherhood, bukan family
relationship), buKan gronyisme juga amanat supaya kekayaan alam tanah air ini dikelola
dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (bukan secara oligarkis dan
kroniisme), Bahkan supaya fakir miskin dan yatim piatu sebagai kaum lemah beserta
kaum-kaum lemah lainnya, terutama dalam hal kehidupan sehari-hari. Juga dalam hukum
pemerintahan dan kesempatan kerja dan berusaha, ternyata tidak konsekwen dan
konsisten dijadikan sebagai acuan dan referensi konsitusional dalam praktek, kecuali
lebih banyak retorika politis lewat GBHN.
Pada hakekatnya, deviasi dan penyimpangan konstitusional yang terjadi selama
inilah yang harus dilempangkan supaya kembali ke koridor semestinya. Maka kasus
Indonesia ini sebenarnya, ialah satu upaya besar rekonstitusionalisasi dalam rangka
mencari format konsititusionalisme yang baru bagi bangsa ini. Menurut hemat dan
prediksi saya selama masalah dan kepentingan yang standar dan prinsipal ini belum
terpecahkan dan terselesaikan, maka sistem politik dan sistem perekonomian berikut
sistem dan sub-sub sistem lainnya tidak akan kunjung mendapat format dan profilnya
yang baru yang dinilai memenuhi keinginan masyarakat banyak dan luas.
4 Hilaire Barmett, BA, LL.M: Constituonal & Administrative Law, Cavendish publishing Limited, Landon. Sydney, Fourth
Edition,2000, h.5.
Secara tesis dapat dikatakan, tanpa kemasan kebijakan (package of policy) yang rapi dan
terpadu sedemikian, bisa terjadi bahwa daerah-daerah hanya sekedar lahan dan obkej
(sasaran) dan tidak turut sebagai subjek dan aktor aktif dalam kerjasama nasional
regional dan global.
Melalui pemikiran politis-strategis, kita sadar sepenuhnya bahwa Pemerintahan kita tidak
mampu sendirian untuk membiayai pembangunan nasional perekonomian misalnya, dan
oleh karenanya tak dapat tidak harus dirangkul potensi sektor swasta (private sectors)
untuk mendukung beban ini, (domestic and foreign) setidak-tidaknya melalui penanaman
modal dan pengembangan usaha di sektor pertanian dan perindustrian, lalu kemudian kita
akan mengekspor barang jadi dan setengah jadi ke luar, kita peroleh devisa, lalu kita
pergunakan via APBN dan APBD untuk membiayaj proyek-proyek pembangunan kita 5.5
Dalam konteks kebijakan yang demikian direkayasa kebijakan dan perundangundangan
yang mendukung lalu kita terapkan deregulasi dan debirokratisasi secara
paradigmatik selain untuk melancarkan proses administrasi buat melayani para penanam
modal itu (domestic and foreign invertors) juga untuk menarik minat dan kebetahan
mereka untuk beroperasi di wilayah dan lahan-lahan kita.
Di dalam negara kesatuan, sangat mudah muncul isu kepentingan nasional yang
dipertentangkan dengan kepentingan daerah. Dalam konteks ini, pemerintahan Pusat
adalah pembela utama kepentingan nasional. Pemerintahan Pusat bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan pada tingkat
nasional.
Menurut saya lagi, sebelum semuanya itu dimulai, harus lebih dulu di redakan gonjangganjing
politik dan kekuasaan yang lagi berkobar secara sentral di tanah air ini. Baru
kemudian, duduk bersama dengan pikiran yang jernih dan ideaf-futuristik, untuk
memikirkan format konsitutisionalisme yang dipanjang pas dan cocok untuk masa depan
ini.
Di sinilah letak sumber kekesalan dan kegeraman masyarakat terhadap perilaku
para aktor politik di tanah air ini, walaupun saya ragu apakah memang semuanya itu
adalah sekedar politis atau telah berkualitas sampai ke strata negarawan (stateman,
staatsmannen), yang mampu memikir dan merancang hari depan bangsa dan negara ini
hingga jauh kedepan (futuristic view).
Bagi Pemerintahan (Pusat) sumber-sumber kekayaan yang ada di daerah-daerah
adalah bagian yang amat penting bagi penghasilan nasional, karena pertambangan,
industri, pertanian, kehutanan dan berbagai bentuk badan usaha di daerah. Menurut
kacamata Pemerintahan (Pusat) sumber kekayaan yang berasal dari suatu daerah adalah
milik nasional yang dihasilkan oleh suatu Daerah tidak bisa hanya digunakan untuk
kepentingan daerah bersangkutan. Asas pemerintahan merupakan salah satu pedoman
kerja Pemerintahan (Pusat) sehingga sumbar kekayaan yang ada di daerah tertentu
dibagikan pula ke daerah-daerah lain. Akibatnya, kekayaan suatu daerah tidak dapat
dinikmati sendirian oleh Daerah bersangkutan.
5 Dr. Syahrir: Kondisi ekonomi. prospek usaha dan Otonomi Daerah, disajikan dalam Seminar sehari Ikatan Alumi
Magister manajemen Universitar Sumatera Utara Medan, 31 Maret 2001.
Sebaliknya, pihak daerah lebih menekankan pada kepentingan daerah. Dalam
pandangan Daerah, sumber-sumber kekayaan yang ada di daerahnya sering kali
dianggap bisa dimanfaatkan untuk kepentingan daerah dan rakyat disana.
Hal ini terutama bila daerah bersangkutan masih terbelakang dan miskin. Semakin
terbelakang suatu daerah semakin besar tuntutan supaya sumbel-sumber kekayaan yang
ada di daerah yang bersangkutan digunakan pertama-tama untuk memenuhi kebutuhan
pemerintahan dan rakyat di daerah tersebut.
Jawaban yang utama, dimulai menata kembali “hubungan kekuasaan dan hubungan
keuangan antara Pusat dan Daerah” secara nasional melalui Undang-Undang, kemudian
disusul dengan petunjuk pelaksanaan (juklak) yang diatur melalui Peraturan
Pemerintahan (PP).
Yang menjadi pertanyaan awal, sebelum itu ialah sejauh mana konsensus nasional dapat
dicapai sebagai political will, yang akan menjadi landasan politis srategis buat menata
hubungan yang dimaksud.
Memang, nampaknya masalah ini sudah berulang-ulang muncul kepermukaan,
namun hal hubungan tersebut adalah suatu aspek keadministrasian negara, yang tak
dapat dihindari baik dalam konteks negara kesatuan maupun negara serikat.
Menurut sepanjang pengalaman saya bersama rekan-rekan dari berbagai
Universitas, LIPI, LSM, juga dengan Panitia-Panitia Ad Hoc-MPR dalam forum diskusi
mengenai amandemen pasal-pasal UUD 1945, masalah Pemerintah Daerah dengan
masalah Otonomi ini adalah termasuk masalah yang rentan dan prinsipil. Sampai hari ini
belum ada kata-akhir mengenai persoalan akan dibagaimanakan masalah otonomi
daerah ini untuk keperluan di masa yang akan datang. Disamping mengakui beberapa
kebaikannya saya melihat kehadiran UU No. 22 tahun 1999 yang ada sekarang di sanasini
masih memerlukan penyempurnaan.
Padahal, UU seperti inilah yang akan menjadi salah satu acuan yuridis untuk menata
ulang pemerintahan dan pembangunan di daerah, termasuk pembangunan di bidang
perekonomiannya termasuk dunia usaha yang dinilai kondusif untuk pengembangan
daerah.
Ataukah kita akan berbicara berdasarkan peraturan yang ada dan seadanya saja,
yakni UU No. 22 tahun 1999 dan peraturan-peraturan organiknya? Ataukah kita akan
berfikir mengenai hal-hal yang, seyogianya akan diatur kelak melalui perubahan UU ini ?
Jika pertanyaan terakhir ini yang benar untuk kita garap hari ini, maka satu langkah lagi
yang perlu dilakukan, yaitu melihat “ketersediaan” patokan-patokan konstitusional yang
sudah ada sesudah amandemen UUD 1945, khususnya yang mengatur perihal
Pemerintahan dan Otonomi Daerah.
Ketidak – teraturan peraturan
Yang saya maksud dengan ketidak-teraturan peraturan di sini, ialah tidak
sistematisnya proses perumusan kebijakan ( policy ) mengenai Pemerintahan Daerah dan
Otonominya itu, jika dibandingkan antara moment lahirnya UU No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Hubungan Keuangan Pusat
dan Daerah sebagai hasil desakan dan pukulan reformasi dan eforia demokrasi di tahun
1998 dan 1999 dihubungkan dengan moment lahirnya amandemen UUD 1945 (termasuk
amandemen terhadap pasal 18 UUD itu tentang Pemerintahan Daerah) sebagai hasil
desakan lanjut reformasi dan eforia demokrasi itu khususnya untuk mereformasi konstitusi
1945 di tahun 1999, 2000,2001 dan 2002.
Setelah keluarnya UU mengenai Pemerintahan Daerah dan Keuangan Daerah itu
apakah semua permasalahan sudah atau dapat segera diselesaikan ? Ternyata tidak.
Bahkan Timbul masalah-masalah baru sebagai konsekwensi dari pergeseran garis
kebijakan politik dan perundang-undangan itu, Sedangkan disisi lain, peraturan-peraturan
untuk pelaksanaan tidak segera dilengkapi (organieke verordeningen).
Terasa kerunyaman bahkan kekurang-pastian hukum mengenai status, posisi dan fungsi,
dalam konteks hubungan antara pusat dan Daerah, bahkan juga terasa adanya
kesimpangsiuran pandangan dan penafsiran mengenai hakekat otonomi daerah dalam
UU itu.
Kerunyaman Transisional
Sebagai akibatnya, dalam masa transisi di tahun 1999 dan berikutnya dengan
kelahiran UU No. 22 dan No. 25 tahun 1999 itu, terjadi pergolakan poIitis-yuridis
administratif dalam hubungan antara Pusat dan Daerah. Bahkan antara Propinsi dengan
kabupaten / Kota, bahkan Iagi antara sesama kabupaten / Kota itu sehingga terjadi
semacam terputusnya hubungan hierarchis secara vertikal dan juga seperti hapusnya
hubungan koordlinator dan subordinatif di antara sesama Pemerintah Pemerintah di
Daerah itu.
Kerunyaman ini ditandai oleh timbulnya berbagai aktivitas yang dipoIes dengan slogan
reformasi dan eforia demokrasi, yang pada hakekatnya - menurut pengamatan danpenelitian
saya adalah disebabkan oleh ketentuan - ketentuan dalam UU itu sendiri.
Beberapa hal saya sampaikan sekedar contoh :
1) Tidak semua pihak legislatif maupun eksekutif didaerah Kabupaten dan Daerah
Kota itu dinilai “siap” dalam arti menguasai pemahaman untuk menerapkan UU itu,
dengan persepsi yang sama.
2) Terjadi sikap yang Ekstrim sedemikian, sehingga Daerah-daerah Kabupaten dan
Kota menganggap tidak ada hubungan administratif dan fungsional sama sekali
dengan Propinsi, dan beberapa KDH telah langsung berhubungan dengan
Pemerintah pusat tanpa “sekedar pemberitahuan atau beri kabar pun” kepada
Gubernur KDH Propinsi.
3) Timbul kecenderungan Kabupaten untuk mengeruk sebanyak mungkin sumber
PAD seakan-akan kepentingan kesejahteraan masyarakat dinomor duakan, dan
belum tentu terjamin bahwa pungutan-pungutan itu akan membalik (feed back,
melting process) sebagai biaya penanggulangan kepentingan kesejahteraan rakyat
(public service) 6.
4) Terjadi semacam rebutan kedudukan antar kaum politisi dari Parpol dan kalangan
aparat birokrat yang telah meniti karir dengan jenjang pendidikan dan dengan jam
terbang pengalaman yang cukup lama untuk menduduki posisi-posisi eksekutif.
Bahkan disana sini terjadi “money politics” padahal menurut teriakan dan pekik
reformasi semula, KKN harus dikikis habis, khususnya “suap menyuap” dalam hal
pencalonan Kepala Daerah dan Wakilnya. Sampai saat ini masih ada kasus money
politics ini, yang belum tuntas pemerosesannya secara yuridis. Apakah ini tidak
bertentangan dengan visi dan misi reformasi dan prinsip demokrasi ?.
5) Dalam masa transisi peraturan dari UU No. 5 tahun 1974 kepada UU No. 22 1999
juncto PP. No. 108 tahun 2000 mengenai Tata cara penyampaian pertanggung
jawaban KDH kepada DPRD, terlihat ketidak-siapan, dalam arti kedua pihak belum
sepenuhnya memahami isi dan makna UU yang baru itu dibandingkan dengan isi
dan makna UU yang lama.
6) Terlihat adanya kecenderungan pengkaplingan wilayah kekuasaan diantara
Kabupaten-kabupaten dengan semangat otonomi yang meluap-luap dan
menganggap tidak harus adanya lagi campur tangan Pusat terhadap kasusnya
meskipun mengaku bahwa negara ini (masih) negara kesatuan. Apakah merasa
tidak perlu adanya lagi koordinasi ataupun konsultasi?. Dalam praktek dan
perkembangan di daerah-daerah, muncul pemeo bahwa penguasa sebagai
penyelenggara pemerintahan di daerah, telah menjadi semacam “raja-raja kecil”
yang mengklaim tidak adanya lagi hubungan kordinatif dan kontrol oleh Propinsi /
Gubernur terhadap Kabupaten / Bupati dan Kota / Walikota. Beberapa contoh
Bupati sudah langsung berhubungan dengan menteri Dalam Negeri “tanpa
kordinasi / konsultasi / pamit” lagi kepada Gubernur.
7) Terdapat ketidak -pastian mengenai perlu tidaknya penyusunan Program
Pembangunan Daerah (Propeda) Kabupaten, disusun dengan cara menyesuaikan
dengan Propeda Propinsi (termasuk Rencana Strategisnya), dan sebaliknya
apakah pemerintah Propinsi masih punya kewenangan memberikan semacam
arahan strategis kepada Kabupaten dan Kota. Kalaupun tidak mengakui perlunya
sub-ordinasi, apakah tidak perlu lagi koordinasi, sebagai salah satu fungsi
manajemen ?.
8) Restrukturisasi kelembagaan dan kepegawaian pasti terjadi secara besar-besaran
karena Daerah harus menuntaskan reposisi dan refungsionalisasi para pejabat dan
pegawai, yang tadinya adalah aparat Pusat dan Daerah, (Kanwil, Kandep, Dinas,
Cabang Dinas) yang bersama-sama berada di Daerah yang sama dan rnengenai
urusan yang sama atau bersamaan.
9) Mengenai urusan-urusan tertentu termasuk “pertanahan” misalnya, masih akan
menjadi permasalahan, karena kedua pihak Pemerintah akan dipertanyakan, pihak
mana kelak dan kompeten mengenai urusan pertanahan, apakah kabupaten dan
Kota yang menjadi tempiat lokasi tanah ataukah pihak Pusat atau Propinsi. Dengan
6 Akhir-akhir ini, berkembang pula kecenderungan pihak legislatif untuk meningkatkan Anggaran Belanja, bukan untuk
sebanyak mungkin dikembalikan kepada masyarakat lewat pembangunan (public service), tetapi untuk meningkatkan
honorarium sebagai anggota legislatif daerah (melalui biaya rutin).
kata lain, BPN-kah atau akan ada Dinas Pertanahan Daerah untuk mengurusi
pertanahan.
Dasar hukum untuk kewenangan daerah (Kabupaten dan Kota) mengenai “Pertanahan”
ialah pada pasal ii UU No. 22 tahun 1999. Pasal 11 ayat (2) : Bidang pemerintahan yang
wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum,
kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industeri, dan
perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga
kerja. Dalam penjelasan resmi pasal 1 ayat (2) ini dikatakan :
Tanpa mengurangi arti dan pentingnya prakarsa daerah dalam penyelenggaraan
pelayanan dasar kepada masyarakat. Daerah Kabupaten dan Daerah Kota wajib
melaksanakan kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu menurut pasal ini,
sesuai dengan kondisi Daerah masing-masing, dan merupakan kewenangan yang
wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak dapat dialihkan
Daerah Propinsi.
Apeksi (Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia) mendesak supaya
Pemerintah Pusat menyerahkan wewenang mengenai pertanahan ke Daerah, dengan
alasan bahwa UU No. 22 tahun 1999 memasukkan urusan pertanahan menjadi kewajiban
yang harus dilaksanakan oIeh Daerah Kabupaten dan Kota (Pasal 11 ayat (2) tahun
1999).
Apeksi bahkan minta supaya Keppres No.10 tahun 2001 yang memberikan kembali
wewenang kepada BPN (Badan Pertanahan Nasional) dicabut atau tidak diperpaniang.
Masalah pertanahan mendesak dibahas, mengingat masa berlakunya Keppres No.10
tahun 2001 yang dikeluarkan semasa Abdurrahman Wahid hanya sampai 31 Mei 2003,
dan jika Keppres itu tidak diperpanjang atau tidak diperbaharui, secara otomatis, menurut
Apeksi mulai 1 Juni 2003 masalah pertanahan akan dikelola oleh Daerah.
Menurut Rusfi Yunairi (Direktur Apeksi / Ketua Panitia Rapat Teknis Sekda / Bapeddal
Asisten Apeksi, menurut berita Republika 22 Mei 2003), selain Apeksi, Apkasi (Asosiasi
Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia) dan Adeksi (Asosiasi Dewan Kota Seluruh
Indonesia) juga menuntut hal yang sama, yaitu memberikan wewenang penuh kepada
Daerah dalam mengurus pertanahan. “Kita semua sepakat bahwa BPN akan kita kubur”,
demikian bunyi pernyataan itu 7.
Kemandirian Yana Integral
Untuk mengetahui hakekat pemberian otonomi kepada Daerah perlu difahami
benar-benar prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah yang disebutkan dalam Penjelasan
UU no, 22 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Di situ dikatakan adanya 8 (delapan) pokok prinsip yang dimaksud :
1) Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek
demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keaneka ragaman Daerah.
7 Harian Republika, Jakarta, Kamis 22 Mei 2003, halaman 3.
2) Pelaksanaan otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan
bertanggungjawab.
3) Pelaksanaan otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah
Kabupaten dan daerah Kota, sedang daeraih Provinsi merupakan otonomi yang
terbatas.
4) Pelaksanaan otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga
tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta Antar Daerah.
5) Pelaksanaan otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah
Otonomi, dan karenanya dalam Daereh Kabupaten dan Daerah Kota tidak lagi ada
Wilayah Administrasi. Demikian pula dikawasan-kawasan yang khusus yang dibina
oleh Pemerintah (Pusat) atau pihak lain, seperti badan otoritas, kawasan
pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan,
kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan, baru kawasan
pariwisata, dan semacamnya berlaku ketentuan Peraturan Daerah Otonomi.
6) Pelaksanaan Otonomi daerah harus lebih meningkatkan peran dan fungsi badan
legisfatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawasan maupun fungsi
anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
7) Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Provinsi dalam
kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan
pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai Wakil
Pemerintah (Pusat).
8) Pelaksanaan asas tugas pembantuan (medebewing, peny) dimungkinkan, tidak
hanya dari Pemerintah (Pusat) kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah (Pusat)
kepada Desa, yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta
sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan
mempertangungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Sebagaimana biasanya fungsi Penjelasan suatu UU, Penjelasan di atas sangat penting
artinya bagi kepastian hukum mengenai Pemerintahan dan otonomi Daerah ini, untuk
diketahui semua pihak baik kalangan Pusat maupun Daerah. Perlu pula diingat bahwa
Penjelasan itu sebagai bagian yang senyawa dan tak terpisah dari pasal-pasal UU itu,
adalah produk kesepakatan wakil-wakil rakyat secara Nasional, baik dari sudut kebijakan
(policy, beleid) maupun dari sudut perundang-undangan (yuridis), dan bahwa ketentuanketentuan
itu mengikat bagi semua pihak.
Atas dasar kerangka pemikiran politis dan yuridis, sebagaimana dikemukakan sebagai
prinsip-prinsip pemberian otonomi di atas, dapat kiranya dimaklumi, pemastian dan
penegasan mengenai hakekat slogan yang selama ini selalu digaungkan, bahwa pusat itu
adalah Pusatnya Daerah, dan bahwa Daerah-Daerah itu adalah Daerahnya Pusat.
Saya berpendapat, memang harus demikian prinsip yang harus ditegakkan dalam Negara
Kesatuan bahkan juga di Negara-negara Serikat 8.
8 Di negara Serikat (federasi) seperti Amerika Serikat, dalam UUD-nya diatur perihal kewenangan Pemerintah Federal
(enumerated power) dan ada patokan dasar konstitusional bahwa sisanya (residual power) menjadi kewenangan
negara-negara bagian. Di Malaysia distribulsi kewenangan sepertj itu disebut secara rinci dalam Federal List, State List
dan Concurrent list.
Jadi menurut prinsip itu, daerah otonomi yang mandiri dan memiliki kemandirian itu,
kemandirian selaku daerah otonomi yang berwenang mengatur (beeheren, membuat
Perda sendiri) dan mengurus (beheeren, menyerenggarakan pemerintahan menurut
peraturan yang sudah dibuat), namun tetap dalam konteks dan kerangka negara kesatuan
(eenheids staat), bukan negara dalam negara.
Pembinaan dan Pengawasan
Menurut Penjelasan Umum dalam UU No. 22 tahun 1999, yang dimaksud dengan
“pembinaan” adalah lebih ditekankan pada memfasilitasi dalam upaya pemberdayaan
Daerah Otonomi, sedangkan “Pengawasan” lebih ditekankan pada pengawasan represif
untuk lebih memberikan peran kepada DPRD dalam mewujudkan fungsinya sebagai
badan pengawas terhadap pelaksanaan otonomi daerah.
Karena itu, Peraturan Daerah (Perda) yang ditetapkan Daerah Otonomi tidak memerlukan
pengesahan terlebih dahulu oleh pejabat yang berwenang (baca penjelasan Umum
puntIo).
Pada bab XII UU No. 22 tahun 1999 diatur perihal “pembinaan dan pengawasan”. Pasal
112 UU mengatakan, dalam rangka pembinaan Pemerintah (Pusat) memfasilitasi
penyelenggaraan otonomi Daerah. Yang dimaksud dengan memfasilitasi adalah upaya
memberdayakan (empowerment) Daerah otonom itu melalui pemberian pedoman,
bimbingan, arahan dan supervisi (baca ayat 1 dan Penjelasannya).
Pedoman mengenai pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi Daerah
itu ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP). PP itu sekarang ialah PP No. 20 tahun
2000.
Secara sistem perundang-undangan, PP itu harus dilihat dalam hubungan dan rangkaian
kesatuan dengan dan sekaligus sebagai lanjutan induk ketentuan di pasal 112 UU No. 22
Tahun 1999. Perbedaan formil ialah UU adalah produk bersama antara Presiden dan
DPR sedangkan PP adalah Produk Presiden sendiri.
Dalam konsep hukum tatanegara dan administrasi negara, dikenal pengawasan secara
preventif dan pengawasan secara represif. Yang preventif ialah tindakan prevensi
(pencegahan) oleh Pemerintah Atasan terhadap Rancangan peraturan, misalnya
Pemerintah (Pusat) c.q. menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah (Men.DN.Otda)
langsung atau dikuasakannya kepada Gubernur untuk membatalkan Renperda
(Rancangan Peraturan daerah Kabupaten / Kota) antara lain dengan alasan bertentangan
dengan kepentingan umum, bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau karena
mengatur hal-hal yang sudah diatur dalam peraturan yang lebih tinggi itu.
Pada pengawasan secara repressif, ialah membatalkan peraturan Daerah yang sudah
kadung berjalan.
Menurut pasal 113 UU No. 20 Tahun 1999, dalam rangka pengawasan, Perda dan Kpts
KDH disampaikan kepada Pemerintah (atasan) selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari
setelah ditetapkan. Menurut pasal 114, pemerintah dapat membatalkan Perda dan Kpts
KDH yang bertentangan dengan umum atau perundang-undangan lainnya.
Keputusan pembatalan Perda dan Kpts KDH itu, diberitahukan kepada KDH yang
bersangkutan dengan menyebutkan alasan-alasannya (ayat (2) pasaI 114). Selambatlambatnya
satu minggu setelah keputusan pembatalan Perda dan Kpts. KDH itu, keduaduanya
harus dibatalkan pelaksanaannya (baca (3) pasal 114 itu. Daerah yang tidak
dapat menerima keputusan pembatalan Perda ataupun Kpts KDHnya dapat mengajukan
keberatan kepada mahkamah Agung setelah mengajukannya kepada Pemerintah (Pusat
atau wakilnya di daerah yakni Gubernur) (baca ayat 4 UU No. 22 tahun 1999 itu).
Berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah berikut penjelesannya itu, baik Penjelasan Umum maupun
penjelasan Pasal demi Pasal, ditarik kesimpulan bahwa otonomi Daerah yang akan
dikembangkan menurut UU ini ialah otonomi daerah dengan kemandirian yang integral.
Berarti, daerah-daerah diberikan komandirian dalam makna kebebasan untuk mengatur
dan mengurus Daerahnya masing-masing (relegen en beheeren), namun tetap berada
dalam status sebagai bagian yang integral dan terpadu dalam lingkungan negara
kesatuan R.I.
Sebenarnya status dan posisi Daerah yang demikian, sudah demikian lama dianut di
Indonesia, baik melalui UUD maupun melalui UU, namun faktor kebebasan mengatur dan
mengurus itulah yang bervariasi dari masa-kemasa sesuai dengan perkembangan politik
dan pemerintah.
Menurut pendapat saya, apapun peraturan yang berlaku, dan bagaimanapun peraturan
silih berganti, dan bagaimanapun gejolak Politik yang berkembang, namun perlu adanya
kesamaan persepsi di antara semua pihak-pihak Pemerintah, baik Pusat dan daerah, dan
juga antar-sesama Daerah, untuk menempatkan semua masalah dan penggarisan
kebijakan serta pembuatan peraturan (UU, Perda, dsb) dalam konteks pemikiran yang
senantiasa mengarah kepada pemeliharaan kultur dan nilai-nilai demokrasi.
Dengan tidak mengabaikan gejolak dan situasi nasional dan perkembangan kekuasaan di
Ibukota, sebaiknya Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota sudi duduk bersama
dengan pemikiran yang jernih dan rasional untuk bersama-sama menemukan dan
menggariskan kebijakan mengenai pelaksanaan pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan di lingkungan Provinsi masing-masing, dengan mengutamakan
kepentingan dan kesejahteraan masyarakat, tidak sekedar melihat secara sempit
kepentingan daerah masing-masing ataupun dengan arogan mempertahankan
kepentingan kekuasaan yang formal di daerahnya sendiri-sendiri.
BEBERAPA MASALAH PRAKTIS : VERSI SUMATERA UTARA 9.
Di bawah ini penulis kemukakan beberapa masalah yang dihimpun berdasarkan
tulisan Saudara AbduI Kadir Kepala Sub Dinas Perencanaan Dinas Pendapatan Daerah
Sumatera Utara sebagai berikut :
1) Penafsiran terhadap pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 22 tahun 1999. Dalam
praktek pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 ternyata
dapat memberikan tafsiran yang kadangkala dalam arti sempit, sehingga
menimbulkan konflik antara Pemerintah Propinsi dengan Kabupaten / Kota dan
sebaliknya antara Kabupaten dengan Kabupaten, dan juga antara Kabupaten
dengan Kota dalam wilayah yang berhampiran.
Hal ini dapat dicermati pada bunyi pasal 4 ayat (1) dan (2) UU No. 22 tahun 1999
yang menyatakan bahwa Daerah Propinsi. Daerah Kabupaten / Kota masingmasing
berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarkhi satu sama lain.
2) Pembagian Wilayah Daerah Khususnya Wilayah Laut.
Pasal 3 UU No. 22 tahun 1999 itu bahwa wilayah laut Propinsi adalah sejauh 12 mil
laut yang diukur dari garis pantai dari laut lepas, kearah laut lepas dan atau kearah
perairan kepulauan. Selanjutnya disebutkan pada pasal 10 ayat (3) bahwa
kewenangan Daerah Kabupaten / Kota adalah sejauh 1/3 mil dari batas laut
Daerah Propinsi.
Untuk menghindari tafsiran dan persepsi yang berbeda dalam implementasinya
dalam praktek, seyogianya diterbitkan peraturan pelaksanaannya (organieke
verordening, mungkin PP atau Keppres), sehingga pelaksanaannya dapat berjalan
dengan baik dan benar sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3) Pedoman Perangkat Daerah.
Pasal 99 PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom kiranya memerlukan aturan
pelaksanaannya untuk menjadi pedoman mengenai standard dan norma berupa
petunjuk dan arahan dari Menteri terkait.
Disamping PP No. 25 tahun 2000 itu ada PP No. 84 tahun 2000 tentang
Pengumuman Perangkat Darah, dan menurut PP ini, maka berbagai kewenangan
yang sebelumnya hal yang sama juga dilakukan oleh Kabupaten / Kota di instansi
vertikal telah diserahkan dan berintegrasi menjadi Dinas atau Badan Propinsi
Dalam kenyataannya pengintegrasian itu lebih didominasi atas pengalihan status
PNS, personil dan beberapa aset serta sebagian kewenangan yang dinilai dapat
dilaksanakan Propinsi.
4) Sumber penerimaan, khususnya PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).
Menurut pengamatan dan pengalaman, pelaksanaan UU No. 22 tahun 1997
tentang Penerimaan Negara bukan Pajak (PNBP) juncto PP No. 22 tahun 1997
9 Abdul Kadir SH, Potret Otonomi Daerah dalam Perspektif Pengelolaan Sumber Pendapatan Daerah, Dipendasu
Medan, 2003.
tentang Penyetoran dan Jenis-Jenis PNBP, berarti PP ini diharapkan menjadi
semacam lex specialis (aturan khusus). Sedangkan dalam pelaksanaannya.
ternyata pengaturan kewenangan secara teknis diterbitkan (SE, Surat Edaran) dan
Keputusan Mentri terkait, yang difasilitasi oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri.
Sedangkan di sisi lain UU maupun PP mengenai penyerahan kewenangan
pengelolaan PNBP kepada Daerah sama sekali belum diterbitkan, sehingga
menimbulkan keraguan, baik bagi Pemerintah Propinsi maupun Kabupaten / Kota.
Dalam praktek, untuk mengatasi keraguan yang berkepanjangan itu, maka dengan
berpegang pada petunjuk Menteri “terkait” baik berupa Keputusan maupun Surat
Edaran, beberapa Daerah rnemberanikan diri menerbitkan Peranan Daerah
(Perda) tentang pengelolaan kewenangan tersebut yang berkaitan dengan “Objek
pungutan daerah”.
Untuk itu Propinsi Sumatera Utara menerbitkan 3 (Tiga ) Perda yang terkait dengan
kewenangan di bidang penindustrian dan perdagangan yakni Perda No. 3 tahun
2003 tentang Retribusi Tera dan Tera Ulang bagi alat ukur, takar / timbang, dan
perlengkapannya (UTTP), Metrologi Legal, Perda No. 4 tahun 2003 tentang
Retribusi Jasa Pengujian dan Sertifikasi mutu barang serta dibidang pertanian ialah
Perda No. 5 tahun 2003 tentang Retribusi pemeriksaan Lapangan, pengujian dan
Sertifikasi Benih Tanaman pangan dan Hortikultura.
Dalam hubungan ini, Sebelumnya beberapa pemerintah Kabupaten / Kota telah
membuat Perda dalam rangka peningkatan sumber PAD yang objeknya terkait
dengan dunia usaha, investasi dan perdagangan yang menurut persepsi Daerah
pungutan itu merupakan kewenangan Kabupaten / Kota.
Menurut data dan informasi dari Departemen Keuangan ternyata Perda yang
diterbitkan pada tahun 2001, terdapat 40 (empat puluh) Perda Kabupaten / Kota
mengenai “Pajak” dan “Retribusi” Daerah Direkomendasi Menteri keuangan
kepada Menteri Dalam Negeri untuk “dibatalkan” dengan pertimbangan
bertentangan dengan kepentingan umum dan Peraturan yang lebih tinggi.
5) Pajak Daerah
Undang-Undang No. 34 tahun 2000 yang mengubah UU No. 18 tahun 1997
tentang pajak Daerah dan Retribusi daerah, ditetapkan jenis-jenis Pajak Propinsi
dan pajak Kabupaten / Kota.
Untuk Propinsi sudah ditetapkan secara Limitatif (berarti tidak dapat menetapkan
jenis Pajak lain), sedangkan Pajak Kabupaten / Kota masih dapat menetapkan
jenis Pajak Baru selain dari yang telah ditetapkan, sesuai dengan potensi dan
kriteria yaing sudah ditentukan.
Berdasarkan UU itu, kemudian diatur lanjut melalui PP No. 65 tahun 2001 tentang
Pajak Daerah, maka Pajak Propinsi bagi hasilnya kepada Kabupaten / Kota yang di
kelolakan dengan memperhatikan aspek potensi dan aspek pemerataan. Itu
berarti, tidak sepenuhnya hasil penerimaan Pajak Propinsi dapat dimanfaatkan
Propinsi dalam APBD-nya untuk membiayai penyelenggaraan Pemerintahan,
pelaksanaan Pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat.
Sedangkan disisi lain, Kabupaten / Kota , selain dapat memanfaatkan sepenuhnya
penerimaan yang dikelolanya, juga dapat pula rnemanfaatkan dana perolehan
penerimaan bagi hasil Pajak Propinsi dalam APBD Kabupaten / Kota itu.
6) Pungutan Restribusi Daerah
PP No. 36 tahun 2001 sebagai peraturan pelaksanaan UU No. 34 tahun 2000
mengatur pengelompokan jenis retribusi menurut golongan pemberian pelayanan
(seperti : jasa umum, jasa usaha dan perizinan tertentu), dimana Propinsi dan
Kabupaten / Kota dapat memungutnya sesuai potensi dan kewenangan Daerah
melalui Perda (Peraturan Daerah).
7) Khusus Mengenai pengembangan dan penggalian Objek Retribusi
Penjelasan PP No. 66 tahun 2000 pasal 6 disebut bahwa jenis Retribusi lainnya
antara lain penerimaan negara yang bukan pajak (PNBP). Ini tentunya menjadi
“dambaan”. Daerah yang mengharapkan adanya perhatian dan iktikad Pemerintah
(Pusat). Yakni Departemen plus Dirjen terkait agar benar-benar menyikapinya
secara arif bijaksana dalam hubungannya dengan amanat PP No. 25 tahun 2000.
Dihubungkan dengan ketentuan hukum mengenai penyerahan jenis-jenis kepada
daerah, perlu kepastian hukum (rechts zekerheid) sebagai pedoman bagi propinsi
maupun Kabupaten / Kota, supaya tidak terkesan adanya “tarik menarik” diantara
instansi-instansi itu, dan terlihatnya duplikasi mengenai “objek penerimaan
pungutan” yang sama, yang tentunya mernbingungkan para “subjek membayar
PNBP” itu sendiri.
8) Potensi perkebunan, perikanan dan sumber daya alam lainnya (pengalaman
Propinsi Sumatera Utara).
a. Perkebunan
Dalam kaitan pelaksanaan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan
keuangan pemerintah pusat dan daerah, pada pasal 6 ayat (5), ternyata potensi
perkebunan tidak termasuk alokasi sumber daya alam yang dapat dibagi hasilkan
kepada Daerah. Hal ini dapat dilihat dalam pasal tersebut yang menyatakan bahwa
bagian Daerah dari penerimaan sumber daya alam adalah bagian dari penerimaan
negara yang berasal dari pengelolaan sumber daya alam antara lain, dibidang
pertambangan umum, pertambangan minyak dan gas alam, kehutanan dan
perikanan. Hal ini tentunya merugikan propinsi Sumatera Utara: yang secara
spesifik alamnya sangat potensial diusahai oleh perusahaan perkebunan baik
BUMN (PTPN) maupun swasta nasional / asing, yang selama ini produksinya
merupakan salah satu komoditi ekspor andalan dari sektor non migas.
Dalam menyahuti ketetapan MPR RI No: IV/MPR/2000 pada bab III angka 4
mengenai rekomendasi kebijakan dalam penyelenggaraan otonomi Daerah antara
lain disebutkan :
“ Bagi daerah terbatas sumber daya alamnya, perimbangan keuangan
dilakukan dengan memperhatikan kemungkinan untuk mendapatkan bagian
dari keuntungan BUMN, yang ada didaerah bersangkutan dan bagian dari
pajak penghasilan perusahaan yang beroperasi ”.
Oleh karenanya melalui Surat Gubernur Sumatera Utara tertanggal 30 Mei
2002 No. 973/3321 yang ditujukan kepada Ibu Presiden RI (tembusan kepada
Ketua DPR RI dan Menteri / Dirjen terkait) telah dimohonkan kepada Pemerintah
Pusat dapat merealisasi secara konkrit dari rekomendasi TAP MPR RI tersebut
melalui penetapan kebijakan pengaturan pembagian alokasi kontribusi atas
keuntungan BUMN dan bagian dari PPH Badan / Perusahaan yang beroperasi
didaerah Propinsi Sumatera Utara.
b. Perikanan
Bagi Propinsi juga dirugikan dengan tidak turut memperoleh bagi hasil dari
penerimaan Sumber Daya Alam dari sektor perikanan, dimana berdasarkan
ketentuan UU No. 25 Tahun 1999 dan PP No. 104 Tentang Dana Perimbangan,
diatur alokasi imbangannya hanya untuk Pusat dan Kabupaten / Kota.
Dari gambaran dan ulasan tersebut diatas, pada hakekatnya keberadaan
UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 dilain pihak beberapa Daerah
akan mengalami peningkatan baik dalam pengelolaan sumber pendapatan dan
Sumber Daya Alam maupun penyelenggaraan kewenangan Otonominya. Namun
dipihak lain beberapa daerah merasa dirugikan. Hal yang paling dirasakan
disamping kurang harmonisnya koordinasi tugas-tugas Pemerintahan,
Pelaksanaan Pembangunan, dan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat juga
cenderung menurunnya kapasitas pembinaan Pemerintah Propinsi kepada
Kabupaten / Kota dan jalinan kebersamaan Kabupaten dengan Kabupaten dan
kabupaten dengan Kota yang berhampiran. Hal ini pada dasarnya disebabkaln
adanya persepsi beberapa Daerah yang terkesan “egoregional” yang semata-mata
terfokus begaimana untuk rneningkatkan sumber pendapatan Daerah sebesarbesarnya
untuk menjadi penopang sumber keuangan dalam APBD yang
bersangkutan, yang kadang kala terlihat mengabaikan kepentingan yang Iebih
hakiki seperti aspek regeling terhadap wawasan lingkungan (ekosistem).
Oleh karenanya sebagaimana dikatakan oleh Sdr. Abdul Kadir, dengan
melihat Potret Otonomi Daerah dari perspektif pengelolaan pendapatan Daerah
yaitu disatu sisi memberikan peluang kepada Daerah, dalam melaksanakan
eksistensi otonominya namun disisi lain apabila tidak disikapi secara positip, juga
akan dapat menimbulkan konflik antara Pemerintah Pusat dan Daerah terutama
dalam hal pemberian kewenangan yang terkesan masih belum sepenuh hati,
demikian pula kaitannya dengan pengelolaan sumber penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP) dan keberadaan BUMN yang beroperasi di Daerah.
Apapun yang terjadi dan persepsi dari berbagai ragam fenomena
pelaksanaan Otonomi Daerah tersebut, maka mau tidak mau atau suka tidak suka
hendaknya dapat disahuti dan disikapi oleh Pemerintah melalui evaluasi dari
berbagai aspek dan jika diperlukan melakukan revisi beberapa materi dari kedua
Undang-Undang tersebut. Namun harus tetap adanya pemahaman bersama
bahwa keberadaan UU No. 22 Tahun 1999 tetap dalam koridor melestarikan rasa
kebangsaan dengan tetap menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan hal ini diperlukan win-win solution untuk dapat dirasakan, dipahami dan
diterapkan setara konkrit oleh segenap jajaran Pemerintah dari tingkat Pusat,
Propinsi dan Kabupaten / Kota bersama Stakeholder dengan menyahuti aspirasi
yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Sekian dan Terima Kasih.
Kuta, Bali Juli 2003


Hukum Haid dan Nifas

⊆ 20.49 by makalah hukum | .

Haidh adalah darah yang dikenal para wanita. Tidak ada batasan tentang waktu maksimal dan minimanya dalam syari'at. Itu semua berpulang pada kebiasaan masing-masing.

Sedangkan nifas adalah darah yang keluar karena melahirkan. Batasan maksimal adalah empat puluh hari. Dari Ummu Salamah radhiallahu’anha ia berkata:

"Dulu para wanita yang nifas pada masa Rasulullah shollallahu’alaihiwassallam menahan diri selama empat puluh hari.”[1]

Jika ia melihat dirinya telah suci (dengan terhentinya darah-pent) sebelum empat puluh hari, maka dia harus mandi dan saat itu ia telah suci. Namun, jika darahnya terus mengalir setelah empat puluh hari, maka dia harus mandi pada hari keempat puluh dan ia suci ketika itu.

Hal-Hal yang Dilarang bagi Wanita yang sedang Haidh dan Nifas

Wanita yang sedang haidh dan nifas dilarang melakukan hal yang dilarang bagi orang yang berhadats. Selain itu juga dilarang:

[1] Shalat

[2] Puasa

Dia harus mengqadha'nya jika telah selesai. Dari Mu'adzah, dia berkata, "Aku bertanya kepada 'Aisyah, 'Kenapa para wanita yang haidh (diwajibkan) mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat?' Dia berkata, 'Ketika kami haid dalam masa Rasulullah shollallahu’alaihi wassallam, kami disuruh mengqadha puasa dan tidak disuruh mengqadha shalat."[2]

[3] Bersetubuh pada kemaluan

Berdasarkan firman Allah Ta'ala:

"Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, 'Haidh itu adalah suatu kotoran. ' Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat danmenyukai orang-orang yang menyucikan diri. "(QS. AI-Baqarah: 222).

Dan sabda Nabi shollallahu’alaihi wassallam:

"Berbuatlah sesuka hatirnu, kecuali bersetubuh”.[3]

[4] Thawafdi Ka'bah

[5] Mernegang Mushaf al Qur-an (Majmu' Fataawa Syaikh Abdul Aziz bin Baz VV452-453)

6. Berdiarn diri di Masjid (lihat Majmu' Fataawa Syaikh al Utsaimin XV 309-319)

7. Thalaq

Hukum Suami yang Menyetubuhi Isterinya yang sedang Haidh

Imam an-Nawawi rohimahullah berkata dalam kitab Syarh Muslim (III/204), "Jika seorang muslirn meyakini halalnya menyetubuhi wanita haidh pada kemaluannya, maka dia telah kafir dan murtad. Namun seseorang melakukannya tanpa meyakini kehalalannya, maka jika dia melakukannya karena lupa atau tidak tahu adanya darah haidh. Atau dia tidak tahu keharamannya atau dia dipaksa, maka dia tidak berdosa dan tidak pula wajib membayar kaffarat. Jika dia sengaja menyetubuhinya dan mengetahui adanya darah haidh serta haramnya perbuatan ini tanpa ada paksaan, maka dia telah melakukan dosa besar. Asy-Syafi'i menetapkannya sebagai dosa besar dan wajib baginya untuk bertaubat. Tentang wajibnya kaffarat, terdapat dua pendapat."

Saya katakan, "Pendapat yang rajih adalah wajib membayar kaffarat."

Berdasarkan hadits Ibnu 'Abbas radhiallahu’anhu, dari Nabi shollallahu’alaihi wassalam tentang seseorang yang menyetubuhi isterinya yang sedang haidh. Beliau bersabda:

"Dia wajib bersedekah sebanyak satu dinar atau setengah dinar."[4]

Diperbolehkannya mernilih dalam hadits tersebut kembali pada pembedaan antara permulaan keluamya darah dan akhimya.

Berdasarkan riwayat dari Ibnu 'Abbas radhiallahu’anhu secara mauquf: "Jika dia melakukannya pada permulaan keluamya darah, maka dia harus bersedekah dengan satu dinar. Dan jika pada akhir keluarnya, maka setengah dinar”.[5]

Istihadhah

Yaitu, darah yang keluar pada selain waktu haidh dan nifas, atau yang bersambung dengan keduanya (tetapi bukan terrnasuk keduanya-Ed,).

Jika darah tersebut keluar selain waktu haidh dan nifas, maka perkaranya jelas. Namun jika bersambung dengan haidh dan nifas, rnaka ketentuannya sebagai berikut:

Jika seorang wanita memiliki kebiasaan, maka apa yang melebihi kebiasaannya adalah darah istihadhah. Berdasarkan sabda Nabi shollallahu’alaihi wassalam pada Ummu Habibah:

"Berdiamlah selama waktu haidh yang biasa engkau jalani, kemudian mandi dan shalatlah."[6]

Jika dia bisa membedakan kedua darah tersebut, maka darah haidh adalah yang berwarna hitam sebagaimana dikenal. Sedangkan yang selain itu adalah istihadhah. Berdasarkan sabda Nabi shollallahu’alaihi wassalam pada Fathimah binti Abi Hubaisy:

"Jika memang itu darah haidh, maka ia berwarna hitam sebagaimana dikenal. Maka tinggalkanlah shalat. Jika tidak seperti itu, maka berwudhulah. Karena ia adalah penyakit."[7]

Jika ada seorang wanita yang baru baligh lalu mengalami istihadhah sedangkan dia tidak bisa membedakan, maka dikembalikan pada kebiasaan para wanita pada umumnya. Berdasarkan sabda Nabi shollallahu’alaihi wassalam pada Hamnah binti Jahsy:

"Ini adalah salah satu dorongan syaitan. Maka jalanilah haidhmu selama enam atau tujuh hari menurut ilmu Allah kemudian mandilah. Hingga jika kamu menganggap dirimu telah suci dan bersih, maka shalatlah selama dua puluh empat malam atau dua puluh tiga hari. Dan berpuasalah, karena itu sudah mencukupimu. Lakukanlah seperti itu setiap bulan. Sebagaimana para wanita menjalani haidh dan suci berdasarkan waktu haid dan suci mereka.”[8]

Hukum Wanita Istihadhah

Tidak diharamkan bagi wanita yang istihadhah hal-hal yang diharamkan pada wanita haidh. Hanya saja, dia wajib wudhu setiap akan shalat. Berdasarkan sabda Nabi shollallahu’alaihi wassalam kepada Fathimah binti Abi Hubaisy:

"Kemudian berwudhulah pada setiap akan shalat." [9]

Disunnahkan baginya untuk mandi setiap akan shalat sebagaimana disebutkan dalam pembahasan mandi-mandi yang disunnahkan.



[1] Hasan Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 530)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma'buud) (1/501 no. 307), Sunan at-Tirmidzi (1/92 no.39), clan Sunan Ibni Mqjah (1/213 no. 648).

[2] Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (1/265 no. 335)], ini aclalah lafazh clarinya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baan) (1/421 no. 321), Sunan at-Tirmidzi (1/87 no. 130), Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma'buud) (1/444 no. 259), clan Sunan Ibni Majah (1/207 no. 631).

[3] Shahih: [Shahiih Sunan Ibnu Majah (no. 527)], Shahiih Muslim (I/246 no. 302), Sunan Abi Dawud ('Aul1ul Ma'buud) (I/439 no. 255), Sunan at-Tirmidzi (IV /282 no. 4060), Sunan Ibnu Majah (I/211 no. 644), dan Sunan an-Nasa-i (I/152).

[4] Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 523)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma'buud) (I/445 no. 261), Sunan an-Nasa-i (I/153), Sunan Ibnu Majah (I/210 no. 640).

[5] Shahih Mauquuf: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 238)], Sunan Abi Dawud ('Aul1ul Ma'buud) (I/249 no. 262).

[6] Shahili: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 202)] dan Shahiih Muslim (1/264 no. 334 (65)).

[7] Shahih: [Irwaa'ul Ghaliil (no. 204)], Sunan an-Nasa-i (1/185), dan SunanAbi Dawud ('Aunul Ma'buud) (1/470 no. 283).

[8] Hasan: [Irwaa'ul Ghaliil (no. 205)], Sunan Abi Dawud ('Aunu! Ma'buud) (1/ 475 no. 284), Sunan at-Tirmidzi (1/83 no. 128), dan Sunan Ibni Majah (1/205/ no. 627), secara makna yang sama.

[9] Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 507)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma'buud) (1/490 no. 195), dan Sunan Ibni Majah (1/204 no. 624).


HUKUM DAN DIMENSI SPIRITUAL

⊆ 20.48 by makalah hukum | .

HUKUM DAN DIMENSI SPIRITUAL

(Perspektif Positivis, Pospositivis dan Spiritualisme)

Oleh : Absori[1]

Abstrak

Tulisan ini akan mencoba menggambarkan hukum dan spiritualisme. Kajian hukum di sini dimaksudkan untuk menggambarkan hukum atau ilmu hukum melalui pendekatan perspektif historis, yakni pada era positivisme yang melahirkan hukum modern pada masyarakat liberal. Pada saat semacam itu nilai-nilai spiritual yang meliputi: etika moral dan agama tidak mendapat tempat sehingga hukum modern mengalami krisis spiritual. Dalam perkembangannya kemudian muncul gerakan pemikiran kritis yang post pisitivis yang berupaya untuk melepaskan diri dan menggugat pemikiran positivis. Pemikiran semacam itu berangkat pada pemahaman hukum yang tidak hanya bersifat formal, yang mementingkan peraturan, prosedur dan logik, tetapi lebih menekankan pada perkembangan mutahir ilmu pengetahuan (the pronter changing of science), yang memahami ilmu sebagai satu kesatuan (the unity of knowledge) yang tidak lepas dari fakta emfirik dan realitas alam dan perilaku sosial yang berkaitan dengan nilai-nilia yang menyertaainya, seperti etik, moralitas dan nilai-nilai spiritual.

Kata kunci: ilmu hukum, positivis, pospositivis, spititualisme

A. Pendahuluan

Garis depan ilmu senantiasa berubah (the changing of science). Ilmu berusaha mencari dan mengungkap kebenaran, tetapi pada waktu yang sama menyadaari keterbatasannya. Ilmu tidak dapat berpretensi (telah) menemukan kebenaran absolut. Ilmu sennatiasa merupakan proses pencarian terhadap kebenaaran. Berangkat dari uraian di atas, maka tidaklah mengherankan bahwa garis depan ilmu selalu berubah-ubah dan bergeser[2]. Kebenaran Kebernaran ilmiah tidaklah bersifat mutlak (absolut), berubah-ubah dan tidak abadi. Ia bersifat nisbi, sementara dan kira-kira[3]. Namun kebanyakan ilmuwan mengakui adanya kebenaran mutlak yang merupakan otoritas dari Al-khaliq. Kebenaran mutlak merupakan kebenaran tunggal yang sering disebut sebagai kebenaran hakiki yang substanstif dan esensial, yang tampil dalam bentuk keteraturan alam semesta.

Kebenaran hasil olah pikir manusia bersifat relatif, namun dimungkinkan manusia dapat mejangkau lebih luas lagi samudra kebenaran yang dibentangkan melalui kekuasaan Allah baik yang tersurat dalam Al-kitab dan ciptaan-Nya yang tergelar di alam semesta maupun yang melalui kreasi potensi manusia, berupa akal, budi dan indera. Dimungkinkan manusia akan mampu meraih kebenaran yang lebih tinggi dalam wujud kebenaran transendental yang vertikal.

Menurut Liek Wilardjo teori itu, dan dengan sendirinya juga konsep yang terkandung di dalamnya, akan diterima sebagai secara ilmiah benar dan baik dalam pengertian bahwa ia bermanfaat dalam menyingkapkan beberapa butiran-butiran kebenaran yang tersembunyi dalam perbendaharaan alam, walaupun hanya berarti penegasan-penegasan yang dapat diuji secara emfiris pada umumnya[4].

Dalam bahasa Thomas Khun, ilmu dari waktu ke waktu mengalami revolusi dimulai dengan perubahan dalam paradigma yang digunakan. Salah satu peristiwa besar dalam dunia ilmu pengetahuan adalah berakhirnya era Newton melalui suatu revolusi dan untuk waktu yang lama diterima sebagai keunggulan ilmu pengetahuaan yang mampu mengakhiri keterbatasannya untuk menjelaskan dan mempetakan alam. Sejak fisika dan paradigma Newton yang baru itu, maka seluruh alam dianggap telah dapat dilihat dalam suatu susunan yang tertib. Tetapi era Newton bukan akhir segalanya, alam masih menyimpan kompleksitas yang tidak dapat dijelaskan atau dijangkau oleh teori Newton[5].

Kini garis depan ilmu telah berubah. Era Newton diganti teori Relativitas Einstein yang lebih mampu mengamati fenomena alam yang kompleks. Menurut Phillip Clayton[6] era sains telah berubah, yakni telah menerima keterbatasan-keterbatasan dalam prediksi (mekanika kuantum), aksiomatisasi, determinisme, atomisme maupun pemahaman berdasar hukum atas perilaku manusia. Teori Emergensi kini menyarankan bahwa alam terbuka ke atas. Hakikat kesadaran manusia terbuka ke atas yang menerima getaran-getaran keabadian transendental, memberi model yang sangat kuat bagi integrasi antara jiwa dan roh. Sebuah gambaran yang persis sama dengan apa yang diajarkan oleh agama, baik Yahudi, Kristen maupun Islam.

Di sini tampak menunjukan bahwa ilmu pada hakikatnya satu (the unity of Knowledge) yang dikonsepkan dalam istiah “Consilience”. Pergantian paradigma dalam ilmu fisika daari mekanik ke teori kuantum yang lebih komplek, memberi pelajaran sangat berharga kepada studi hukum atau ilmu hukum. Memahami hukum tidak cukup hanya menggunakan pendekatan positivis-analitis, dilihat secara linier dan mekanik. dengan perlengkapan peraturan dan logika, kebenaran tentang kompleksitas hukum tidak dapat muncul. Hukum telah direduksi menjadi institusi normative yang sangat sederhana. Kebenaaran anthropologi, sosiologi, ekonomi, psikologis, managerial dan lain-lain tidak (boleh) ditampilkan. Batas antara oder dan disorde dilihat seara hitam putih[7].

Dalam kesimpulan tulisannya Philip Calyton mengatakan bahwa kini kita mulai melihat suatu renaisans, kebangkitan kembali metafisika (transendental), dari repleksi sistematik mengenai hakikat dan kreativitas Tuhan. Positivis boleh saja mengumamkan bahwa metefisika (transcendental) sudah mati, akan tetapi, rasanya kini justru positivisme logislah yang duluan mati. Sangat menarik perhatian bahwa era pemikir teisme dari Muslim, Yahudi dan Kristen kini kembali terlibat dlam eksplorasi yang sangat luas terhadap gagasan “hipotesis Tuhan”[8].

Tulisan ini akan mencoba menggambarkan hukum dan spiritualisme. Kajian hukum di sini dimaksudkan untuk menggambarkan hukum atau ilmu hukum melalui pendekatan perspektif historis, yakni pada era positivisme yang melahirkan hukum modern pada masyarakat liberal. Pada saat semacam itu nilai-nilai spiritual yang meliputi: etika moral dan agama tidak mendapat tempat sehingga hukum modern mengalami krisis spiritual. Dalam perkembangannya kemudian muncul gerakan pemikiran kritis yang post pisitivis yang berupaya untuk melepaskan diri dan menggugat pemikiran positivis. Pemikiran semacam itu berangkat pada pemahaman hukum yang tidak hanya bersifat formal, yang mementingkan peraturan, prosedur dan logik, tetapi lebih menekankan pada perkembangan mutahir ilmu pengetahuan (the pronter changing of science), yang memahami ilmu sebagai satu kesatuan (the unity of knowledge) yang tidak lepas dari fakta emfirik dan realitas alam dan perilaku sosial yang berkaitan dengan nilai-nilia yang menyertaainya, seperti etik, moralitas dan nilai-nilai spiritual.

B. Positivis dan Perkembangannya

Sebelum membicarakan berbagai perkembangan yang berkaitan dengan paradigma positivis, maka perlu dikemukakan terlebih dulu beberapa hal yang berkaitan dengan hukum alam (nature) yang keberadaannya dianggap amat penting sebagai pijakan dalam pengembangan filsafat positivis.

Hukum alam sesungguhnya merupakan suatu konsep yang mencakup banyak teori. Berbagai anggapan dan pendapat yang dikelompokkan dalam hukum alam ini bermunculan. Istilah hukum alam dituangkan dalam berbagai arti oleh berbagai kalangan pada masa yang berbeda. macam-macam anggapan tersebut di antaranya, pertama merupakan ideal yang menuntun perkembangan hukum dan pelaksanaannya; kedua suatu dasar dalam hukum yang bersifat moral yang menjaga jangan sampai terjadi suatu pemisahan secara total antara yang ada sekarang dan yang seharusnya; ketiga suatu metode untuk menuntun hukum yang sempurna; keempat isi dari hukum yang sempurna yang dapat didiskusikan secara akal, dan kelima suatu kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum.[9]

Dalam perkembangannya, bidang hukum menunjukkan perubahan yang paradigmatic. Hukum tidak lagi dibangun, dan dijabarkan sesuai dengan tatanan nilai yang bersifat transendental atau berasal dari hukum alam, tetapi telah bergeser pada pandangan yang melihat peran manusia begitu dominan dalam merumuskan ketentuan aturan hukum. Tokoh pendekatan ini di antaranya Hugo de Graat atau Grotius yang memunculkan pemahaman hukum alam bersifat sekuler. Menurut paham ini, hukum berasal dari alam dan keberadaannya tidak bergantung dari Tuhan. Adanya hukum alam tidak bergantung pada eksistensi Tuhan. Hukum alam akan tetap ada terlepas ada tidaknya Tuhan. Hukum yang berlaku di suatu masyarakat merupakan bagian dari hukum alam. Karena itu, hukum alam oleh para pendukungnya dianggap berjasa dalam meletakkan landasan ideal nilai-nilai atau norma universal, seperti hak asasi manusia (HAM), persamaan derajat manusia, perlakuan yang sama dihadapkan hukum, dan lain-lain.

Kelemahan hukum alam adalah karena ide atau konsep tentang apa yang disebut hukum bersifat abstrak. Hal ini akan menimbulkan perubahan orientasi berpikir dengan tidak lagi menekankan pada nilai-nilai yang ideal dan abstrak, melainkan lebih mempertimbangkan persoalan yang nyata dalam pergaulan masyarakat. Latar belakang ini yang pada akhirnya melahirkan aliran hukum positif.[10]

Aliran hukum positif berangkat dari pandangan bahwa hukum tidak berasal dari Tuhan atau alam, melainkan dari manusia sendiri berdasarkan kemampuannya untuk merumuskan ketentuan hukum yang sumbernya dapat saja digali dari nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Hukum lahir untuk mengikat masyarakat karena adanya perjanjian sosial (social contract), manusia sendirilah yang memang menghendaki. Aliran hukum positif memandang perlu untuk memisahkan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam kacamata positivis, tiada hukum kecuali perintah penguasa, bahkan aliran positivitas legalisme menganggap bahwa hukum identik dengan undang-undang.

Pengaruh positivis modern telah memasuki segala sektor keilmuan. Ditandai dengan kebangkitan semangat Eropa, melalui Renaisance, sebagai abad pencerahan yang diyakini akan mampu membawa harapan melalui ilmu pengetahuan pada orde peradaban yang dapat memecahkan segala persoalan hidup manusia. Besamaan dengan ini itu teknologi (spiritualisme) menjadi semakin memudar karena keberadaannya dianggap sudah tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan hidup yang nyata. Implikasi semangat positivis telah membawa pembaharuan di berbagai bidang ilmu pengetahuan sosial, politik, ekonomi, hukum dan bidang-bidang lain.

Di bidang hukum sejak lebih kurang 200 tahun, negara-negara di dunia menggunakan konsep hukum modern. Praktis, hukum menghadapi pertanyaan yang spesialistik, teknologis, bukan pertanyaan moral. Keadaan yang demikian itu sangat kuat nampak pada hukum sebagai profesi. Kaum professional adalah orang-orang yang ahli dalam perkara perundang-undangan, tetapi jangan ditanyakan kepada mereka tentang urusan moral atau moralitas. Ekses hukum di Amerika yang sudah menjadi bisnis mengundang orang untuk berkomentar bahwa sifat kesatrian, professional oblesse, menolong orang yang susah sudah semakin luntur. Tipe bantuan hukum yang demikian itu disebut sebagai penembak bayaran.[11]

Hukum positif muncul bersamaan dengan berkembangnya tradisi keilmuan yang mampu membuka cakrawala baru dalam sejarah umat manusia yang semula terselubung cara-cara pemahaman tradisional. Hukum positif mengajarkan bahwa hukum positiflah yang mengatur dan berlaku dibangun di atas norma yuridis yang telah ditetapkan oleh otoritas negara yang didalamnya terdapat kecenderungan untuk memisahkan antara kebijaksanaan dengan etika dan mengindentikkan antara keadilan dengan legalitas yang didasarkan norma yuridis yang telah ditetapkan oleh otoritas negara yang didalam terdapat kecenderungan untuk memisahkan antara kebijaksanaan dengan etika dan mengindentikkan antara keadilan dengan legalitas yang didasarkan atas aturan-aturan yang ditetapkan oleh penguasa negara. John Austin menggambarkan hukum sebagai suatu aturan yang ditentukan untuk membimbing makhluk berakal oleh makhluk berakal yang telah memiliki kekuatan untuk mengalahkannya. Oleh karena itu, hukum harus dipisahkan dari keadilan dan sebagai gantinya kebenaran hukum harus disandarkan pada ide-ide baik dan buruk yang didasarkan pada ketetapan kekuasan yang tertinggi.[12]

Positivisme adalah aliran yang mulai menemui bentuknya dengan jelas melalui karya Agust Comte (1798-1857) dengan judul Course de Philoshopie Positive. Positivisme hanya mengikui fakta-fakta positif dan fenomena-fenomena yang bisa diobservasi dengan hubungan obyektif fakta-fakta ini dan hukum-hukum yang menentukannya, meninggalkan semua penyelidika menjadi sebab-sebab atau asal-usul tertinggi. Agus Comte membagi evolusi menjadi tiga tahap, pertama, tahap teologis dimana semua fenomena dijelaskan dengan menunjukkan kepada sebab-sebab supernatural dan intervensi yang bersifat ilahi; kedua tahap metafisika. Pada tahap ini, pemikiran diarahkan menuju prinsi-prinsip dan ide-ide tertinggi yang dipahami sebagai ada di bawah permukaan sesuati, dan ketiga, tahap positif yang menolak semua konstruksi hipotesis dalam filsafat dan membatasi diri pada observasi empirik dan hubungan fakta-fakta di bawah bimbingan metode-metode yang dipergunakan dalam ilmu-ilmu alam.[13]

Garis besar ajaran positivisme berisi sebagai berikut: pertama, hanya ilmu yang bebas nilai yang dapat memberikan pengetahuan yang sah; kedua, hanya fakta (ikhwal/peristiwa empiris) yang dapat menjadi obyek ilmu; ketiga, metode filsafat tidak berbeda dengan metode filsafat tidak berbeda dengan metode ilmu; keempat, tugas filsafat adalah menemukan asas-asas umum yang berlaku bagi semua ilmu dan menggunakan asas-asas tersebut sebagai pedoman bagi perilaku manusia dan menjadikan landasan bagi semua organisasi sosial; kelima, semua interpretasi tentang dunia harus didasarkan hanya pada pengalaman (empiris verifikatif), keenam, mengacu pada ilmu-ilmu alam, dan ketujuh berupaya memperoleh suatu pandangan tunggal tentang dunia fenomena, baik dunia fisik maupun dunia manusia melalui aplikasi metode-metode dan perluasan jangkauan hasil-hasil ilmu alam.[14]

Positivisme oleh Hart diartikan sebagai berikut: pertama, hukum adalah perintah, kedua, analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah suatu yang berharga untuk dilakukan; ketiga, keputusan-keputusan dapat didedukasikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada terlebih dahulu tanpa menunjukkan kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas; keempat, penghukuman secar moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian, dan kelima, hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakanyang diinginkan. Inilah yang sekarang sering diterima sebagai pemberian arti terhadap positivisme.[15]

Positivisme merupakan suatu paham yang menuntut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis dan objektif yang harus dilepaskan dari sembarang macam prokonsepsi metafisis yang subjektif sifatnya. Pada saat diaplikasikan ke dalam pemikiran hukum, positivisme menghendaki dilepaskannya pemikiran yuridis mengenai hukum sebagaimana dianut olehpara eksponen aliran hukum kodrat. Oleh sebab itu, setiap norma hukum haruslah eksis dalam alamnya yang objektif sebagai norma-norma yang positif ditegaskan sebagi wujud kesepakatan kontraktual yang kongkrit antara warga masyarakat. Hukum bukan lagi mesti dikonsepkan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan sesuatu yang telah menjalani positivisasi sebagai legee atau lex guna menjamin kepastian mengenai apa pula yang sekalipun normatif harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum.[16]

Dalam negara modern, hukum positif dibuat oleh penguasa yang berdaulat. Penguasa digambarkan sebagai manusia superior yang bersifat menentukan. Penguasa ini mungkin seorang individu, sebuah lembaga, atau sekelompok individu. Menurut John Austin, karakteristik hukum positif terletak pada karakteristik imperatifnya. Artinya, hukum dipahami sebagai suatu perintah dari penguasa. Pemikiran semacam itu kemudian dikembangkan Rudolf van Hearinga dan George Jellinek yang menekankan pandangan pada orientasi untuk mengubah teori-teori negara berdaulat sebagai gudang dan sumber kekuasaan hukum.[17]

Paham positivisme mempengaruhi kehidupan bernegara untuk mengupapayakan positivisasi norma-norma keadilan agar segera menjadi norma perundang-undangan untuk mempercepat terwujudnya negara bangsa yang diidealkan. Paham ini mempunyai struktur yang terintegrasi kukuh secara sentral dan berotoritas sentral yang tidak bisa dijabarkan, positivisasi hukum selalu memperoleh prioritas utama dalam setiap upaya pembangunan hukum di negara-negara yang tumbuh modern dan menghendaki kesatuan dan atau menyatukan. Tidak Cuma yang menuju ke nation state, melainkan juga yang dulu menuju ke colonial state. Tak ayal pula, positivisasi hukum selalu berhakikat sebagai proses nasionalisasi dan etaisasi hukum menuju kemampuan negara dan pemerintah untuk monopoli kontrol sosial yang formal lewat pendayagunaan hukum positif.[18]

Hukum adalah perintah penguasaan negara. Hakikat hukum menurut John Austin terletak pada unsur perintah. Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis, dan tertutup. Karena itu, pihak penguasalah yang menentukan apa yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Kekuasaan dari penguasa dapat memberlakukan hukum dengan cara menakuti dn mengarahkan tingkah laku orang lain ke arah yang diinginkan.

John Austin, pada mulanya, membedakan hukum dalam dua jenis, yaitu hukum dari Tuhan untuk manusia dan hukum yang dibuat oleh manusia dapat dibedakan dengan hukum yang sebenarnya dan hukum yang tidak sebenarnya. Hukum yang sebenarnya inilah yang disebut sebagai hukum positif yang meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang disusun oleh manusia secara individual untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur yaitu perintah (Command), sangsi (sanction), kewajiban (duty), dan kedaulatan (soveignty).[19]

Sementara menurut Hans Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir non yuridis seperti unsur sosiologis, politis, historis, bahkan nilai-nilai etis. Pemikiran inilah yang dikenal dengan teori hukum murni (reine rechlehre). Jadi hukum adalah suatu kategori keharusan (sollens kategorie) bukan kategori factual (sains kategorie). Hukum baginya merupakan suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional.

Teori hukum murni boleh dilihat bagai suatu pembangunan yang amat seksama dari aliran positivisme. Ia menolak ajaran yang bersifat ideologis dan hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturan-peraturan yang ada. Teori hukum ini adalah teori tentang hukum positif. Ia berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan apakah hukumnya dan bukan bagaimana hukum yang seharusnya. Karena itu, menurut Hans Kelson keadilan sebagaimana lazimnya dipertanyakan hendaknya dikeluarkan dari ilmu hukum. Ia adalah suatu konsep. Ideologis, suatu ideal yang irasional. Pendapat yang mengemukakan bahwa keadilan itu ada, ternyata tidak dapat memberikan batasan yang jelas sehingga menimbulkan keadaan yang kontradiktif. Bagaimanapun keadilan itu tidak dapat dilepaskan dari kehendak dan tindakan manusia. Ia tidak bisa menjadi subjek ilmu pengetahuan. Apabila dipandang dari sudut pengetahuan rasional, yang ada hanya kepentingan-kepentingan. Oleh karena itu, hanya ada konflik kepentingan-kepentingan.[20]

Dasar-dasar pokok pikiran teori Hans Kelsen adalah sebagai berikut: pertama, tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity); kedua, teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada bukan tentang hukum yang seharusnya ada; ketiga, ilmu hukum adalah normatif bukan ilmu alam, keempat, sebagai suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari sisi yang berubah-ubah menurut jalan atau cara yang spesifik, dan keenam, hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.[21]

Hans Kelsen juga dikenal sebagai pencetus teori berjenjang, (stuffen theory) teori ini melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatan dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma akan semakin abstrak sifatnya dan sebaliknya semakin rendah kedudukannya akan semakin kongkrit. Norma yang paling tinggi menduduki puncak piramida yang disebut norma dasar (grund norm). teori berjenjang ini kemudian dikembangkan oleh Hans Nawasky. Namun, lebih mengkhususkan pada pembahasan norma hukum saja. Sebagai penganut dari aliran positif, hukum dipahami identik dengan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh penguasa.[22]

C. Pospositivis dan Dekonstruksi

Dalam perkembangannya, muncul aliran yang merupakan reaksi dari dominasi pemikiran rasionalisme yang dianggap mempunyai banyak kelemahan yang didasarkan pada pemikiran yang hanya terpaku pada nilai-nilai atau asumsi-asumsi yang bersifat khayal. Karena itu, akhirnya melahirkan aliran sejarah (historis) yang menginginkan suatu teori harus didasarkan pada kenyataan-kenyataan atau fakta. Tokoh dari aliran sejarah ini diantaranya adalah Von Savigny yang menolak untuk mengagung-agungkan akal seseorang. Hukum, baginya tidak dibuat tapi tumbuh dan ditemukan dalam masyarakat.

Menurut Von Savigny, hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau kebinasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa itulah yang menjadi sumber hukum. Karena itu, Savigny mengeluarkan pendapatnya yang amat terkenal bahwa hukum itu tidak dibuat tetapi tumbuh bersama masyarakat. Pendapat Savigny amat bertolak belakang dengan pandangan positivisme, sebab mereka berpendapat bahwa dalam membangun hukum maka studi terhadap sejarah atau bangsa mutlak diperlukan. Pendapat tersebut oleh Puchta dibenarkan dan dikembangkan dengan mengajarkan bahwa hukum suatu bangsa serikat pada jiwa bangsa yang bersangkutan.

Teori hukum lain yang lahir dari proses dialetika antara tesis positivisme hukum dan antitesis aliran sejarah, yaitu sociological juris-prudence yang berpendapat bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Teori ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang hidup. Tokoh aliran ini terkenal di antaranya adalah Eugen Ehrlich yang berpendapat bahaw hukum positif baru akan berlaku secara efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (Lili Rasyidi, 1988: 55). Tokoh lain yaitu Roscoe Pound yang mengeluarkan teori hukum adalah alat untuk merekayasa sisial (law as a tool of social engineering). Roscoe Pound juga mengajurkan supaya ilmu sosial didayagunakan untuk kemajuan dan pengembangan ilmu huikum[23].

Penggunaan paradigma rekayasa sosial menekankan pada efektivitas hukum, yang umumnya diabaikan pada studi hukum tradisional yang lebih menekankan pada struktur dan konsistensi rasional dari sistem hukum. Dengan memperhatian perihal efektivitas hukum, maka perhatian studi hukum menjadi melebar dan melampaui kajian tradisional yang hanya menekankan pada masalah legalitas dan legitimasi saja. Memebicarakan efektivitas hukum hanya dapat dilakukan dengan pendekataan sosiologis, yaitu mengamati interaksi antara hukum dengan lingkungan sosialnya. Hukum tidak dilihaat sebgaai institusi yang stiril, melainkan senantiasa diuji kehadirannya dan karya-karyanya dari hasil dan akibat yang ditimbulkannya dalam kehidupan masyarakat luas[24].

Bersamaan dengan itu, berkembang juga aliran realisme hukum. Menurut aliran ini, hukum itu adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Ciri-ciri ajaran realisme sebagaimana dikemukakan oleh Karl. N. Liewellyn adalah sebagai berikut: pertama, tidak ada mahzab realis. Realisme adalah gerakan dari pemikiran dan kerja tentang hukum, kedua, realisme adalah konsep hukum yang harus diuji tujuan dan akibat-akibatnya. Realisme mengandung konsepsi tentang masyarakat yang berubah lebih cepat dari pada hukum; ketiga, realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan hukum yang seharusnya untuk tujuan-tujuan studi: keempat, realisme tidak percaya pada ketentuan dan konsepsi hukum sepanjang menggambarkan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pengadilan dan orang, dan kelima realisme menekankan evolusi tiap bagian dari hukum dengan mengingatkan akibatnya.[25]

Pospositivis dapat dipahami sebagai mode pemikiran atau dapat juga merupakan tahapan dalam lintasan sejarah. pospositivis secara umum dapat dikatakan sebagai gugatan terhadap positivis yang bercirikan rasionalistik, teknosentrik, dan universal yang telah mencapai status hegemonis di dunia. Kalau positivis melahirkan modernisme, maka post positivisme akan melahirkan pikiran post modernisme.

Era pospositivisme sering dipahami sebagai gejala berkembangnya pemikiran yang memberontak pada tatanan positivisme dengan indikasi bersifat anti rasionalisme. Dengan demikian, berarti telah peluang dan tempat berkembangnya pemikiran non rasional. Inilah yang oleh Jacques Derrida disebut sebagai dekontruksi, yakni pembongkaran cara berpikir yang logis dan rasional. Dekonstruksi membongkar unsur-unsur kekuasaan yang muncul dalam kesadaran. Dekontruksi dilakukan terhadap pemikiran-pemikiran yang dianggap dominan dan benar, karena yang dianggap benar selama ini, ternyata tidak membahagiakan manusia.

Dekontruksi telah membongkar positivisme yang selama ini dalam bidang hukum dianggap sebagai kebenaran oleh masyarakat modern. konsepsi kebenaran hukum merupakan nilai yang teramat penting menunjukkan kencenderungan yang relatif dan kabur. Nilai kebenaran dipahami dengan menggunakan pandangan yang berbeda dan mengarah pada suatu pemahaman bahaw kebenaran itu ukurannya menurut persepsi pembuat hukum. Pembuat hukum didasarkan atas kemauan pihak penguasa yang ditopang kelompok politik mayoritas dengan dituangkan dalam bentuk undang-undang. Padahal, kehendak dan pandangan politik kelompok mayoritas belum tentu mencerminkan kebenaran.

Dalam bidang hukum publik, khususnya hukum ketatanegaraan, demokrasi dengan sistem perwakilan dianggap sebagai sistem yang terbaik dalam negara modern. namun dalam perkembangannya sudah mulai dipertanyakan. Mereka menganggap bahwa representasi amat penting bagi modernisasi, organisasi, struktur politik dan filsafat yang mendasarinya. Akan tetapi, representasi adalah asing dan berlawanan dengan apa yang dipandang bernilai menurut pola post modernisme.

Dalam alam positivisme, perspektif spiritual dengan segala aspeknya seperti keagamaan, etika, dan moral diletakkan sebagai bagian yang terpisah dari satu kesatuan pembangunan peradaban modern. Karena itu, hukum modern dalam perkembangannya telah hilang unsur yang esensial yang berupa nilai transedental. Hal ini terjadi sebagai akibat cara berpikir yang didasari dari pandangan keduniaan yang diurus oleh kaisar dan keagamaan yang diserahkan pada tokoh agama (pendeta, rahib dan ulama). Cara berpikir seperti itu muncul bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Romawi dan berdirinya negara-negara bangsa di Eropa melalui perjanjian West Phalia tahun 1648 M yang dianggap sebagai awal kebangkitan Eropa, yang memunculkan etika protestan sebagai kekuatan yang mempengaruhi kapitalis Barat.

D. Spiritualisme dan Dialog Nilai

Corak spiritual dalam alam pospositivisme dapat dilihat pada jangkauan yang lebih luas yang berupa agama, etika, dan moralitas. Agama, etika dan moralitas tidak lagi dipahami dalam satu aspek saja, yaitu aspek yang terkait dengan persoalan teologi dan keinginan semata yang dapat dilihat melalui doktrin-doktrin dan peribadatan, tapi lebih dari itu persoalan nilai-nilai tersebut dapat didialogkan dengan persoalan pengembangan keilmuan, sosial, budaya, ekonomi, dan hukum. Sebab krisis masyarakat barat yang dianggap sebagai kegagalan peradaban modern karena pemikiran modern telah memisahkan spiritualisme dengan segala aspeknya dalam satu kesatuan pembangunan peradaban yang dibangun.

Danah Zohar dan Ian Marshall dalam bukunya “Spiritual Intellegence, The Ultimate Intellegence”, mengkritisi kegagalan peradaban barat dengan mengenalkan berpikir spiritual (spiritual tinking) dengan menggunakan pendekatan kecerdasan spiritual (spiritual quition), yang akan diperoleh kecerdasan yang paling sempurna (ultime intelegen), dilakukan dengan cara menerabas garis-garis formalisme (existing rule) dan transendental, sehingga akan dapat diperoleh pemikiran baru yang mendekataai kebenaran yang hakiki (the ultimate truth). Pemikiran semacam itu sangat menarik untuk kajian hukum dalam rangka untuk menempatkan hukum pada hakikatnya dan menjadikan hukum dapat membahagiakaan

Manusia perlu spiritual quotient karena di masyarakaat barat telah terjadi makna hidup di dunia modern (the crisis of meaning). Spitual quiation merupakan alat bagi manusia untuk dapat membangun berbagai perspektif baru dalam kehidupan, mampu menemukan cakrawala luas pada dunia yang sempit dan bisa merasakan kehadiran tuhan tanpa bertemu dengan Tuhan. SQ dapat digunakan untuk membangkitkan potensi-potensi kemanusiaan yang terpendam, membuat diri manusia semakin kreatif dan mampu mengatasi problem-problem esensial. SQ juga merupakan petunjuk ketika manusia berada di antara order dan chaos, memberikan intuisi tentang makna daan nilai[26].

Keceerdasan spiritual tidak ingin dibatasi patokan (relu-bound), juga tidaak hanya bersifat kontektual, tetapi ingin keluar daari situasi yang ada dalam ussaha untuk mencari keebenaran, makna atau nilai yang lebih dalam. Dengan demikian berpikir menjadi suatu infite game. Ia tidak ingin diikat dan dibatasi paatokan yang ada, tetapi ingin melampaui dan menembus situasi yang ada (transendental). Kecerdasaan spiritual tidak berhenti menerima keadaan dan beku, tetapi kreatif dan membebaskan. Dalam kreativitasnya, ia mungkin bekerja dengan mematahkan patokan yang ada (rule breaking) sekaligus membentuk yang baru (rule making). Kecerdasan spiritual sama sekali tidak menyingkirkan potensi intelegen dan emosi yang ada, tetapi meningkatkan kualitasnya, sehingga mencapai tingkat keccerdasaan sempurna (ultimate intelligence)[27].

Penemuan SQ yang dilakukan melalui penelitian berbagai tempat, seperti di Meksiko dan Swedia menunjukan bahwa spiritualisme dan perspektifnya menjadi alternatif mutahir untuk menungkinkan manusia modern bisa keluar dari rasa keterasingan di tengah keramaian untuk menemukan jati diri sebagai manusia dengan pendekatan spiritual, yang di dalamnya ditemukan integrasi nilai secara subtantif. Di sini menunjukan bahwa temuan ilmiah tidak harus bersifat rasional dan logik, tetapi bisa juga sarat dengan nuasa nilai yang tidak dapat dijelaskan secara rasional tetapi dapat dirasakan melalui intuisi batin manusia. Perspektif spiritual menjadi penting dalam dunia ilmu atau pengembangan ilmu untuk menjadi ilmu lebih bermakna bagi kehidupan manusia.

Menurut Kenneth Boulding, Ilmu itu sarat dengan nilai. Kebahagiaan yang amat besar dari keberhasilan masyarakat keilmuan dalam memajukan ilmu pengetahuan adalah berkat sistem nilainya, di mana suatu pengabdian yang impersonal kepada kebenaran dianggap sebagai nilai tertinggi, kepada siapa kebanggan pribadi maupun kebanggaan nasional harus menundukan dirinya. Edward Teller menyebut, ciri utama dari ilmu “ialah bahwa ia menuntut disiplin mental yang besar, dan bahwa ia membawa kepada pencapaian intelektual yang akrab hubungannya dengan keserasian dan keindahan”[28]

Mill dan Brandt dalam teori moralnya, mengatakan tindakan benar yang baik adalah tidakan yang menghasilkan kebaikan pada lebih banyak orang[29]. Immanuel Kant mengemukakan manusia berkewajiban melaksanakan moral imperatif, agar masing-masing bisa bertindak baik yang dilakukan karena kesadaran bukan pemaksaan[30]. A.I. Melden mengatakan hak moral kebebasan individu mempunyai saling keterkaitan antar individu, hak atas kebaikan komunitas dibutuhkan, termasuk hak memberitahu produk Iptek yang merugikan komunitas. Ilmu diarahkan pada keutamaan dan kebaikan sosial dalam suatu komunitas. Kebaikan yang dimaksud bukan sekedar kebaikan fisik, melainkan kebaikan memberi kebahagiaan non fisik[31].

Dalam perjalanan sejarah dan pengalaman emfirik, sering dijumpai adanya pandangan bahwa kebenaran ilmu hanya untuk ilmu, bahkan lebih pragmatis lagi, yakni tergantung kepada berbagai kepentingan, termasuk kepentingan ideologi dan politik, Kebenaran ilmu menjadi buta karena para ilmuwan penemunya tak beretika dan tak bermoral, sehingga tidak heran kalau hasil temuannya digunakan untuk kepentingan yang tidak bertangungjawab, ilmunya menjadi tidak bermanfat dan mendatangkan bencana kemanusiaan.

Namun demkian ilmu dan pengembangannya tidak bisa lepas dari etika dan moral. Sekalipun sering dicampuradukan dalam penggunaannya, tetapi persoalan baik-buruk, sopan, jujur, patriotik, solider adil, teguh pada pendirian yang benar, mencintai keindahan, dan lain lain, kesemuannya akan berkaitan dalam pengembangan ilmu dan perilaku keseharian seorang ilmuwan. Karena itu pengembangan ilmu menuntut value, etika dan moralitas memanusiakan manusia sampai pelestarian lingkungan. Demikian juga amat dibutuhkan produk seni berupa keindahan dan keharmonisan, serta moralitas yang mensucikan batin.

Demikian juga menurut Liek Wilardjo keterikan ilmu kepada nilai-nilai membuatnya tidak dapat dipisahkan dari etika. Perkataan “etis” menunjuk kepada bagaimana suatu budaya berpendapat seharusnya bertingkah laku. Etika memberi nasehat mengenai tingkah laku, biasanya dalam bentuk pernyataan, semboyan, pepatah, peribahasa dan sebagainya, yang mengandung arti, tetapi tidak menyatakan dengan tuntas, tujuan-tujuan yang baik dan didambakan, yang diharapkan bisa dicapai dengan mengikuti nasehat-nasehat, serat akibat-akibat buruk bila melanggar nasehat-nasehat tersebut[32].

Dalam situasi hipotesis yang delematis harus dipahami bahwa kebenaran merupakan suatu nilai, demikian juga kebaikan dan kemaslahatan. Ketiganya tidak bisa dilepas dalam bagian-bagian tersendiri, tetapi berkaitan yang menampilkan pandangan bahwa “ilmu yang tidak bebas nilai”. Seorang ilmuwan dalam menyampakan kebenaran tidak bisa lepas dari tata nilai keyakinan dan intiusi hati nurani yang menyuarakan etik kemanusiaan dan moral, serta nilai-nilai yang digali dari relung-relung kehidupan masyarakat (budaya) dan kemanfatannya untuk umat manusia..

Kebenaran spirituall selama ini sengaja atau tidak disengja dijauhi oleh para ilmuwan, karena dianggap lekat dengan wilayah kajian teologi (agama). Pertanyaan muncul, kenapa Allah menurukan agama yang mengajarkan nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan. Lebih rumit lagi pemahaman dan penafsiran antar agama terhadap suatu nilai sering kali berbeda. Inilah barang kali pentingnya dilakukan diolog agama atau nilai, dalam rangka mencari dan menghubungkan titik-titik persamaan menjadi konfigurasi tatanan nilai yang amat dibutuhkan manusia yang mendambakan terciptanya ketenteraman dan kedamaain kehidupan manusia.

Ilmu tidak boleh tinggal diam untuk mendialogkan persoalan nilai, dan tidak boleh menganggap bahwa persolan nilai dianggap bukan wilayahnya. Ilmu perlu didorong lagi untuk memasuki wilayah-wilayah seperti itu dan memfasilitasi dalam bentuk memberikan sumbangan kelebihan (metodelogi) yang dimiliki, dalam rangka untuk melakukan konvergensi atau titik temu antara persoalan kebenaran ilmu dan kebenaran ilahiah yang vertikal. Inilah tugas kita bersama sebagai seorang ilmuwan.

Alam pemikiran spiritual Islam misalnya, tumbuh tidak lepas dari proses asimilasi dan akulturasi antara kebudayaan Islam dan kebudayaan Yunani. Dalam Al-Qur’an sendiri tidak ditemukan kata filsafat (al-falsafah), karena Al-Qur’an menggunakan bahas arab asli, sementara al-falsafah merupakan bahasa arab bentukan yang sudah terpengaruh kata filsafat dari bangsa Yunani. Filsafat sebagai ilmu hakikat, dalam Al-Quran disebut dengan kata hikmah, atau al-hikmah. Al-Quran berisi kumpulan tertulis mengenai wahyu Tuhan, sedang hikmah atau filsafat adalah ilmu mengenai hakikat sesuatu[33].

Menurut Ali Ashraf, Ilmu berangkat dari nilai atau moral Al-Qur’an dan Hadits, yang mana keduanya bukan hanya menampilkan ayat-ayat (bukti kebenaran), tetapi juga hudan (pedoman kebijakan), juga rakhmah (anugerah Allah). Karena itu ilmu bukan hanya mencari kebenaran yang didasarkan pada penalaran dan diskursus, melainkan juga mencari kebijakan, kemaslahatan, ridha dan kasih sayang Allah[34].

Dalam perspektif Islam, ilmu secara aksiologis tidak hanya sekedar untuk ilmu, tetapi lebih dari itu ilmu harus bermanfaat untuk kemaslahatan, yakni kepentingan orang banyak. Ilmu ada dan ditemukan di dalam alam kehidupaan masyarakat Manusia disuruh untuk menggunakan potensinya, yakni akal dan hati untuk memahaminya. Dalam Islam akal (al-aql) menempati kedudukan yang teramat penting, disamping hati (kalbu) dan indera yang lain. Karena itu firman Allah yang pertama kali turun melalui Nabi Muhammad SAW adalah surat Al-Alaq yang dikenal dengan surat Iqra (membaca), disebutkan dalam Al-Qur’an Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan”, “Bacalah dan Tuhanmu yang paling pemurah”. (QS Al-Alaq, ayat 1 dan 3).

Dengan potensi yang dimiliki, manusia diperintahkan membaca kekuasaan Allah yang ada di alam ini, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal” (QS Ali-Imran, ayat 190). “Diantara tanda-tanda kekuasaan Allah, ialah menciptakan langit dan bumi dan bangsa berlain-lain bahasa dan warna kulit. Sesungguhnya yang demikian ini terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui (berilmu)” (QS Ar-Ruum ayat 22).

Ilmu dalam Islam disamping bisa digali berdasarkan Al-Quran dan Hadits juga terdapat Maslahat Mursalah, yang merupakan sumber hukum tambahan berdasarkan penelitian impiris (istiqra), yang diperoleh dari penonena alam dan peerilaku masyarakat, ditemukan dengan tujuan untuk kemaslahatan kehidupan manusia. Hal tersebut didasarkan pada Al-Quran yang menyebutkan “Dan tiadalah Kami mengutus kamu (nabi), melainkan untuk menjadi rakhmat bagi alam semesta” (QS Al-Anbiya, ayat 107)

Kemaslahatan dapat ditangkap secara jelas oleh orang yang mempunyai dan mau berfikir, sekalipun dalam kasanah pemikiran Islam terdapat perbedaan dalam memahami hakikat maslahat. Perbedaan tersebut bermula dari perbedaan kemampuan intelektualitas orang perorang dalam menafsirkan ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Quran dan hadits, dimana masing-masing ahli pikir mempunyai keterbatasan, sehingga tidak mampu memahamai hakikat maslahat secara sama, karena adanya perbedaan yang bersifat temporal dan kondisi daerah (lokal) yang tidak sama.

Demensi spiritual bisa dilihat pada ajaran yang paling dasar, yakni aqidah, yang mengajarkan pemahaman hubungan antara manusia dengan alam dan dengan Tuhannya. Manusia dan alam pada hakikatnya adalah makhluk yang bersifat fana, sementara Tuhan adalah penguasa atas alam semesta beserta isinya (robbul alamin) yang bersifat kekal (baqa). Kebahagian terbesar seorang muslim mana kala dia mampu pasrah secara tolalitas mematuhi perintah (hukum-hukum) Allah yang bersifat kodrati (sunnahtullah), baik yang bersifat umum ataupun yang terperinci, sebagai konsekwensi dari pengakuannya bahwa Allah Maha Esa, penguasa segalanya, dan segala makhluk bergantung padanya (Q. S. 112 : 1-2)

Segala bentuk penghambaan manusia terhadap makhluk, baik alam (gunung, matahari, angin dll) atau kepada penguasa, pembesar, atasan kerja dll adalah syirik yang tidak diperbolehkan oleh Allah. Karena syirik merupakan perbuatan yang merendahkan martabat manusia, yang mestinya manusia hanya melakukan penghambaan dan pertolongan hanya pada Allah semata. Hanya kepada-Mu aku menyebah dan hanya kepada-Mu aku mohon pertolongan (Q. S. 1 : 5).

Sikap tersebut sebagai konsekwensi bahwa manusia sebagai khalifah di muka bumi (fil ard) (Q. S. 2 : 30), semata-mata dalam rangka melakukan pengahambaan atau pengabdian kepada Allah (Q. S. 51 : 56). Manusia yang diperintahkan oleh oleh untuk menjadi penguasa di muka bumi, mempunyai tugas (amanah) pertama, menjaga dan memlihara bumi dan isinya dari kerusakan, kedua, melakukan pengelolaan alam lingkungan untuk kesejahteraan manusia secara berkelanjutan (sustainable), ketiga, melakukan tugas risalah, yakni melakukan penegakan aturan (hukum) terhadap segala bentuk kemungkaran dan perusakan terhadap alam, dan keempat, semua yang dilakukan manusia dalam menjalankan hidup, kehidupan dan penghidupan akan dikembalikan atau diminta pertangungjawabannya kepada Allah.

Konsekwensi lebih lanjut manusia tidak diberbolehkan berbuat kerusakan (fasad), berbuat tidak seraakah (eksploitatif) tidak adil (dzalim) dan tidak boleh berbuat kesombongan (sum’ah), serta tidak boleh perbuat boros atau konsumtif (di’a). Tetapi sebaliknya harus berbuat baik (ikhsan), berperilaku santun dan bersahabatn. Semuanya itu dalam rangka untuk meujudkan kedamaian di bumi ini (islah).

Karakteristik alam pada hakikatnya mengikuti ketentuan sunnahtullah, yang bercirikan pertam, bersifat pasti (exact), yakni semua yang diciptakan Allah berada dalam keadaan seimbang (QS. 67 : 3-4 ), dan segalanya ada di alam diciptakaan menurut ukuran yang sudah ditentukan dan ditetapkan (QS. 54 : 3). Kedua, alam bersifat tetap (immutable), yakni matahari, bintang, dan bulan bererilaku patuh (istiqomah) bergerak menurut garis edarnya (QS. 36 : 40), dan berisfat tetap tidak berubah dan tidak ada yang merubah-rubah (QS 6 : 115). Ketiga, sifat alam tak mengenal siapapun (obyektif), yakni Allah menurunkan hujan dari langit ke bumi dan tumbuh tumbuh-tumbuhan, tanaman untuk keseluruhan kesejahteraan manusia (QS 16 : 14-18). Allah mencipta makhluk, termasuk manusia dalam keadaan berpasang-pasangan (QS. 36 : 36), dan semuanya akan memperoleh rizki berdasarkan ikhtiar yang dilakukannya.

Agar manusia bisa menjalankan fungsinya maka diciptakan aturan hukum yang bersifat kongkrit. Menurut Ziauddin Sardar, hukum adalah suatu pusat nilai yang berisi aturan, yang bertujuan untuk kesejahteraan umum yang universal bagi semua makhluk, mencakup kesejahteraan manusia untuk saat sekarang dan yang akan datang serta di alam baka nanti. Dengan syariat manusia akan mengetahui rambu-rambu antara yang dibolehkan (halal) dan dilarang (haram), antara perbuatan merusak (fasad), kedamaian dan kebaikan (iksan).

Hukum yang mengatur masalah alam diturunkan oleh Allah melalui firma-Nya lebih banyak bersifat global . Ketentuan hukum tersebut mengatur masalah seperti alam semesta, astronomi, penciptaan bumi, kemakmuran bumi, keaneragaman hayati, berupa plora dan fauna. Semua kemakmuran alam lingkungan diperuntukan untuk manusia, dan manusia sebagai khalifah diperintahkan oleh Allah untuk menjaga, memakmurkan dan melestarikannya.

Bagi umat Islam aturan hukum pengelolaan alam dan upaya penegakan hukumnya dalam rangka menjaga dari kerusakan yang diakibatkan oleh perusakan dan pencemaran alam lingkungan bukanlah persoalan yang terpisah dari perintah ajaran Islam, tetapi merupakan satu kesatuan (integral) ajaran dan perintah agama, yang hukumnya wajib untuk dilaksanakan. Sebab ajaran Islam tidak membedakan antara urusan atau kepentingan dunia dan akherat, sebagaimana yang dikenal dalam masyarakat barat (sekuler). Dengan demikian upaya pengelolaan alam yang berkelanjutan pada hakikatnya adalah kreatifitas ibadah.

Perspektif spiritual Ilmu, termasuk ilmu hukum bukan hanya didasarkan pada kebenaran yang qauliyyah, yang tingkat kebenarannya pada taraf haqq al-yakin, yang terhimpun dalam Al-Qur’an dan Hadits, tetapi juga berdasarkan kebenaran yang diperoleh dengan kemampuan potensi manusia melalui ulum naqliyyah, yakni perenungan, penalaran dan diskursus yang berkembang di masyarakat. Manusia menggali, mengolah dan merumuskan ilmu dengan tujuan tidak semata untuk ilmu tetapi juga untuk kebijakan, kemaslahatan masyarakat luas, dengan ridha, dan kasih sayang Allah.

Melalui dialog nilai, Philip Clayton menawarkan paradigma saints yang berangkat pada filsafat emergence. Pada era sekarang manusia menyadari bahwa kejadian-kejadian dunia alamiah tidak dapat dijelaskan hanya mereduksi pada komponen-komponen terkecilnya, tetapi juga harus dikaitkan dengan obyek-obyek dan kejadian-kejadian lain dalam konteks yang lebih luas dimana mereka menjadi bagiannya. Di sini paradigma hukum mempunyai makna baru ketika kita mendaki tangga kemunculan berikutnya pada tataraan wujud yang mempunyai kehendaak bebas sseperti kita[35].

Filsafat emergence menawarkan cara-cara untuk melengkapi karya-karya para ilmuwan yang ada sebelumnya, dengan menunjukan cara baru bagaimana sains, filsafat dan teologi dapat saling berhubungan secara harmonis. Mendialogkan antara iman dan sains, hukum wahyu dan hukum dunia menjadi penting, sekalaipun barangkali masih belum diperoleh titik temu, sampai kita mampu belajar lebih jauh melalu repleksi yang modelnya sudah dilakukan para ilmuwaan terdahulu sseperti ibnu Sina (Avicenna) dan Ibnu Rusyd (Averoes). Dialog nilai merupakan sumbangan pemikiran yang amat mnjanjikan di masa mendatang.

Cara yang dilakukan dengan mendiskusikan kembali secara intens dan mendalam sampai alam tataran konseptual tipe hukum, yakni hukum tabiat Ilahi, hukum wahyu, hukum alam, hukum tabiat manusia dan perilakunya, serta hukum moral. Kegiatan-kegiatan seperti itu dapat membuktikan bahwa sesungguhnya tidak lagi diperlukan ketegangan antara kepercayaan kepada Tuhan dengaan sains. Tugas bersama yang perlu kita pikul adalah memperlihatkan bahwa kepercayaan kepada Tuhan sesungguhnya akan mendukung hasil-hasil sains, dan kepercayaan kepada Tuhan merupakan jawaban atas pertanyaan mendasar yang diajukan ilmuwan, tetapi tidak dapat dijawb olehnya[36].

E. Penutup

Dari uraian tersebut dapat dirumuskan beberapa kesimpulan, sebagai berikut :

  1. Pemahaman hukum positivis berangkat dari pandangan bahwa hukum tidak berasal dari Tuhan atau alam, melainkan dari manusia sendiri berdasarkan kemampuannya untuk merumuskan ketentuan hukum. Positivis memandang perlu untuk memisahkan secara tegas antara hukum dan moral. Hukum. bercirikan rasionalistik, teknosentrik, dan universal. Dalam kaca mata positivis tiada hukum kecuali perintah penguasa, bahkan aliran positivis legalisme menganggap bahwa hukum identik dengan undang-undang. Hukum dipahami dalam perpektif yang rasional dan logik Keadilan hukum bersifat formal dan prosedural..
  2. Dalam positivis, dimensi spiritual dengan segala perpektifnya seperti agama, etika dan moralistas diletakkan sebagai bagian yang terpisah dari satu kesatuan pembangunan peradaban modern. Hokum modern dalam perkembangannya telah kehilangan unsur yang esensial, yakni nilai-nilai spiritual.
  3. Pospositivisme secara umum dapat dikatakan sebagai reaksi atau gugatan terhadap positivisme. Pospositivis mempunyai ciri dekonstruktif, relatifis, dan pluralis. Pada pemahaman hukum pospositivisme, spiritualisme dapat dipahami dalam berbagai makna sebagai spirit (ruhaniyah) yang berkaitan dengan substansi ajaran agama dan hal-hal yang berhubungan dengan etika dan moral.
  4. Terdapat kecenderungan kuat untuk memahami hukum tidak hanya dipandang dari segi normatif yang positivis, tapi lebih dari itu hukum harus dilihat dalam wajah yang utuh menyuruh. Kajian seperti itu mulai terasa dan mendapat tempat alam post positivis. Upaya untuk mengkaji dan memahami hukum harus lebih menekankan hal yang sifatnya substantif dan transendental dengan mendasarkan pada fakta sosial yang tidak lepas dari nilai-nilai agama, etik dan moral.
  5. Filsafat emergence, yang menawarkan cara-cara untuk melengkapi karya-karya para ilmuwan yang ada sebelumnya, dengan menunjukan cara baru bagaimana sains, filsafat dan teologi dapat saling berhubungan secara harmonis. Mendialogkan antara iman dan sains, hukum wahyu dan hukum dunia menjadi penting, sekalipun barangkali masih belum diperoleh titik temu. Dialog nilai merupakan sumbangan pemikiran yang amat menjanjikan di masa mendatang.
  6. Upaya untuk mendiskusikan kembali secara intens dan mendalam persoalan hukum, agama, etik dan moral menjadi teramat penting. .Kegiatan seperti itu dapat membuktikan bahwa sesungguhnya tidak lagi diperlukan ketegangan antara kepercayaan kepada Tuhan dengan ilmu hukum. Melalui upaya seperti itu dapat memperlihatkan bahwa kepercayaan kepada Tuhan sesungguhnya akan mendukung hasil-hasil pengembangan ilmu hukum, dan kepercayaan kepada Tuhan merupakan jawaban atas pertanyaan mendasar yang diajukan ilmuwan, tetapi tidak dapat dijawab olehnya.

DAFTAR PUSTAKA

Clayton, Philip, Memebaca Tuhan dalam Keteraturan Alam, Repleksi Ilmiah dan Religius, Makalah Disampaikan pada Intrnasional Conference on Religion and Scieence in the Post-Colonial Word, Yogyakarta, 2003.

Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. 1995. Pokok-pokok Filsafat Hukum. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Friedman, W. 1990.Teori dan Filsafat Hukum. Telaah Krisis Atas Teori-teori Hukum, Terjemahan M. Arifin. Jakarta: Rajawali.

Muslehuddin, Muhammad. 1991. Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis. Yogyakarta: PT. Tiara Wacara.

Peursen, C.A. Van. 1991. Orientasi di Alam Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia.

Pizzi, William T, Trials Without Truth, Why Our System of Ciminal Trials has Become an Expensive Failure and we Need to Do to Rebuild It, New York University Press, 1999.

Rahardjo, Satjipto, 2002, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Surakarta, Muhammadiyah University Press.

------------------, 1991. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

____________. “Paradigma Hukum Indonesia dalam Perspektif Sejarah”, Makalah. Symposium Nasional Ilmu Hukum Tentang Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia, Program S3 Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 10 Pebruari 1998.

____________. 1997. Negara Hukum dan Deregulasi Moral. Jakarta: Kompas.

------------------, Menjalankan Hukum dengan Kecerdasaan Spiritual, Kompas, 30 desember 2002.

Ritzer, George (Penyadur Aliman). 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali Press.

Sidharta, Arief. 1996. “Refleksi Tentang Fundamental dan Sifat Keilmuwan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia”, Disertasi. Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Bandung. 1996.

____________, “Paradigma Hukum Indonesia dalam Perspektif Sejarah”, Makalah. Symposium Nasional Ilmu Hukum Tentang Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia, Program S3 Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 10 Pebruari 1998.

Wignjosoebroto, Soetandyo, 2002, Hukum, Paradigma, Metode dan dinamika Masalahnya, Jakarta, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

.

-------------------, 1995. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional. Jakarta Rajawali Press.

____________, “Permasalahan Paradigma dalam Ilmu Hukum”, Makalah. Symposium Nasional Ilmu Hukum Tentang Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia, Program S3 Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 10 Pebruari 1998.

Wison, Edward O, Concilience, The Unity of Knowlwdge, Alfred A. Knopf, New York, USA, 1998.

Wilardjo, Like, Realita dan Desiderata, Duta Wacana University Press, Yogyakatra, 1990.

Zohar, Danah dan Marhal Ian, Spiritual Intellegence, The Ultimate Intellegence, Bloomsbury, Landon, 2000.

Law and Society, Review The Journal of the Law and Society Association, Volume 31 No. 2. 1997.



[1] Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum (S2) Universitas Muhammadiyah Surakarta

[2] Satjipto Rahardjo, Merintis Visi Program Doktor Hukum UNDIP, Semarang, 2003, hal 8

[3] Liek Wilardjo, Realita dan Desiderata, Duta Wacana University Press, Yogyakarta, 1990, hal 272.

[4] Liek Wilardjo, Ibid, hal 272.

[5] Satjipto Rahardjo, op Cit, hal 9.

[6] Philip Clayton adalah seoraang guru besar dan ketua Jurusan Filsafat California State university, Sonoma, USA : Principle Investigaator, Science and the Spiritual Quees Project, artikelnya diberi judl Membaca Tuhan dalam Keetarutaran Alam, Repleksi Ilmiah dan Religius, UGM, Yogyakarta, 2003, hal 10.

[7] Satjipto raharjo, Op Cit, hal 10.

[8] Philip clayton, Op Cit, hal 10.

[9] Lihat Dias dalam Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal. 161

[10] Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal. 22.

[11] Lihat Satjipto Raharjo, Negara Hukum dan Deregulasi Moral, Kompas, Jakarta, 13 Agustus,1997.

[12] J. Austin dalam M. Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta. 1991. Hal.28

[13] M. Muslehuddin, Ibid, Hal.29.

[14] Arief Sidharta, Paradigma Ilmu Hukum Indonesia dalam Perspektif Positivis, Makalah Simposium Nasional Tentang Paradigma Ilmu Indonesia, Program Doktor Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 1998, hal. 1.

[15] Lihat Hart dalam Satjipto Rahardjo, Ibid, Hal.268.

[16] Soetandyo Wignjosoebroto, Permasalahan Paradigma dalam Ilmu Hukum, Makalah Simposium Nasional Tentang Paradigma Ilmu Indonesia, Program Doktor Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 1998, hal. 2.

[17] M. Muslehuddin, Op. Cit. Hal.29.

[18] Lihat Luhman dalam Soetandyo Wignjosoebroto, Op. Cit., Hal.2.

[19] Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum , PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, Hal.98.

[20] Lihat Bodenhaimer dalam Satjipto Raharjo, Op. Cit., hal. 272-273.

[21] Ibid, Hal.273.

[22] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op. Cit. Hal.99.

[23] Sutamdyo, Hukum dalam Ralitas Perkembangan Sosial Politik dan Perkembangan Pemikiran kritis-Teoritik yang Mengiringi mengenai fungsinya, Surabaya, 2003, hal 8.

[24] Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2002, hal 83.

[25] Friedman dalam Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op. Cit. Hal. 116.

[26] Danah Zohar dan Iaan Marshall, Spiritual Intelligence, the Ultimate Intellegience, Bloomsbury, Landon, 2000.

[27] Danah Zohan dan Ian Mashal dalam Satjipto Rahardjo, Menjalankan Hukum dengan Kecerdasan Spiritual, Kompas, 30, Desember 2002.

[28] Liek Wilardjo, op cit, hal 272.

[29] Michael Williams dalam Noeng Muhadjir, ibid, hal 16-17.

[30] Ibid, hal 279.

[31] Ibid, hal 279.

[32] Op cit, hal 273.

[33] Musya Asy’arie, Filsafat islam suatu Tinjuan Antologis, dalam Filsafat Islam suatu Tinjuan Antologis, Epistimologis, Aksiologis, Historis dan Prospektif, Lembaga Studi Filsafat Islam, Yogyakarta, 1992, hal 14.

[34] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Edisi II, Rake Sarasin, Yogyakarta, 2001, hal 66-67.

[35] Philip Clayton, Op Cit, hal 8.

[36] Ibid, hal 9.